OPINI
OPINI: Sayup-sayup Pancasila
Catatan Kecil Menyongsong Simposium Nasional BPIP Tentang Ekonomi Pancasila
Catatan Kecil Menyongsong Simposium Nasional BPIP Tentang Ekonomi Pancasila
Zainal Arifin Ryha (fungsionaris KAHMI dan mantan Ketua Umum HMI Cabang Makassar)
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Di media sosial beredar flyer dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tetang rencana pelaksanaan Simposium Nasional membedah tema: "Studi dan Praktek Ekonomi Berparadigma Pancasila," yang akan diselenggarakan beberapa hari ke depan.
Simposium yang akan menghadirkan sederet nama mentereng sebagai nara sumber itu menarik karena seakan menghidupkan kembali gagasan tentang Sistem Perekonomian Pancasila (SPP) yang dirumuskan Mubyarto dkk di era 1980-an.
SPP yang kemunculannya kala itu disambut suka cita dan gegap gempita para akademisi dan intelektual tanah air yang sudah lama merindukan hadirnya satu sistem ekonomi alternatif dari sistem kapitalisme dan sosialisme yang dipandang bukan hanya tidak bersesuaian,
Baca juga: OPINI: Merumuskan Kembali Sistem Pemberantasan Korupsi
bahkan praktiknya di tanah air sudah menyimpang dari cita-cita bersama sebagai bangsa seperti tercantum dalam sila kelima Pancasila.
Tetapi, kematian diskusi publik yang menyertai diskursus tersebut yang relatif cepat, meski didahului semangat menggebu-gebu, menjadi petunjuk bahwa gagasan tentang SPP ini tidak dilandasi basis-basis pemikiran yang kokoh.
Akibatnya, ia segera berakhir pada jalan buntu kebingungan.
Bukan merupakan lingkup tulisan ini untuk menemukan dasar-dasar pemikiran yang logis bagi upaya perumusan sistem ekonomi Pancasila yang rumit itu.
Tulisan ini hanya berupa catatan-catatan kecil untuk memahami kerangka pikir yang mendasari rumusan SPP, yang hemat saya masih sangat normatif, bahkan utopis.
Normativisme dan Distorsi
Diskursus tentang SPP pertama kali dicetuskan Mubyarto pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ekonomi Univesitas Gajah Mada pada Mei 1979,
kemudian diikuti ceramah di berbagai forum serta wawancara dan tulisan di berbagai media, ternyata memperoleh sambutan luas.
Para akademisi dan fisuf seperti Boediono, Frans Seda, Nono Anwar Makarim, Mangunpranoto, Hidayat Nataatmadja dll, ikut memberi sumbangan pemikiran bagi upaya substansiasi SPP tersebut.
Fakultas Ekonomi UGM dalam rangkaian peringatan 25 tahun usianya pada bulan September 1980 bahkan membuat seminar khusus tentang SPP yang hasilnya dibukukan dan diberi judul: Ekonomi Pancasila.
Baca juga: OPINI : Sikap Toleransi Untuk Indonesia Sebagai Negara Multikultural
Lalu, bagaimana sesungguhnya rumusan SPP yang dikendaki Mubyarto dkk? Adakah rumusan tersebut telah berbentuk sistem ekonomi yang praksis?
Dari paparan yang tersaji di sejumlah jurnal dan media massa, tampak bahwa rumusan SPP itu belum berbentuk sistem ekonomi yang praksis seperti klaim mereka.
Paling jauh, Mubyarto baru sampai pada identifikasi apa yang disebutnya sebagai ciri-ciri ekonomi Pancasila secara normatif, yang diklaim sebagai variabel yang membedakannya dengan sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme.
Mubyarto misalnya menampik pandangan Emil Salim yang menyebut ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar dengan unsur perencanaan oleh negara, dimana kedua sistem ekonomi itu, kapitalisme dan sosialisme berada pada posisi ekuilibrium.
Bagi Mubyarto, pandangan Emil Salim masih terperangkap dalam dua sangkar ideologi besar yang membelah dunia dalam dua kutub ideologi kala itu: kapitalisme dan sosialisme.
Mubyarto bahkan menolak menjadikan belantara kapitalisme dan sosialisme sebagai hutan perburuan untuk menangkap binatang buruan yang disebutnya SPP itu. Menurutnya, SPP sangat mungkin berada di luar sistem kapitalisme dan sosialisme.
Kapitalisme ditolak Mubyarto karena sistem ini yang menggantungkan pada kekuatan ekonomi pasar untuk mengalokasikan sumber daya, hanya akan menguntungkan golongan ekonomi kuat, kurang mampu meningkatkan peranan golongan ekonomi lemah (Kompas, 2 Mei 1979).
Sosialisme juga ditolak karena merupakan sistem ekonomi perencanaan, ekonomi peraturan, ekonomi komando atau ekonomi negara.
Kata Mubyarto, "Ekonomi peraturan semacam ini jelas antitekal dengan maksud dari ekonomi Pancasila sebagai wadah berkembangnya manusia-manusia seutuhnya.
Bagaimana kita bisa mengharapkan tumbuhnya manusia-manusia yang utuh apabila setiap langkahnya diatur oleh peraturan-peraturan yang membatasi berkembangnya individualitas dan otoaktivitas mereka?
Sistem ekonomi Pancasila harus bisa memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi perkembangan individualitas dan otoaktivitas setiap anggotanya sesuai bakat dan kemampuan masing-masing" (Mubyarto: 1981).
Lebih jauh Mubyarto mengurai, dalam SPP roda perekonomian harus digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral sekaligus.
Motif sosial dan moral ini ditekankan karena merupakan faktor pembeda dengan sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Di samping itu kata Mubyarto, dalam SPP harus ada kehendak kuat dari seluruh warga bangsa kearah terwujudnya pemerataan ekonomi, dan nasionalisme harus menjiwai setiap kebijakan ekonomi.
Tampak jelas dari berbagai rangkuman rumusan yang disampaikan Mubyarto di atas, SPP belum berbentuk konsep yang operasional. Lebih tepat disebut "kumpulan daftar keinginan" yang normatif dan utopis.
Rumusan SPP tersebut levelnya baru pada aras gagasan yang masih bersemayam di langit-langit kognitif dan normatif, karena acuan-acuan normatif-etis yang dikehendaki belum dijelmakan secara konkret dan terstruktur kedalam teori dan sistem ekonomi yang praksis bagi mekanisme pelaksanaannya.
Artinya, sebagai "kumpulan daftar keinginan" yang ditandai penggunaan sejumlah kata-kata normatif dalam rumusannya seperti: harus, jangan, tidak boleh, tidak demikian, dan seterusnya, saya kira tidak harus menjadi profesor atau pakar ekonomi untuk bisa merumuskannya.
Siapapun dapat membuat atau bahkan menambahkan lagi ratusan daftar keinginan ideal-normatif semacam itu kedalam rumusan SPP sebagai bentuk "keharusan-keharusan" dalam praktek ekonomi bangsa, tetapi tetap saja keharusan-keharusan itu menjadi tidak realistis karena tidak punya akar yang kokoh di bumi.
Hal ini tidak aneh karena Pancasila bukan ideologi dalam pengertian ilmiah yang bisa diletakkan dalam aras sejajar atau dalam yukstaposisi dengan kapitalisme dan sosialisme.
Pancasila adalah ideologi politik negara dimana pemberian statusnya sebagai ideologi dilakukan lewat pendekatan politik.
Bukan pendekatan ilmiah yang mensaratkan keketatan konsep.
Pancasila merupakan common platform.
Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyebutnya Kalimatun Sawa', titik ekuilibrium dari konsensus nasional yang berfungsi sebagai asas untuk melembagakan heterogenitas bangsa kita yang majemuk.
Pancasila sebenarnya memuat gambaran tentang masyarakat yang utopis dan nilai-nilai yang dicita-citakan.
Karenanya teori dan sistem ekonomi tidak dapat diderivasi dari Pancasila.
Anggapan bahwa Pancasila telah memuat segalanya, dan satu teori serta sistem ekonomi dapat diciptakan dari Pancasila secara deduksi, adalah kerangka pikir yang dikenal dengan istilah modus berpikir normatif.
Bahayanya, karena normativisme kerap kali merangsang seseorang untuk terlena menuju distorsi.
Kalau ia sudah menjadi distorsi, maka kita sendiri-sendiri atau bersama-sama sebagai bangsa terjebak pada dunia "seolah-olah".
Akibatnya, kita lalu dipaksa untuk percaya kepada makna (apparent meaning) yang kita proyeksikan sendiri.
Dalam kondisi seperti ini "dunia seolah-olah" adalah kenyatan.
Distorsi akan melahirkan distorsi berikutnya, yang terus melingkar dan tak berkesudahan.
Tetapi sampai kapanpun distorsi tidak akan menjadi ideologi.
Tidak tersedianya kerangka epistemologis menyebabkan apa yang dipandang sebagai nilai-nilai Pancasila hanya dapat berfungsi sebagai acuan-acuan normatif-etis yang bersifat simbolik untuk mempengaruhi kita memilih teori dan sistem ekonomi tertentu dari luar Pancasila sebagai sebuah mekanisme sosial yang dipandang mampu mengantar, atau paling tidak mendekatkan bangsa ini kepada tujuan-tujuan mulia yang hendak diwujudkan.
Hal ini disebabkan Pancasila tidak memiliki basis ontologis yang kokoh sebagai dasar untuk merumuskan kerangka epistemologis dan praksis dari nilai-nilai Pancasila secara deduksi.
Pancasila Sebagai Paradigma?
Jika Mubyarto dkk masih berkutat pada penelitian untuk menemukan binatang buruan yang disebut SPP, beberapa pakar ekonomi tanah air bahkan sudah melangkah lebih jauh. Mereka mengandaikan sistem ekonomi Pancasila sudah berwujud, bahkan merealita dalam kehidupan bangsa saat ini.
Rokhmin Dahuri misalnya, dalam tulisannya berjudul, "Pancasila Untuk Dunia", (Kompasiana, 13 Maret 2020), malahan telah menawarkan Pancasila sebagai paradigma global bagi pembangunan negara-negara di dunia saat ini.
Usulan itu berangkat dari keprihatinan Guru Besar Ekokomi IPB itu terhadap ketimpangan sosial ekonomi dunia yang dipandang sebagai bentuk kegagalan kapitalisme sebagai satu-satunya ideologi yang mendominasi dunia saat ini.
Padahal faktanya, 76 tahun Indonesia merdeka dan menjadikan Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara, tetapi sampai saat ini kita belum mampu merumuskan satu sistem ekonomi yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Diskursus tentang Pancasila selama ini memang cenderung dibatasi dan hanya berlangsung dalam tataran operasional praktis ketimbang konseptual-filosofis.
Selama 76 tahun usia Pancasila sebagai asas, bangsa ini terus bereksperimen.
Kita melompat dari satu ruang percobaan ke ruang percobaan berikutnya dalam ekonomi (dan demokrasi) kemudian kita terkaget-kaget sambil bertanya, kok seperti ini hasilnya?
Secara faktual-empiris juga tampak bahwa keadilan sosial yang menjadi cita-cita berbangsa-bernegara ternyata masih jauh panggang dari api.
Tingkat kesenjangan sosial-ekonomi bangsa ini masih termasuk yang terjelek di dunia --terlepas dari penurunan indeks gini ratio kita dalam 5-6 tahun terakhir merupakan yang terbesar selama Indonesia merdeka.
Lantas, apa yang mau ditawarkan?
Karenanya, menarik untuk menantikan Simposium Nasional tentang ekonomi Pancasila oleh BPIP yang akan berlangsung di penghujung September ini.
Akankah simposium dimaksud dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang lebih mendetil dan implementatif bagi upaya membumikan nilai-nilai Pancasila khususnya di bidang ekonomi, ataukah sekadar semacam seremonial, mengulang romantisme masa lalu tentang kerinduan akan hadirnya satu sistem ekonomi yang akan mengantar bangsa ini kearah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Entahlah.
Yang pasti dan perlu menjadi catatan bersama, modus berpikir normatif justru kerap kali berubah jadi petuah-petuah moralistis yang utopis jika ternyata acuan-acuan normatif-etis yang dikehendaki itu tidak punya pijakan yang kokoh di bumi. Wallahu a'lam bi-al shawab.(*)