Opini
OPINI: Mengkriminalisasikan Illicit Enrichment
Sosok dari Rafael Alun Trisambodo pejabat di Ditjen Pajak sejenak merefleksikan ingatan kita dengan nama ‘Gayus Tambunan’.
Kriminalisasi adalah proses menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana.
Kriminalisasi itu bertumpu pada perbuatannya bukan terhadap orangnya.
Hal ini juga penting guna meluruskan pemaknaan kriminalisasi yang kerap kali banyak orang mempergunakan kata kriminalisasi jauh dari konteks pemaknaan yang sesungguhnya di dalam hukum pidana.
Saat ini illicit enrichment belumlah diatur di Indonesia. Jika mengacu pada konvensi PPB tentang Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang telah diratifikasi oleh 186 negara.
termasuk Indonesia dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 2006, yang mana terdapat pengaturan mengenai ‘memperkaya diri secara tidak sah’ atau illicit enrichment pada Pasal 20 UNCAC.
Ketentuan tersebut memberikan pertimbangan kepada negara-negara yang telah meratifikasi UNCAC untuk memperkuat pengaturan hukum pidananya dengan mengkriminalisasi illicit enrichment.
Yang mana jika terdapat peningkatan aset milik pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara wajar sehubungan dengan penghasilannya yang diperoleh secara sah maka dapat dikenai sanksi pidana atasnya.
Baca juga: OPINI: September Berdarah Momentum Memperkuat Basis Social Society
Meskipun Pasal 20 UNCAC termasuk dalam “non-mandatory” (tidak wajib untuk dikriminalisasi) tetapi sebagai upaya memperkuat aspek pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia pengaturan mengenai illicit enrichment ini menjadi kian penting untuk segera di kriminalisasi.
Dengan adanya kriminalisasi terhadap illicit enrichment, maka menjadi lebih maksimal pengaturan tentang reversal burden of proof/omkering van het bewijslast (pembalikan beban pembuktian) yang telah diatur di dalam Pasal 77 UU TPPU maupun di dalam Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Komariah Sapardjaja mantan Hakim Agung bahwa kesulitan yang pernah dihadapi ketika menerapkan pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang adalah tidak didakwanya bersamaan dengan tindak pidana asalnya.
Tidak Bertentangan dengan Prinsip Hukum
Perpaduan illicit enrichment dan omkering van het bewijlast (pembalikan beban pembuktian) tidaklah bertentangan dengan prinsip self-incrimination atau presumtion of innocence (praduga tidak bersalah).
Sebab, dalam European Court of Human Rights menyatakan bahwa prinsip praduga tidak bersalah bukanlah prinsip yang absolut dan karena itu dapat disimpangi.
Ian Dennis (2005) mengatakan ada 2 kriteria dalam pengingakaran asas praduga tidak bersalah: 1). apakah pembalikan beban pembuktian diterapkan untuk mencapai tujuan yang sah. 2) Apakah pembalikan tersebut sebanding dengan tujuan yang hendak dicapai.
Selain itu dalam praktiknya, pembalikan beban pembuktian sebenarnya tidak serta merta bertentangan asas actori incumbit onus probandi (siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan).
Sebab tidak seluruh beban pembuktian itu ditimpahkan kepada terdakwa.
Melainkan Jaksa Penuntut Umum masih diberikan kewajiban untuk membuktikan dakwaannya terkait penambahan harta kekayaan seorang pejabat publik terjadi diluar dari batas kewajarannya.
Sedangkan terkait dengan asal-usul kekayaan yang diperoleh secara masuk akal dibebankan kepada terdakwa.
Hal ini yang penulis sebut sebagai beban pembuktian terbalik-berimbang.
Pembuktian terbalik-berimbang kiranya sejalan dengan asas hukum yang berbunyi actori incumbit (onus) probatio, reus in excipiendo fit actor, yang artinya ketika tergugat menolak tawaran bukti penggugat, beban pembuktian bergeser ke tergugat untuk menyangkal bukti penggugat.
Baca juga: OPINI: Pilih Bangun Gedung Baru Ketimbang Jalan Untuk Rakyat
Hal mana bila asas tersebut ditarik dalam konteks hukum pidana maka dapat pula dimaknai “jika terdakwa menolak atas bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk menyangkali bukti Jaksa Penuntut Umum”.
Langkah PPATK dalam melakukan penelurusan memang patut di apresiasi. Namun tidaklah cukup berhenti di kasus Rafael.
PPATK mesti lebih aktif melakukan penelusuran terhadap transaksi keuangan oleh para pejabat publik di negeri ini.
Meskipun tingkat kepatuhan atas Laporan Harta Kekayaan Pegawai Negeri (LHKPN) terbilang cukup baik. Namun hal itu masih menyisakan kelemahan.
Sebab belum adanya sistem pendeteksian khusus yang dapat menandai harta para pejabat publik yang janggal sehingga sulit untuk memetakkan harta kekayaan yang diperoleh secara wajar dan tidak.
Maka dengan adanya kasus ini, kriminalisasi illicit enrichment menjadi genting untuk segera dilakukan ditambah dengan pengesahan UU Perampasan Aset guna memaksimalkan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi maupun pencucian uang.
Sebab, jika hanya mengandalkan UU TPPU tidaklah cukup untuk mengawasi kejahatan ekonomi yang kian berkembang.
Dengan adanya kriminalisasi illicit enrichment sekaligus juga mengakhiri perdebatan yang terjadi selama ini tentang perlu tidaknya pembuktian tindak pidana asal juga sekaligus memberikan kepastian. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.