OPINI

OPINI: Citizen Science Sebagai Cara Lain dalam Mencari Solusi Terkait Isu Lingkungan

Isu lingkungan kini menjadi sorotan utama di berbagai lini media, khususnya menyoroti kerusakan lingkungan dan perebutan pengelolaan sumber daya alam.

Istimewa
MAHASISWA UGM - Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Aditya Nugroho Sofyan. 

Oleh: Muhammad Aditya Nugroho Sofyan

Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM)

TRIBUNNEWSSULTA.COM, KENDARI - Isu lingkungan kini menjadi sorotan utama di berbagai lini media, khususnya menyoroti terkait kerusakan lingkungan dan perebutan pengelolaan sumber daya alam.

Perebutan Pengelolaan Lingkungan

Seperti kerusakan hutan di Papua yang mengancam keberlangsungan pangan lokal seperti sagu, yang selama ini menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat (Saturi, 2024). 

Demikian pula dengan polemik pertambangan di Pulau Gag yang menunjukkan bagaimana proyek ekstraktif seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan (Asnawi, 2025). 

Kedua kasus ini mencerminkan persoalan mendasar, yakni perebutan kontrol atas sumber daya alam antara negara, korporasi swasta, dan masyarakat lokal. 

Perebutan tersebut tidak hanya menciptakan ketegangan ekologis, tetapi juga konflik sosial-politik yang kompleks dan berlarut-larut.

Pandangan mengenai pengelolaan sumber daya alam, seperti hutan kerap kali berbeda antara aktor- aktor yang terlibat. 

Baca juga: OPINI: Ulat Kelapa: Hama yang Ternyata Kaya Manfaat bagi Industri Enzim Nasional

Negara dan pelaku swasta cenderung melihat hutan sebagai ruang ekonomi yang harus dimaksimalkan nilai ekonomisnya. 

Sebaliknya, bagi masyarakat lokal, hutan tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga merupakan bagian penting dari kehidupan sosial, budaya, dan ekologis mereka. 

Perbedaan perspektif ini diperkuat oleh paradigma yang berpusat pada state-based forest resource management (Suprapto & Purwanto, 2014, hlm. 16–17). 

Dalam paradigma ini, negara diposisikan sebagai pemegang otoritas utama atas pengelolaan hutan. 

Akibatnya, suara dan hak masyarakat lokal kerap terpinggirkan dan terabaikan. 

Kondisi ini mendorong tuntutan masyarakat lokal untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan hutan yang menyangkut ruang hidup mereka.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved