Berita Sulawesi Tenggara

Sosok 2 Pahlawan Nasional Asal Sulawesi Tenggara, Jenderal Polisi Pendiri Brimob, dan Sultan Buton

Mengenal sosok 2 pahlawan nasional asal Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni Sultan Buton ke-20 dan 23 serta Komjen Pol (Purn) Moehammad Jasin.

Penulis: Sri Rahayu | Editor: Aqsa
kolase foto handover
PAHLAWAN NASIONAL SULTRA - Kolase foto arsip Komjen Pol (Purn) Moehammad Jasin (kanan), serta Sultan Buton ke-20 dan 23, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, atau Oputa Yi Koo yang juga dikenal dengan julukan La Karambau. Mendiang Komjen Jasin dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 7 November 2015, disusul Oputa Yi Koo pada tahun 2015. 

Sultan yang juga berjuluk La Karambau ini memerintah periode pertama 1750-1752, selanjutnya periode kedua tahun 1760-1763.

Oputa Yi Koo lahir di Pulau Buton, pada awal abad ke-18 Masehi.

Ayahnya adalah Sultan Buton ke-13, Sultan La Umati.

Ciri paling menonjol dari kekuasaan La Karambau, julukan Sultan Himayatuddin, adalah serangkaian perang dalam melawan VOC.

Pada masa kepemimpinannya, dia bergerilya menentang pemerintahan Hindia Belanda dalam Perang Buton.

Diketahui, Buton adalah kesultanan yang dihimpit oleh dua kerajaan yakni Kerajaan Gowa dan Ternate.

Buton dihadapkan pada pilihan untuk bersekutu dengan VOC agar terlepas dari tekanan Gowa dan Ternate.

Selain itu, terdapat juga konflik internal Kesultanan Buton yang semakin berdampak pada kuatnya dominasi dan hegemoni VOC.

Akar perlawanan Buton terhadap VOC ini berawal sejak tahun 1667.

Kala itu, terjadi perjanjian antara Kesultanan Buton dan VOC.

Pokok perjanjian yakni semua pohon cengkeh dan pala harus dimusnahkan di seluruh Kepulauan Tukang Besi terutama di Kaledupa dan Wangi-Wangi.

Sebagai gantinya, VOC akan membayar 100 ringgit setiap tahunnya.

Namun, hubungan antara Kesultanan Buton dan VOC tidak berlangsung lama.

Baca juga: Sosok La Ode Muhammad Sjamsul Qamar Dilantik Jadi Sultan Buton ke-41 di Baubau Sulawesi Tenggara

Ketika Sultan Himayatuddin naik tahta tahun 1751, ia menganggap bahwa perjanjian ini adalah penghinaan terhadap kesultanan Buton.

Selain itu, perjanjian ini juga memberikan dampak kerugian yang membuat kondisi ekonomi masyarakat Buton jadi menurun.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved