OPINI

Opini: Perdamaian Supriyani, Membebaskan atau Tidak?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penulis merupakan Alumnus MIH UGM Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.

Bahwa hukum pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian kepada masyarkat.

KEDUA, oleh karena saat ini telah ada PERMA 1/2024 maka Hakim wajib memedomaninya. Hanya saja, penerapan PERMA 1/2024 sampai dengan saat ini baru terdapat 4 putusan (lihat laman Direktori Putusan Mahkamah Agung), dimana satu diantara 4 putusan itu adalah perkara penganiayaan.

Dalam putusan tersebut, sekalipun telah tercipta perdamaian antara Terdakwa dan korban, Hakim hanya menjadikan hal tersebut sebagai alasan yang meringankan dan tetap menjatuhkan pidana penjara (lihat Putusan Nomor 91/Pid.B/2024/PN Prn).

KETIGA, jika hendak menggunakan prinsip hukum SIMILIA SIMILIBUS CURANTOR yang artinya dalam perkara yang sama haruslah diputus yang sama pula.

Maka akan menimbulkan pertanyaan, kaidah hukum mana yang akan disamakan dalam perkara Supriyani? Apakah kaidah hukum yang melepaskan Terdakwa dengan alasan telah ada perdamaian? Ataukah kaidah hukum yang menjadikan perdamaian sebagai alasan yang meringankan saja dan tetap menjatuhkan pidana?

Kalau pun Hakim hendak menggunakan kaidah hukum sebelum diterbitkannya PERMA 1/2024 itu sebagai dasar melepaskan Terdakwa dari tuntutan karena telah ada perdamaian, kaidah hukum tersebut juga tidak mengikat secara ketat kepada para hakim.

Sebab, sistem hukum yang dianut di Indonesia tidaklah menganut prinsip hukum STARE DICISIS ET QUIETA NON MOVERE (Hakim terikat pada putusan Hakim sebelumnya) sebagaimana yang berlaku di negara Inggris dan Amerika Serikat.