OPINI

OPINI: Sayup-sayup Pancasila

Catatan Kecil Menyongsong Simposium Nasional BPIP Tentang Ekonomi Pancasila

Editor: Aqsa
Dok Pribadi
Zainal Arifin Ryha, fungsionaris KAHMI dan mantan Ketua Umum HMI Cabang Makassar. 

Rumusan SPP tersebut levelnya baru pada aras gagasan yang masih bersemayam di langit-langit kognitif dan normatif, karena acuan-acuan normatif-etis yang dikehendaki belum dijelmakan secara konkret dan terstruktur kedalam teori dan sistem ekonomi yang praksis bagi mekanisme pelaksanaannya.

Artinya, sebagai "kumpulan daftar keinginan" yang ditandai penggunaan sejumlah kata-kata normatif dalam rumusannya seperti: harus, jangan, tidak boleh, tidak demikian, dan seterusnya, saya kira tidak harus menjadi profesor atau pakar ekonomi untuk bisa merumuskannya.

Siapapun dapat membuat atau bahkan menambahkan lagi ratusan daftar keinginan ideal-normatif semacam itu kedalam rumusan SPP sebagai bentuk "keharusan-keharusan" dalam praktek ekonomi bangsa, tetapi tetap saja keharusan-keharusan itu menjadi tidak realistis karena tidak punya akar yang kokoh di bumi.

Hal ini tidak aneh karena Pancasila bukan ideologi dalam pengertian ilmiah yang bisa diletakkan dalam aras sejajar atau dalam yukstaposisi dengan kapitalisme dan sosialisme.

Pancasila adalah ideologi politik negara dimana pemberian statusnya sebagai ideologi dilakukan lewat pendekatan politik.

Bukan pendekatan ilmiah yang mensaratkan keketatan konsep.

Pancasila merupakan common platform.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyebutnya Kalimatun Sawa', titik ekuilibrium dari konsensus nasional yang berfungsi sebagai asas untuk melembagakan heterogenitas bangsa kita yang majemuk.

Pancasila sebenarnya memuat gambaran tentang masyarakat yang utopis dan nilai-nilai yang dicita-citakan.

Karenanya teori dan sistem ekonomi tidak dapat diderivasi dari Pancasila.

Anggapan bahwa Pancasila telah memuat segalanya, dan satu teori serta sistem ekonomi dapat diciptakan dari Pancasila secara deduksi, adalah kerangka pikir yang dikenal dengan istilah modus berpikir normatif.

Bahayanya, karena normativisme kerap kali merangsang seseorang untuk terlena menuju distorsi.

Kalau ia sudah menjadi distorsi, maka kita sendiri-sendiri atau bersama-sama sebagai bangsa terjebak pada dunia "seolah-olah".

Akibatnya, kita lalu dipaksa untuk percaya kepada makna (apparent meaning) yang kita proyeksikan sendiri.

Dalam kondisi seperti ini "dunia seolah-olah" adalah kenyatan.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved