OPINI

OPINI: Merumuskan Kembali Sistem Pemberantasan Korupsi

OTT KPK terhadap Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur membuka kembali memori diskusi di grup WhatsApp grup KAHMI FH-Unhas beberapa bulan lalu. 

Editor: Risno Mawandili
TribunnewsSultra.com
Zainal Arifin Ryha 

Opini: Zainal Arifin Ryha

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Operasi Tangkap Tangan tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur yang baru tiga bulan menjabat devinitif menggantikan kawan saya almarhum Syamsul Bahri, membuka kembali memori diskusi di grup WhatsApp grup KAHMI FH-Unhas beberapa bulan lalu. 

Diskusi polemikal itu membedah efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia, menyusul penangkapan Gubernur Sulawesi Selatan Prof Nurdin Abdullah.

Maklum saja, para penghuni WhatsApp grup memiliki latar belakang keilmuan bidang hukum sekaligus mantan aktivis mahasiswa.

Hapal saya, penghuni  WhatsApp grup KAHMI FH-Unhas itu kini bergelut pada ragam profesi.

Mulai dari dosen, advokat, jaksa, bahkan tim hukum Pemerintah Daerah (Pemda) Sulawesi Selatan (Sulsel).

Tentu saja, adagium dalam hukum berlaku di sini, jika dua orang yuris bertemu maka akan muncul tiga pendapat.

Percakapan seorang kawan yang saat ini berdomisili di Kota Surabaya menulis "Saya agak sulit percaya bahwa NA pada saat ini jadi tersangka korupsi di KPK. Tapi itulah kenyataannya. Saya sangat dekat secara pribadi dengan beliau. NA yang saya kenal adalah sosok yang baik, religius dan inovatif, punya semangat kerja yang tinggi. Ketika belum menjadi politisi, saya banyak berdiskusi dan ikut membesarkan perusahaan miliknya. Namun setelah terjun di panggung politik diawali menjadi Bupati Bantaeng, saya relatif jarang berinteraksi sampai akhirnya muncul berita penangkapan kemarin oleh KPK. Bagi saya ini kenyataan yang betul-betul pahit."

Baca juga: OPINI: Celah Korupsi Dalam Regulasi Anggaran Covid-19

Pernyataan itu lantas memantik diskusi panjang. 

Dari membahas sistem rekrutmen kepemimpinan politik yang high cost, hingga soal efektifitas pemberantasan korupsi oleh KPK yang emunculkan kembali diskusi klasik soal mana yang lebih penting dan efektif, orang atau sistem?

Cukup lama saya hanya menyimak saling pendapat yang ramai itu.

Sampai seorang kawan yang kini menjabat Kepala Kejaksaan Negeri di salah satu daerah di Sulawesi Selatan menyentil, "Kak Enal mungkin bisa berinfak dengan memberi sedikit pencerahan?".

Menanggapi ujaran setelah bertanya itu saya lantas saya membagikan testimoni seorang senior, mantan bupati dua periode tapi gagal terpilih sebagai gubernur karena "kurang modal". 

Senior saya itu tulisannya tulisan di WhatsApp grup mengakui soal besarnya biaya politik dalam Pilkada.

Konon katanya, untuk jadi bupati cost-nya relatif sedang dan bakal tertutupi dalam satu periode masa jabatan dengan "memainkan" tender belanja barang dan jasa dalam APBD.  Akan tetapi, untuk maju sebagai gubernur di propinsi besar butuh dua periode untuk melunasi ongkos politik yang digunakan saat kontestasi Pilgub.

Masih menurut sang senior, besarnya biaya politik yang dibutuhkan menyebabkan hampir semuà calon kepala kaerah harus menggandeng investor. Nantinya investor akan dikompensasi dengan proyek-proyek APBD atau dalam bentuk komersialisasi jabatan.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved