OPINI
OPINI: Menelisik Walk Out Sang Jaksa
Pangkal tolak dari sikap JPU itu disebabkan Ketua Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini “diduga” telah memiliki konflik kepentingan.
Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.
Penulis merupakan Alumnus FH UHO
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Beberapa hari belakangan ini, publik kembali dibuat riuh dalam lanjutan kasus korupsi suap atau juga pemerasan dalam jabatan perizinan Alfamidi yang menyeret nama eks Wali Kota Kendari, Sulkarnain Kadir.
Kali ini bukan soal dicabutnya BAP para saksi, ataupun bebasnya para terdakwa, melainkan para Jaksa Penuntut Umum (JPU) berduyun-duyung “walk out” dari ruang persidangan dan mogok untuk bersidang.
Pangkal tolak dari sikap JPU itu disebabkan Ketua Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini “diduga” telah memiliki konflik kepentingan.
Dibebaskannya 2 terdakwa sebelumnya yaitu Ridwansyah Taridala dan Syarif Maulana dianggap oleh JPU sebagai suatu keberpihakkan.
Ketua Majelis hanya mengambil alat bukti yang meringankan terdakwa dan mengeliminir alat bukti yang memberatkan terdakwa yang diajukan oleh JPU.
JPU dalam pernyataan sikap yang dibacakan di hadapan persidangan itu, dengan lugas, tegas, meminta agar Ketua Majelis untuk segera mundur dari perkara terdakwa Sulkarnain Kadir bukanlah dalil yang sekonyong-konyong lahir.
Tetapi disandarkan dalil itu pada norma hukum, yaitu Pasal 220 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca juga: OPINI: Ironi Jalan Rusak di Daerah Penghasil Aspal Terbesar
Konflik Kepentingan
Pengertian conflict of interest atau konflik kepentingan secara normatif tertuang di dalam Pasal 1 angka 14 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) yaitu “kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya”.
Di dalam UU AP sendiri, bentuk dari konflik kepentingan begitu luas. Salah satunya karena adanya hubungan kekerabatan dan hubungan keluarga (Lihat Pasal 43 UU AP).
Berbeda dengan UU AP, di dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menjadi pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara, konflik kepentingan itu termakna di dalam Pasal 17, yaitu hanya ada dalam 2 hal.
Pertama, konflik kepentingan itu tercipta karena adanya hubungan keluarga, sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai.
Kedua, konflik kepentingan itu tercipta karena adanya keterkaitan pekerjaan atau jabatan sebelumnya dengan perkara yang dihadapkan.
Mengenai konflik kepentingan yang pertama, terdapat 2 konsekuensi.
Baca juga: OPINI: Hari Buruh 2023, Momentum Untuk Buruh, Pengusaha dan Pemerintah
Pertama, hakimnya yang wajib mengundurkan diri dari persidangan, jika diantara sesama hakim memiliki hubungan keluarga atau diantara hakim dengan jaksa, advokat atau penitera itu memiliki hubungan keluarga.
Kedua, ketua majelis, hakim anggota, jaksa atau penitera yang wajib mengundurkan diri jika memiliki hubungan keluarga dengan orang yang diadili (terdakwa) atau dengan advokatnya.
Sedangkan mengenai konflik kepentingan yang kedua, konsekuensinya hakim atau paniteralah yang wajib mengundurkan diri jika memiliki keterkaitan pekerjaan atau jabatan sebelumnya dengan terdakwa.
Tidak Tepat
Pasal 220 ayat (2) KUHAP yang dijadikan dalih oleh JPU agar Ketua Majelis yang memeriksa dan mengadili Terdakwa Sulkarnain Kadir untuk mundur, tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 220 ayat (1) KUHAP.
Hal mana dalam ketentuan tersebutlah alasan mengapa hakim itu mesti mengudurkan diri, yaitu karena hakim berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung pada perkara yang ia adili.
Bagi penulis, tidak tepat jika dasar meminta Ketua Majelis Hakim untuk mundur dalam mengadili perkara terdakwa Sulkarnain Kadir dengan dalih adanya kepentingan langsung maupun tidak langsung pada perkara tersebut karena Ketua Majelis telah berpihak pada para terdakwa sebelumnya sehingga dijatuhi putusan bebas.
Baca juga: OPINI: Ramadhan Membentuk Manusia Sadar Khairul Bariyyah
Sebab, makna berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung yang terdapat di dalam Pasal 220 ayat (1) KUHAP bukanlah dimaknai karena adanya keberpihakan hakim sehingga ia harus mengundurkan diri, melainkan dimaknai karena adanya hubungan pekerjaan sebelumnya antara hakim dengan terdakwa.
Penjelasan mengenai “berkepentingan langsung maupun tidak langsung” tidaklah ditemukan di dalam KUHAP. Melainkan di dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.
Bahwa yang dimaksud dengan kepentingan langsung atau tidak langsung adalah “termasuk apabila hakim atau penitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya”.
Oleh karena itu, berdasarkan interpretasi sistematis yang berlaku di dalam hukum pidana, hal mana membolehkan pernafsiran suatu ketentuan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain, maka frasa berkepentingan langsung maupun tidak langsung yang terdapat di dalam Pasal 220 ayat (1) KUHAP haruslah dimaknai pula sama dengan Penjelasan Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.
Bahwa berdasarkan hal tersebut, di dalam kasus ini, maka mesti ada pertalian antara Ketua Majelis dengan Terdakwa Sulkarnain Kadir.
Apakah dalam perjalanan hidup Ketua Majelis sebelum menjadi seorang hakim, dulunya ia pernah memiliki hubungan pekerjaan dengan terdakwa Sulkarnain Kadir ataukah tidak.
Jika Ketua Majelis Hakim, ternyata dimasa silam itu, sebelum melekatnya sumpah hakim pada dirinya, ternyata pernah memiliki hubungan pekerjaan dengan Terdakwa Sulkarnain Kadir, maka ketentuan Pasal 220 ayat (1) KUHAP itu berlaku padanya, sehingga ia wajib mengundurkan diri sebagai hakim.
Baca juga: OPINI: Upaya Penanganan Konflik Buaya VS manusia di Sulawesi Tenggara
Sebagaimana asas hukumnya yang berbunyi nemo judex idoneus in propria causa, yang artinya tiada seorang hakim pun yang mendaili perkara dimana ia memiliki kepentingan.
Tetapi, selama ia tidak memiliki hubungan pekerjaan itu sebelumnya, maka ia tidak wajib untuk mengundurkan diri.
Kasasi
Jika kita menyusuri poin pernyataan sikap JPU yang dibacakan dihadapan persidangan, sebenarnya lebih kepada bentuk kekecewaan dan kegamangan dari suasana kebatinan JPU.
Kecewa atas vonis bebas Ridwansyah Taridala dan Syarif Maulana. Dan gamang karena terdakwa Sulkarnain Kadir sudah dipastikan juga akan menyusul 2 terdakwa sebelumnya.
Namun, nampak tidak anggun rasanya jika kekecewaan atas perkara orang lain justru ditumpahkan seluruhnya ke dalam perkara terdakwa Sulkarnain Kadir, hingga mogok bersidang.
Mestinya, jika JPU yakin akan dakwaan dan tuntutannya terhadap perkara Ridwansyah Taridala dan Syarif Maulana benar-benar melakukan tindak pidana, maka tersedia ruang untuk men-challenge putusan bebas tersebut dengan mengajukan kasasi.
Baca juga: OPINI: Sanksi Pidana Menanti Pelaku Money Politik
JPU mestinya tak perlu berawai untuk itu. Lebih-lebih lagi, secara esensi posisi JPU sangatlah diuntungkan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang membolehkan putusan bebas diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Hal itu bisa dilihat dalam pertimbangan Mahkamah dalam putusannya pada Paragraf 3.13.4 yang mengatakan “…putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung kemudian dimohonkan pemeriksaan kasasi, tidak boleh diartikan bahwa Mahkamah Agung pasti menyatakan terdakwa bersalah dan dijatuhi pidana. Bisa saja Mahkamah Agung sependapat dengan pengadilan yang berada di bawahnya…”.
Dengan pertimbangan yang demikian itu, bukankah pihak terdakwa yang sebenarnya dirugikan dengan adanya upaya hukum terhadap putusan bebas?
Hal mana, sejak awal ia telah dituduh melakukan tindak pidana, ditahan, hak asasinya telah direnggut dan dibatasi sebagai seorang manusia yang merdeka.
Mestinya putusan bebas yang diganjar kepadanya menjadi hadiah atas semua proses perampasan hak yang dialami terdakwa selama menjalani proses hukum.
Namun ternyata Mahkamah justru membolehkan putusan bebas untuk di kasasi yang membuat nasib para terdakwa menjadi terkatung-katung dan diselimuti rasa was-was, sebab vonis bersalah juga masih menghantuinya.
Bermuara Pidana
Baca juga: OPINI: Apakah Ferdy Sambo Bisa Lepas dari Jerat Hukuman Mati?
Di dalam penegakan hukum (law enforcement), JPU menjadi salah satu yang memiliki peran sangat sentral.Berjalan dengan tidaknya suatu perkara, semua itu berada di tangan JPU.
Untuk itulah ia disebut sebagai “dominus litis”, sang pengendali perkara. Aksi mogok JPU untuk bersidang dalam kasus terdakwa Sulkarnain Kadir menjadi masalah yang cukup genting.
Bagaimana tidak, pengendalian perkara itu ada di tangannya. Maka dengan ketidakhadiran JPU di persidangan membuat persidangan itu tidak bisa berjalan.
Berbeda halnya jika dalam persidangan tanpa kehadiran penasehat hukum terdakwa, hal itu tidaklah menjadi hambatan.
Begitu pun jika terdakwa itu tidak hadir dalam persidangan. Tidak menjadikan proses persidangan menjadi mandek dan tetap bisa terus berjalan.
Sebab, saat ini telah dikenal peradilan in absentia, yaitu proses persidangan tanpa kehadiran terdakwa. Dan perkara korupsi menjadi bagian dari peradilan in absentia itu.
Namun, tak terkecuali tanpa kehadiran JPU. Persidangan menjadi lumpuh, dan tidak bisa berjalan tanpa kehadirannya di ruang persidangan.
Baca juga: OPINI: Urgensi Penataan Kawasan Tepian Sungai Wanggu Kendari Sulawesi Tenggara
KUHAP sebagai pedoman akan jalannya proses beracara, sudah berupaya mengantisipasi ketidakhadiran JPU dalam sidang. Ketentuan Pasal 198 KUHAP memberikan solusi jika JPU berhalangan hadir di persidangan, maka pejabat Kejaksaan yang berwenang untuk itu dapat menunjuk penggantinya. Kendati demikian, ketentuan Pasal 198 KUHAP ini hanyalah terbatas pada berhalangan jika JPU itu mengalami sakit atau mendapat tugas lain.
Pasal 198 KUHAP tidak menyasar sampai pada adanya kesengajaan untuk tidak mau hadir bersidang.
Apalagi jika pimpinan pejabat yang bewenang untuk menunjuk pergantian JPU yang berhalangan itu malah juga ikut terlibat dalam ketidakhadirannya untuk bersidang.
Tentu ketentuan Pasal 198 KUHAP menjadi mati suri. Ada, tetapi tak bisa digunakan.
Guna mencegah terjadinya kesengajaan tidak hadirnya pihak-pihak tertentu di dalam persidangan, maka pembentuk UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kemudian memasukkan ketentuan tentang perintangan penegakan hukum atau Obstuction of Justice yang tertuang di dalam Pasal 21.
Hal mana ketentuan ini bertujuan untuk mencegah pihak-pihak yang dengan sengaja merintangi, atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan maupun proses pemeriksaan di persidangan.
Pada praktiknya, implementasi Pasal 21 UU Tipikor ini kerap kali hanya menyasar pihak terdakwa, kerena acap kali pihak terdakwalah yang menyulitkan proses penegakan hukum.
Baca juga: OPINI: Nikel Sultra Terhadap “Kesejahteraan” Ekonomi
Baik itu upaya melarikan diri, ataupun menghilangkan alat bukti.
Tetapi kemudian menjadi pertanyaan, mungkinkah pula, Pasal 21 UU Tipikor ini diterapkan pada aparat penegak hukum lainnya termasuk JPU?
Jika membaca ketentuan Pasal 21 UU Tipikor secara letterlijk, adresat hukum yang dituju sebagai pelaku atau dader menggunakan frasa “setiap orang”, hal mana itu dimaknai siapapun bisa menjadi pelaku obstruction of justice ini, termasuk juga JPU.
Selama ada wujud perbuatan konkretnya berupa melakukan pencegahan, perintangan, atau menggagalkan pemeriksaan di sidang pengadilan, maka bisa saja terkualifikasi menjadi suatu tindak pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 21 UU Tipikor.
walk out
Jaksa Penuntut Umum
JPU
Kejati Sultra
Pengadilan Tipikor Kendari
Kota Kendari
Sulawesi Tenggara
PT Midi Utama Indonesia
Alfamidi
Muhammad Takdir Al Mubaraq
Sulkarnain Kadir
OPINI: La Kare Pahlawan Pendidikan dari Muna Masa Pemerintahan Hindia Belanda, 1933-1935 |
![]() |
---|
OPINI: Menebak Arah Putusan Ridwansyah Taridala |
![]() |
---|
OPINI: Tantangan Implementasi Delapan Agenda Strategis Pj Gubernur Sulawesi Tenggara |
![]() |
---|
OPINI: KPHku Sayang, Hutanku Gersang |
![]() |
---|
OPINI: Potensi Kemaritiman Indonesia, Nasibmu Kini |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.