OPINI

Opini: Perdamaian Supriyani, Membebaskan atau Tidak?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penulis merupakan Alumnus MIH UGM Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.

Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.

Penulis merupakan Alumnus MIH UGM

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Prahara guru Supriyani masih menjadi perhatian publik. Keberlanjutan kasusnya masih saja dinanti. 

Telah berbulan-bulan lamanya Supriyani menyandang status tersangka - terdakwa.

Kini, proses pembuktian pun telah usai. Satu persatu fakta mulai terkuak.

Dan tak lama lagi, kepastian kasusnya akan segera diputuskan. Apakah ia bersalah atau tidak. 

Sudah jatuh tertimpa tangga. Kira-kira pepatah ini mungkin saja mendeskripsikan kondisi Supriyani saat ini.

Belum usai perkara hukum yang membelitnya. Ia pun terancam akan berhadapan dengan persoalan hukum baru buntut pencabutan perdamaiannya dengan orang tua korban.

Baca juga: OPINI Literasi Kesehatan Reproduksi: Kunci untuk Kemandirian Remaja dalam Menghadapi Tantangan Etik

Yang sebelumnya telah didamaikan oleh Bupati Konawe Selatan, Surunuddin Dangga.

Sekalipun prosesi perdamaian kedua belah pihak itu terjadi diluar proses persidangan. 

Terlepas bagaimana suasana kebatinan Supriyani saat prosesi perdamaian itu, hal yang cukup menarik untuk ditilik adalah “apakah perdamaian yang lahir diluar dari proses peradilan dapat dijadikan sebagai alasan penghapus pidana sehingga membebaskan Supriyani?”

Secara Hukum

Ada maxim di dalam hukum yang berbunyi PACI SUNT MAXIME CONTRARIA VIS ET INIURIA, yang artinya kekerasan dan kesalahan sangat bertentangan dengan perdamaian.

Maxim ini menggambarkan tujuan hukum yang pernah dikemukakan oleh Thomas Aquinas penganut Mahzab Hukum Kodrat bahwa tujuan hukum itu haruslah memberikan kesejahteraan termasuk di dalamnya perdamaian.

Perdamaian yang dilakukan oleh Supriyani dan orang tua korban diluar dari proses peradilan sebenarnya merupakan perwujudan dari keadilan restoratif yang mekanismenya dikenal dengan “mediasi penal”. 

Mediasi penal merupakan konsep yang disadur dari hukum keperdataan, yang dikenal dengan istilah “Alternative Dispute Resolution”.

Baca juga: OPINI Ergonomi dan Postur Tubuh: Perspektif Etik Dalam Mencegah Cedera di Lingkungan Tambang

Dalam medisi penal ini, korban dan pelaku dipertemukan dan difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral, lalu bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan guna menyelesaikan suatu perkara pidana dengan memperhatikan kepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan.

Perdamaian yang terjadi diluar dari proses peradilan antara Supriyani dan orang tua korban (terlepas telah dicabut oleh Supriyani) sebenarnya secara hukum tidak menjadikannya sebagai alasan penghapus pidana sehingga membebaskan Supriyani dari hukuman.

Adapun dasar argumentasi Penulis adalah sebagai berikut:

PERTAMA, seseorang dapat dibebaskan atau dilepaskan dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) jika terdapat alasan penghapus pidana.

Secara teori hukum pidana, terdapat 2 alasan penghapus pidana, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghilangkan sifat melawan hukumnya dari suatu perbuatan.

Konsekuensi hukumnya putusan hakim haruslah bebas. Sedangkan alasan pemaaf menghilangkan kesalahan pelaku. Konsekuensi hukumnya putusan hakim haruslah lepas. 

Oleh karena perkara Supriyani ini telah memasuki tahapan pemeriksaan oleh Majelis Hakim, maka terhadap alasan penghapus pidana tersebut menjadi wajib diperiksa oleh Hakim sebelum menjatuhkan putusan.

KEDUA, alasan pembenar dan alasan pemaaf itu telah terkategori secara hukum. Adapun yang termasuk ke dalam alasan pembenar adalah keadaan darurat (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP), melaksanakan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP) dan melaksanakan perintah jabatan sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).

Sedangkan yang terkategori ke dalam alasan pemaaf adalah terdapat gangguan jiwa pada pelaku (Pasal 44 KUHP), daya paksa (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP), dan melaksanakan perintah jabatan tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP). 

Melihat pengkategorian tersebut, secara hukum, perdamaian para pihak bukan menjadi alasan untuk dapat menghapuskan pidana terhadap seseorang.

Baca juga: OPINI Dilema Kesehatan Mental Ibu Pasca Persalinan: Antara ASI, Bayi dan Harmonisasi Keluarga

Sehingga berkonsekuensi pada lahirnya putusan bebas ataupun lepas.

KETIGA, perdamaian yang dipersyaratkan oleh PERMA 1/2024 haruslah terjadi didalam ruang peradilan, bukan diluar peradilan.

Sekalipun misalnya perdamaian antara Supriyani dan orang tua korban itu terjadi di dalam ruang peradilan, juga tidak serta-merta membebaskan Supriyani dari dakwaan JPU. 

Melainkan perdamaian tersebut hanya dijadikan sebagai alasan yang meringankan dan Supriyani tetap dijatuhi sanksi pidana.

Setidak-tidaknya sanksi pidana yang dijatuhkan adalah pidana bersyarat atau pengawasan (lihat Pasal 19 ayat (1) PERMA 1/2024). 

KEEMPAT, penyelesaian perkara diluar pengadilan bukanlah menjadi alasan penghapus pidana melainkan menjadi alasan hapusnya kewenangan menuntut.

Hal mana penyelesaian perkara diluar pengadilan dapat menggunakan Pasal 82 KUHP ataupun Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasar Keadilan Restoratif (PERJAK 15/2020).

Hanya saja kedua ketentuan tersebut tidak dapat digunakan dalam perkara Supriyani disebabkan karena: Pertama, Pasal 82 KUHP hanya bisa terterapkan pada tindak pidana yang terkualifikasi pelanggaran.

Sedangkan pasal yang didakwakan kepada Supriyani termasuk tindak pidana berupa kejahatan. Kedua, PERJAK 15/2020 hanya bisa terterapkan pada tahapan penuntutan dan bukan pada tahapan persidangan oleh Majelis Hakim.

Secara Praktik

Adagium hukum yang berbunyi HET RECHT HINK ACHTER DE FEITEN AAN, yang artinya hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. Kiranya masih sangat relevan dalam konteks ini.

Sebab, di dalam praktek peradilan pidana sebenarnya terdapat kaidah hukum dimana Hakim justru keluar dari pandangan legalistik-formal dari hukum pidana dan terlihat lebih progresif. 

Kaidah hukum itu menyatakan bahwa perdamaian antara korban dan Terdakwa menjadi salah satu alasan penghapus pidana berupa alasan pemaaf yang menghilangkan kesalahan dari pelaku dan konsekuensi putusannya adalah dilepaskan dari tuntutan JPU.

Kaidah hukum itu dapat tertemukan di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Nomor 46/PID/78/UT/WANITA. 

Baca juga: OPINI: Asa Kehidupan, Selamat Datang Oktober

Perkembangannya, kaidah hukum tersebut juga dianut dalam Putusan Pengadilan Negeri Suka Makmue Nomor 63/Pid.B/2021/PN Skm dalam perkara penganiayaan, dimana Hakim menjatuhkan putusan lepas kepada Terdakwa dengan alasan telah terjadi perdamaian diantara keduanya.

Pendapat Penulis terkait perkembangan praktek peradilan yang cukup progresif tersebut adalah: 

PERTAMA, kaidah hukum tersebut lahir sebelum adanya PERMA 1/2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Semangat yang terkandung di dalam kaidah hukum tersebut adalah ingin menjadikan hukum pidana tidak semata-mata sebagai ajang balas dendam (LEX TALIONIS) dan memenjarakan orang.

Hukum pidana mestilah ditempatkan sebagai “The Last Resort” (pilihan terakhir). Kaidah hukum ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jeremy Bentham penganut Mahzab Utilitarian.

Bahwa hukum pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian kepada masyarkat.

KEDUA, oleh karena saat ini telah ada PERMA 1/2024 maka Hakim wajib memedomaninya. Hanya saja, penerapan PERMA 1/2024 sampai dengan saat ini baru terdapat 4 putusan (lihat laman Direktori Putusan Mahkamah Agung), dimana satu diantara 4 putusan itu adalah perkara penganiayaan.

Dalam putusan tersebut, sekalipun telah tercipta perdamaian antara Terdakwa dan korban, Hakim hanya menjadikan hal tersebut sebagai alasan yang meringankan dan tetap menjatuhkan pidana penjara (lihat Putusan Nomor 91/Pid.B/2024/PN Prn).

KETIGA, jika hendak menggunakan prinsip hukum SIMILIA SIMILIBUS CURANTOR yang artinya dalam perkara yang sama haruslah diputus yang sama pula.

Maka akan menimbulkan pertanyaan, kaidah hukum mana yang akan disamakan dalam perkara Supriyani? Apakah kaidah hukum yang melepaskan Terdakwa dengan alasan telah ada perdamaian? Ataukah kaidah hukum yang menjadikan perdamaian sebagai alasan yang meringankan saja dan tetap menjatuhkan pidana?

Kalau pun Hakim hendak menggunakan kaidah hukum sebelum diterbitkannya PERMA 1/2024 itu sebagai dasar melepaskan Terdakwa dari tuntutan karena telah ada perdamaian, kaidah hukum tersebut juga tidak mengikat secara ketat kepada para hakim.

Sebab, sistem hukum yang dianut di Indonesia tidaklah menganut prinsip hukum STARE DICISIS ET QUIETA NON MOVERE (Hakim terikat pada putusan Hakim sebelumnya) sebagaimana yang berlaku di negara Inggris dan Amerika Serikat.