OPINI
OPINI: Menelisik Walk Out Sang Jaksa
Pangkal tolak dari sikap JPU itu disebabkan Ketua Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini “diduga” telah memiliki konflik kepentingan.
Jika Ketua Majelis Hakim, ternyata dimasa silam itu, sebelum melekatnya sumpah hakim pada dirinya, ternyata pernah memiliki hubungan pekerjaan dengan Terdakwa Sulkarnain Kadir, maka ketentuan Pasal 220 ayat (1) KUHAP itu berlaku padanya, sehingga ia wajib mengundurkan diri sebagai hakim.
Baca juga: OPINI: Upaya Penanganan Konflik Buaya VS manusia di Sulawesi Tenggara
Sebagaimana asas hukumnya yang berbunyi nemo judex idoneus in propria causa, yang artinya tiada seorang hakim pun yang mendaili perkara dimana ia memiliki kepentingan.
Tetapi, selama ia tidak memiliki hubungan pekerjaan itu sebelumnya, maka ia tidak wajib untuk mengundurkan diri.
Kasasi
Jika kita menyusuri poin pernyataan sikap JPU yang dibacakan dihadapan persidangan, sebenarnya lebih kepada bentuk kekecewaan dan kegamangan dari suasana kebatinan JPU.
Kecewa atas vonis bebas Ridwansyah Taridala dan Syarif Maulana. Dan gamang karena terdakwa Sulkarnain Kadir sudah dipastikan juga akan menyusul 2 terdakwa sebelumnya.
Namun, nampak tidak anggun rasanya jika kekecewaan atas perkara orang lain justru ditumpahkan seluruhnya ke dalam perkara terdakwa Sulkarnain Kadir, hingga mogok bersidang.
Mestinya, jika JPU yakin akan dakwaan dan tuntutannya terhadap perkara Ridwansyah Taridala dan Syarif Maulana benar-benar melakukan tindak pidana, maka tersedia ruang untuk men-challenge putusan bebas tersebut dengan mengajukan kasasi.
Baca juga: OPINI: Sanksi Pidana Menanti Pelaku Money Politik
JPU mestinya tak perlu berawai untuk itu. Lebih-lebih lagi, secara esensi posisi JPU sangatlah diuntungkan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang membolehkan putusan bebas diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Hal itu bisa dilihat dalam pertimbangan Mahkamah dalam putusannya pada Paragraf 3.13.4 yang mengatakan “…putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung kemudian dimohonkan pemeriksaan kasasi, tidak boleh diartikan bahwa Mahkamah Agung pasti menyatakan terdakwa bersalah dan dijatuhi pidana. Bisa saja Mahkamah Agung sependapat dengan pengadilan yang berada di bawahnya…”.
Dengan pertimbangan yang demikian itu, bukankah pihak terdakwa yang sebenarnya dirugikan dengan adanya upaya hukum terhadap putusan bebas?
Hal mana, sejak awal ia telah dituduh melakukan tindak pidana, ditahan, hak asasinya telah direnggut dan dibatasi sebagai seorang manusia yang merdeka.
Mestinya putusan bebas yang diganjar kepadanya menjadi hadiah atas semua proses perampasan hak yang dialami terdakwa selama menjalani proses hukum.
Namun ternyata Mahkamah justru membolehkan putusan bebas untuk di kasasi yang membuat nasib para terdakwa menjadi terkatung-katung dan diselimuti rasa was-was, sebab vonis bersalah juga masih menghantuinya.
Bermuara Pidana
Baca juga: OPINI: Apakah Ferdy Sambo Bisa Lepas dari Jerat Hukuman Mati?
walk out
Jaksa Penuntut Umum
JPU
Kejati Sultra
Pengadilan Tipikor Kendari
Kota Kendari
Sulawesi Tenggara
PT Midi Utama Indonesia
Alfamidi
Muhammad Takdir Al Mubaraq
Sulkarnain Kadir
OPINI: La Kare Pahlawan Pendidikan dari Muna Masa Pemerintahan Hindia Belanda, 1933-1935 |
![]() |
---|
OPINI: Menebak Arah Putusan Ridwansyah Taridala |
![]() |
---|
OPINI: Tantangan Implementasi Delapan Agenda Strategis Pj Gubernur Sulawesi Tenggara |
![]() |
---|
OPINI: KPHku Sayang, Hutanku Gersang |
![]() |
---|
OPINI: Potensi Kemaritiman Indonesia, Nasibmu Kini |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.