OPINI
OPINI: Sayup-sayup Pancasila
Catatan Kecil Menyongsong Simposium Nasional BPIP Tentang Ekonomi Pancasila
Lalu, bagaimana sesungguhnya rumusan SPP yang dikendaki Mubyarto dkk? Adakah rumusan tersebut telah berbentuk sistem ekonomi yang praksis?
Dari paparan yang tersaji di sejumlah jurnal dan media massa, tampak bahwa rumusan SPP itu belum berbentuk sistem ekonomi yang praksis seperti klaim mereka.
Paling jauh, Mubyarto baru sampai pada identifikasi apa yang disebutnya sebagai ciri-ciri ekonomi Pancasila secara normatif, yang diklaim sebagai variabel yang membedakannya dengan sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme.
Mubyarto misalnya menampik pandangan Emil Salim yang menyebut ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar dengan unsur perencanaan oleh negara, dimana kedua sistem ekonomi itu, kapitalisme dan sosialisme berada pada posisi ekuilibrium.
Bagi Mubyarto, pandangan Emil Salim masih terperangkap dalam dua sangkar ideologi besar yang membelah dunia dalam dua kutub ideologi kala itu: kapitalisme dan sosialisme.
Mubyarto bahkan menolak menjadikan belantara kapitalisme dan sosialisme sebagai hutan perburuan untuk menangkap binatang buruan yang disebutnya SPP itu. Menurutnya, SPP sangat mungkin berada di luar sistem kapitalisme dan sosialisme.
Kapitalisme ditolak Mubyarto karena sistem ini yang menggantungkan pada kekuatan ekonomi pasar untuk mengalokasikan sumber daya, hanya akan menguntungkan golongan ekonomi kuat, kurang mampu meningkatkan peranan golongan ekonomi lemah (Kompas, 2 Mei 1979).
Sosialisme juga ditolak karena merupakan sistem ekonomi perencanaan, ekonomi peraturan, ekonomi komando atau ekonomi negara.
Kata Mubyarto, "Ekonomi peraturan semacam ini jelas antitekal dengan maksud dari ekonomi Pancasila sebagai wadah berkembangnya manusia-manusia seutuhnya.
Bagaimana kita bisa mengharapkan tumbuhnya manusia-manusia yang utuh apabila setiap langkahnya diatur oleh peraturan-peraturan yang membatasi berkembangnya individualitas dan otoaktivitas mereka?
Sistem ekonomi Pancasila harus bisa memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi perkembangan individualitas dan otoaktivitas setiap anggotanya sesuai bakat dan kemampuan masing-masing" (Mubyarto: 1981).
Lebih jauh Mubyarto mengurai, dalam SPP roda perekonomian harus digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral sekaligus.
Motif sosial dan moral ini ditekankan karena merupakan faktor pembeda dengan sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Di samping itu kata Mubyarto, dalam SPP harus ada kehendak kuat dari seluruh warga bangsa kearah terwujudnya pemerataan ekonomi, dan nasionalisme harus menjiwai setiap kebijakan ekonomi.
Tampak jelas dari berbagai rangkuman rumusan yang disampaikan Mubyarto di atas, SPP belum berbentuk konsep yang operasional. Lebih tepat disebut "kumpulan daftar keinginan" yang normatif dan utopis.