Breaking News

Opini

OPINI: Menebak Arah Putusan Ridwansyah Taridala

Hari Jumat, 10 November 2023 adalah akhir dari kasus yang menimpa Ridwansyah Taridala dan akan segera diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Ke

istimewa
Opini Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H. Penulis merupakan alumnus Magister Ilmu Hukum FH UGM 

Lantas, apa yang dimaksud dengan memaksa itu di dalam Pasal 12 huruf e?

Memaksa dalam rumusan Pasal 12 huruf e itu adalah tindakan menyudutkan seseorang sehingga tidak memberikan pilihan lain yang lebih wajar bagi orang tersebut selain daripada mengikuti kehendak dari si pemaksa. Dengan kata lain, akibat dari pemaksaan itu, jika tidak dilaksanakan adalah sesuatu yang merugikan si terpaksa.

Keterukuran mengenai objek perbuatan memaksa di dalam Pasal 12 huruf e juga terlimitasi hanya dalam 4 keadaan. Pertama, orang yang terpaksa itu memberikan sesuatu. Kedua, orang yang terpaksa itu melakukan pembayaran. Ketiga, orang yang terpaksa itu menerima pembayaran dengan potongan. Keempat, orang yang terpaksa itu mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Atas 4 keadaan tersebut, sehingga mutatis-mutandis juga akan mengalami kerugian. Untuk keadaan yang pertama, kedua, dan ketiga, jika itu sesuatu yang bernilai, misalnya uang, maka orang yang dipaksa itu akan mengalami kerugian atas uang itu. Sedangkan untuk keadaan yang keempat, kerugian yang dialami adalah melakukan suatu perbuatan yang diluar dari kehendaknya.

Oleh karena unsur memaksa di dalam Pasal 12 huruf e ini menjadi unsur yang krusial untuk dibuktikan, maka JPU harus bisa membuktikan “apakah Alfamidi selaku korban dalam kasus ini, merasa terpaksa dan merasa dirugikan atas pemberian uang Rp700 juta kepada Syarif Maulana?”.

Mengenai hal ini, berangkat dari fakta persidangan, Penulis berpendapat sama sekali tidak ada alat bukti yang dapat membuktikan bahwa pihak Alfamidi mengalami keterpaksaan dan kerugian dari pemberian uang Rp700 juta tersebut. Sebab, uang tersebut bukanlah miliki Alfamidi. Dan uang tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan Ridwansyah Taridala. Dengan tidak adanya keterpaksaan, kerugian yang dialami oleh Alfamidi maka telah memencilkan Ridwansyah Taridala dari Dakwaan Pasal 12 huruf e ini.

Tidak Ada Penerimaan Dana

Pasal 11 adalah tentang suap. Perbuatan yang dilarang dan menjadi esensial dalam Pasal 11 ini adalah perbuatan “menerima”. Yang mana objek dari penerimaan itu berupa hadiah atau janji. Hadiah dapat diartikan sebagai sesuatu yang bernilai, termasuk juga uang. Sedangkan janji adalah sesuatu ungkapan yang menyatakan kesanggupan, yang mana janji itu tidak terbatas hanya pada sesuatu yang bernilai dengan uang tetapi juga sesuatu hal lain yang dapat mendatangkan keuntungan baginya.

Di dalam suap, salah satu ciri yang sangat khas dimiliki dan yang membedakan dengan gratifikasi itu adalah adanya “kesamaan kehendak” (meeting of mind) antara si pemberi dan penerima suap. Dan ini wajib dibuktikan oleh JPU.

Bahwa di dalam perkara ini turut melibatkan korporasi, maka unsur “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji” di dalam Pasal 11 mesti dibuat terang. Pertanyaan yang kemudian muncul, “pikiran siapakah yang digunakan jika itu adalah korporasi yang dimaksudkan di dalam Pasal 11 tersebut?”

Mengenai hal ini, Penulis berpendapat bahwa jika itu melibatkan korporasi, maka pikiran orang yang dimaksud dalam Pasal 11 itu adalah mesti pikiran dari pimpinan tertinggi dalam suatu perusahaan, yaitu Direktur. Hal ini beranjak dari Direct Corporate Criminal Liability Theory, yang menyatakan bahwa semua tindakan legal maupun ilegal yang dilakukan oleh high level manager atau direktur diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi. Sekalipun korporasi itu bukanlah sesuatu yang dapat berbuat sendiri dan tidak mungkin memiliki mens rea karena tidak memiliki kalbu sebagaimana asas hukumnya societas delinquere non potest. Tetapi itu semua dapat dicerminkan dari pikiran dari pimpinan tertinggi dari perusahaan tersebut yaitu direkturnya.

Berkaitan dengan itu, maka dalam kasus yang melibatkan Ridwansyah Taridala ini, yang mesti dibuktikan adalah “apakah Ridwansyah Taridala telah menerima sejumlah uang? Dan apakah Direktur Alfamidi berupaya melakukan suap dalam hal perizinan Alfamidi di Kota Kendari?”

Bila merujuk pada fakta persidangan, tidak ada satupun alat bukti yang menunjukkan jika Ridwansyah Taridala menerima uang. Jangan pun menerima, persamaan kehendak (meeting of mind) yang menjadi syarat terjadinya suap tidak pernah ada. Ia tidak pernah bertemu dengan pihak Alfamidi maupun dengan Syarif Maulana membicarakan pengecetan Kampung Warna-Warni. Dan pihak Alfamidi juga tidak pernah ada niat untuk melakukan penyuapan. Sehingga sudah begitu terang jika dakwaan kedua berdasar Pasal 11 terhadap Ridwansyah Taridala sumir terbukti.

Tidak Ada Pembantuan

Mengenai pembantuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 KUHP. Poin penting dari pembantuan yang harus dibuktikan adalah “harus ada kesengajaan dalam memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan”. Sedangkan fakta persidangan terungkap, tidak ada ada keterpaksaan, tidak ada kerugian, tidak ada upaya menyuap, tidak ada penerimaan dana. Bahkan sampai dengan di penghujung perkara ini, tidak diketahui siapa sebenarnya yang menjadi pelaku utama.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved