Opini
OPINI: Menebak Arah Putusan Ridwansyah Taridala
Hari Jumat, 10 November 2023 adalah akhir dari kasus yang menimpa Ridwansyah Taridala dan akan segera diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Ke
Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Hari Jumat, 10 November 2023 adalah akhir dari kasus yang menimpa Ridwansyah Taridala dan akan segera diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kendari. Kurang lebih 8 bulan sudah, ia bertalu-talu memperjuangkan haknya untuk mendapatkan keadilan di hadapan hukum. Karirnya begitu mentereng sebagai seorang birokrat. Semua tingkat birokrasi telah dijejalinya. Mulai dari Lurah, Camat, Kepala Badan, sampai Kepala Dinas pernah didudukinya. Terakhir, ia didapuk menjadi Jendral dari para Aparatur Sipil Negara di Kota Kendari.
Namun malang nasib nian. Dikala berada di posisi puncaknya sebagai seorang birokrat. Ia terseret dalam kubangan korupsi suap dan pemerasan perizinan Alfamidi di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Kejaksaan Tinggi Sultra yang menjadi pionir membongkar tabir korupsi yang dilakukannya. Rompi merah pun dikenakan. Mahkota tersangka pun diletakkan di kepala sang Sekretaris Daerah Kota Kendari itu.
Keterlibatan Ridwansyah Taridala
Konstruksi yang dibangun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sehingga menyeret nama Ridwansyah Taridala di kursi Terdakwa adalah sewaktu tahun 2021, saat ia masih menjadi Plt Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Kendari. Ia diperintahkan Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir untuk membuat Rancangan Anggaran Biaya (RAB) pengecetan Kampung Warna-Warni di Bungkutoko. Total RAB itu senilai Rp721 juta dan ia tanda tangani. RAB itulah yang digunakan untuk mencari dana CSR oleh Syarif Maulana yang juga Terdakwa dalam perkara ini. Ia lalu membawa RAB itu ke Alfamidi agar bisa membantu dan memberikan dana CSRnya untuk program pengecetan Kampung Warna-Warni Bungkutoko. Hingga dalam perjalanannya ditrasnferlah uang senilai Rp700 juta ke rekening pribadi Syarif Maulana.
Adanya RAB yang ditanda tangani oleh Ridwansyah Taridala serta adanya transfer uang Rp700 juta ke Syarif Maulana itulah yang dianggap sebagai suatu perbuatan korupsi berupa pemerasan atau juga suap. Apalagi permintaan bantuan itu dilakukan di tengah Alfamidi sedang melakukan proses perizinan di Kota Kendari. Sehingga berdasarkan hal itu, Kejati Sultra kemudian menjerat Ridwansyah Taridala dengan dugaan pemerasan atau juga suap berdasarkan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 UU Tipikor dan terkualifikasi sebagai pembantuan tindak pidana sebagaimana Pasal 56 KUHP.
Fakta Persidangan
Perjalanan persidangan kasus Ridwansyah Taridala menyita perhatian publik yang cukup besar. Majelis Hakim yang memeriksa perkara itu pun berjibaku dengan sangat teliti. Persidangan yang mulanya telah ditutup dan tinggal menunggu sidang putusan, mesti dibuka kembali karena adanya fakta baru yang mengemuka pada sidang Terdakwa eks Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir. Pihak Alfamidi selaku korban dalam perkara ini banyak mencabut keterangannya.
Selama Penulis mengikuti proses persidangannya. Terungkap fakta bahwa uang senilai Rp700 juta yang selama ini dianggap sebagai bentuk pemerasan atau juga suap dalam proses perizinan Alfamidi, ternyata “bukanlah” uang milik Alfamidi. Melainkan dana yang berasal dari kembalian konsumen Alfamidi yang dikelola oleh Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Sadaqah Muhammadiyah (Lazismu). Program pemberdayaan adalah program pribadi Syarif Maulana sebagai Ketua Kendari Prenuer yang fokus membidangi UMKM. Ia pernah diminta oleh Alfamidi untuk membuat suatu program pemberdayaan yang kemudian penyalurannya dibantu melalui Lazismu atas inisiatif pihak Alfamidi sendiri. Karena Lazismu memiliki program yang sejalan dengan program yang diajukan oleh Syarif Maulana. Untuk itulah ada bantuan sebesar Rp700 juta. Lazismu sudah lazim melakukan penyaluran bantuan untuk program pemberdayaan masyarakat dan mengirimnya ke rekening pribadi.
Sejauh yang Penulis amati, di dalam persidangan pula terkuak bahwa tidak ada kaitannya RAB Rp721 juta yang ditanda tangani oleh Ridwansyah Taridala dengan uang yang diberikan kepada Syarif Maulana sebesar Rp700 juta. Karena RAB Rp721 juta itu tidak pernah diterima oleh pihak Alfamidi. Demikian keterangan General Manager Lisence Alfamidi. Ia pun baru melihat RAB Rp721 juta itu nanti di persidangan. Selain itu, Direktur Alfamidi juga mengungkapkan tidak ada keterpaksaan ataupun kerugian yang dialami oleh Alfamidi berkaitan dengan bantuan dana Rp700 juta. Sebab, uang tersebut bukanlah milik Alfamidi. RAB Rp721 juta untuk kegiatan pengecetan Kampung Warna-Warni yang semula dibuat untuk mencari dana CSR pihak ketiga tak kunjung membuahkan hasil. Hingga akhirnya terjadi pergeseran anggaran HUT Kota Kendari yang berada di Dinas Pariwisata sebesar Rp300 juta lalu digunakan untuk kegiatan pengecetan Kampung Warna-Warni tersebut.
Fakta lain yang terkuak bahwa Ridwansyah Taridala tidak pernah bertemu pihak Alfamidi maupun Syarif Maulana membicarakan mengenai pengecetan Kampung Warna-Warni. Ia juga tidak pernah menerima uang baik dari pihak Alfamidi maupun dari Syarif Maulana. Serta Direktur Alfamidi tidak pernah melakukan upaya suap terhadap perizinan Alfamidi di Kota Kendari kepada pihak Pemerintah Kota Kendari.
Tidak Ada Pemaksaan
Pasal 12 huruf e yang didakwakan adalah pemerasan yang pangkalnya dicomot dari Bab Kejahatan Jabatan dalam Pasal 423 KUHP. Oleh karena melibatkan unsur jabatan, maka Pasal 12 huruf e ini kerap-kali disebut pemerasan dalam jabatan.
Membuktikan setiap unsur delik yang menjadi bestandeel delict (delik inti) adalah suatu keharusan bagi JPU. Tak terkecuali pula Pasal 12 huruf e. Hal esensi dari itu semua adalah membuktikan adanya perbuatan “memaksa”. Inilah sebab mengapa rumusan tindak pidana ini dikatakan sebagai pemerasan dalam jabatan, tidak lain karena adanya paksaan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.