Berita Konawe Utara

Menerka Masa Depan Warga Desa Boedingi Kampung Suku Bajo Kala Dikepung Tambang Nikel

Berawal dari kondisi butiran sedimentasi nikel jatuh di laut lalu menutupi terumbu karang secara bertahap, tertutup pula mata pencaharian nelayan.

TribunnewsSultra.com/Desi Triana
Jalur inti kedatangan di Desa Boedingi, Lasolo Kepulauan, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Biasanya para pendatang akan melewati jalan terbuat dari kayu yang dibuat warga untuk akses ke area pertambangan. 

Selebihnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari lalu ditabung. Istrinya  lah yang akan mengatur seluruh keuangan dari hasil royalti itu.

Sebagai pemegang penuh persoalan dapur, La Mamma kerap berpesan pada sang istri untuk menyisihkan sisa uang yang ada untuk ditabung.

Sesekali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia juga menjadi buruh pasir dengan upah yang tidak seberapa dan tak menentu.

Saat Kehidupan Masyarakat Suku Bajo Berubah

Jurnalis TribunnewsSultra.com saat bertemu dengan Kepala Desa Boedingi, Aksar mengungkapkan bahwa kini wilayah yang dipimpinnya itu memiliki 66 kepala keluarga dari 241 jiwa. Terbagi diantaranya 108 laki-laki dan 133 perempuan. Angka ini disebutkan Aksar meningkat dari tahun ke tahun. Tidak semuanya penduduk asli. Sudah bercampur karena perkawinan.

Baca juga: Profil Perusahaan Smelter Nikel dan Industri Logam Dasar di Sulawesi Tenggara, PT VDNI, OSS, Antam

Menurutnya banyak warga yang memilih bertahan karena hadirnya perusahaan tambang nikel. Bagaimana tidak, warga diberikan kesempatan kerja hingga pembagian hasil penjualan nikel atau royalti. Diakuinya, terjadi perubahan yang cukup signifikan terkait mata pencaharian warga setempat.

Kekayaan Desa Boedingi perlahan dikeruk sampai berton-ton. Lalu dibawa dan dijual. Kapal-kapal tongkang beroperasi setiap harinya, melakukan aktivitas bongkar muat melintasi Teluk Lasolo.

Nyaris dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir saat perusahaan tambang nikel mulai menguasai lahan, pola kehidupan masyarakat Suku Bajo di Desa Boedingi perlahan berubah.

Berawal dari kondisi butiran sedimentasi nikel jatuh di laut lalu menutupi terumbu karang secara bertahap. Sehingga diduga ekosistem laut seperti terumbu karang hingga ikan ikut terdampak.  Warga mulai harus mengeluarkan sejumlah tenaga dan biaya untuk mencari ikan jauh dari desa. Belum lagi, tergiur dengan royalti yang ditawarkan perusahaan membuat sejumlah warga melepaskan pekerjaan melautnya.

Mengonfirmasi soal royalti yang diterima warga, kata Aksar hal tersebut memang kerap dilakukan setelah perusahaan mendapatkan keuntungan penjualan nikel 10 tongkang. Royalti ini menjadi perjanjian yang telah disepakati warga sejak perusahaan tambang beroperasi.

Bahkan royalti itu juga tidak termasuk dengan corporate social responsibility (CSR). Menariknya, Aksar mengungkapkan kerap kebingungan membedakan antara royalty dan CSR yang diterima. Karena proses penerimaan yang tidak menentu dan bertahap.

“Itu sudah keuntungan yang didapatkan warga disini. Menjadi kesepakatan yang tertuang dalam berita acara,” jelasnya.

Seorang anak lelaki Desa Boedingi melihat penjual keliling dari luar pulau yang menunggu datangnya kapal nelayan.
Seorang anak lelaki Desa Boedingi melihat penjual keliling dari luar pulau yang menunggu datangnya kapal nelayan. (TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Bagi Aksar, hanya warga tidak bersyukur saja yang merasa kurang dengan hasil pendapatan di Desa Boedingi.

"Uang royalti itu kadang banyak didapatkan. Kalau ditabung baik-baik pasti mencukupi untuk kehidupan sehari-hari," jelasnya.

Terlebih perusahaan juga menanggung beras yang didatangkan dari kota, listrik, hingga akses internet. Beberapa warganya yang masih masuk kualifikasi untuk bekerja di perusahaan pertambangan nikel, namun untuk mereka yang sudah berusia di atas 50 tahun dianggap sudah tidak produktif lagi.

Halaman
1234
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved