OPINI
OPINI: Catatan Kritis Penanganan Tindak Pidana Judi Online dalam Perspektif Prospektif
Publik kembali memberikan kritik atas krisis penegakan hukum dalam pemberantasan judi online yang terjadi.
Apakah terhadap pelaku dapat dikenakan tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Baca juga: OPINI: Warkop dan Gelas yang Kosong
Namun apabila pelaku disangkakan dengan tindak pidana penipuan yang termasuk dalam kelompok perkara terhadap kejahatan harta benda, apakah pelapor dalam hal ini bandar dapat dikatakan sebagai korban!!!
Berbeda halnya dengan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang bermuatan perjudian, sebagaimana diatur dalam UU ITE atau tindak pidana perjudian yang masuk dalam KUHP yang termasuk dalam kelompok perkara mengganggu ketertiban umum, sehingga tidak memerlukan adanya laporan dari pihak korban tetapi pengaduan sifatnya dapat diperoleh dari laporan masyarakat.
Meskipun perjudian merupakan delik formal yang dengan terpenuhinya unsur tindak pidana dan bukan akibat, tetapi penyelesaian perkara judi online mesti dilakukan secara komprehensif.
Mengingat judi online dapat masuk secara masif dalam ruang digital, dengan menyasar segala kelompok masyarakat yang berdampak pada rusaknya sendi-sendi masyarakat.
Eksistensi Undang-Undang yang mengatur tentang tindak pidana perjudian memang perlu direvisi dalam bentuk kodifikasi mengingat eksisting pasal yang terdapat baik dalam UU ITE maupun KUH hanya menyasar “pemain kecil” dengan domain ancaman yang secara limitatif sama dengan “pemain besar/bandar”.
Baca juga: OPINI: Citizen Science Sebagai Cara Lain dalam Mencari Solusi Terkait Isu Lingkungan
Tidak adanya kualifikasi pelaku dalam makna teleologis yang terdapat dalam undang-undang yang mengatur tindak pidana perjudian serta minimnya pasal yang mengatur.
Maka diperlukan regulasi yang bukan lagi terfokus pada penanganan tetapi pada konteks pemberantasan melalui pembentukan undang-undang tentang pemberantasan perjudian seperti halnya undang-undang pemberantasan korupsi.
Mengingat secara histroris pentingnya pemberantasan perjudian sebagaimana semangat dan jiwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang penerbitan perjudian pada konsideran yang menyebutkan perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasi sampai lingkungan sekecil-kecilnya untuk akhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah indonesia.
Maka dalam upaya transisi dari penertiban menuju penghapusan diperlukan upaya-upaya dalam pemberantasannya, terlebih tindak pidana perjudian masuk dalam predicate crime Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Urgensi kiranya upaya pemberantasan kembali lagi pada semangat, komitmen dan konsistensi pemerintah dalam melakukan pemberantasan perjudian melalui upaya pembentukan undang-undang tentang pemberantasan perjudian.
Salam literasi.
(TribunnewsSultra.com)
| OPINI: Ulat Kelapa: Hama yang Ternyata Kaya Manfaat bagi Industri Enzim Nasional |
|
|---|
| OPINI: Ketika Tradisi Abaikan Hak Anak: Kajian Sosiologi Hukum Pernikahan Dini di Sulawesi Tenggara |
|
|---|
| OPINI: Donor Darah: Menolong Sesama, Menjaga Kesehatan Diri |
|
|---|
| OPINI: Aneurisma Otak: Si Silent Killer yang Tak Pernah Memberi Peringatan |
|
|---|
| OPINI: Generasi Izin Share |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sultra/foto/bank/originals/Fadly-A-Safaa.jpg)