OPINI
OPINI: Sayup-sayup Pancasila
Catatan Kecil Menyongsong Simposium Nasional BPIP Tentang Ekonomi Pancasila
Distorsi akan melahirkan distorsi berikutnya, yang terus melingkar dan tak berkesudahan.
Tetapi sampai kapanpun distorsi tidak akan menjadi ideologi.
Tidak tersedianya kerangka epistemologis menyebabkan apa yang dipandang sebagai nilai-nilai Pancasila hanya dapat berfungsi sebagai acuan-acuan normatif-etis yang bersifat simbolik untuk mempengaruhi kita memilih teori dan sistem ekonomi tertentu dari luar Pancasila sebagai sebuah mekanisme sosial yang dipandang mampu mengantar, atau paling tidak mendekatkan bangsa ini kepada tujuan-tujuan mulia yang hendak diwujudkan.
Hal ini disebabkan Pancasila tidak memiliki basis ontologis yang kokoh sebagai dasar untuk merumuskan kerangka epistemologis dan praksis dari nilai-nilai Pancasila secara deduksi.
Pancasila Sebagai Paradigma?
Jika Mubyarto dkk masih berkutat pada penelitian untuk menemukan binatang buruan yang disebut SPP, beberapa pakar ekonomi tanah air bahkan sudah melangkah lebih jauh. Mereka mengandaikan sistem ekonomi Pancasila sudah berwujud, bahkan merealita dalam kehidupan bangsa saat ini.
Rokhmin Dahuri misalnya, dalam tulisannya berjudul, "Pancasila Untuk Dunia", (Kompasiana, 13 Maret 2020), malahan telah menawarkan Pancasila sebagai paradigma global bagi pembangunan negara-negara di dunia saat ini.
Usulan itu berangkat dari keprihatinan Guru Besar Ekokomi IPB itu terhadap ketimpangan sosial ekonomi dunia yang dipandang sebagai bentuk kegagalan kapitalisme sebagai satu-satunya ideologi yang mendominasi dunia saat ini.
Padahal faktanya, 76 tahun Indonesia merdeka dan menjadikan Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara, tetapi sampai saat ini kita belum mampu merumuskan satu sistem ekonomi yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Diskursus tentang Pancasila selama ini memang cenderung dibatasi dan hanya berlangsung dalam tataran operasional praktis ketimbang konseptual-filosofis.
Selama 76 tahun usia Pancasila sebagai asas, bangsa ini terus bereksperimen.
Kita melompat dari satu ruang percobaan ke ruang percobaan berikutnya dalam ekonomi (dan demokrasi) kemudian kita terkaget-kaget sambil bertanya, kok seperti ini hasilnya?
Secara faktual-empiris juga tampak bahwa keadilan sosial yang menjadi cita-cita berbangsa-bernegara ternyata masih jauh panggang dari api.
Tingkat kesenjangan sosial-ekonomi bangsa ini masih termasuk yang terjelek di dunia --terlepas dari penurunan indeks gini ratio kita dalam 5-6 tahun terakhir merupakan yang terbesar selama Indonesia merdeka.
Lantas, apa yang mau ditawarkan?
Karenanya, menarik untuk menantikan Simposium Nasional tentang ekonomi Pancasila oleh BPIP yang akan berlangsung di penghujung September ini.
Akankah simposium dimaksud dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang lebih mendetil dan implementatif bagi upaya membumikan nilai-nilai Pancasila khususnya di bidang ekonomi, ataukah sekadar semacam seremonial, mengulang romantisme masa lalu tentang kerinduan akan hadirnya satu sistem ekonomi yang akan mengantar bangsa ini kearah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Entahlah.
Yang pasti dan perlu menjadi catatan bersama, modus berpikir normatif justru kerap kali berubah jadi petuah-petuah moralistis yang utopis jika ternyata acuan-acuan normatif-etis yang dikehendaki itu tidak punya pijakan yang kokoh di bumi. Wallahu a'lam bi-al shawab.(*)