Setidak-tidaknya sanksi pidana yang dijatuhkan adalah pidana bersyarat atau pengawasan (lihat Pasal 19 ayat (1) PERMA 1/2024).
KEEMPAT, penyelesaian perkara diluar pengadilan bukanlah menjadi alasan penghapus pidana melainkan menjadi alasan hapusnya kewenangan menuntut.
Hal mana penyelesaian perkara diluar pengadilan dapat menggunakan Pasal 82 KUHP ataupun Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasar Keadilan Restoratif (PERJAK 15/2020).
Hanya saja kedua ketentuan tersebut tidak dapat digunakan dalam perkara Supriyani disebabkan karena: Pertama, Pasal 82 KUHP hanya bisa terterapkan pada tindak pidana yang terkualifikasi pelanggaran.
Sedangkan pasal yang didakwakan kepada Supriyani termasuk tindak pidana berupa kejahatan. Kedua, PERJAK 15/2020 hanya bisa terterapkan pada tahapan penuntutan dan bukan pada tahapan persidangan oleh Majelis Hakim.
Secara Praktik
Adagium hukum yang berbunyi HET RECHT HINK ACHTER DE FEITEN AAN, yang artinya hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. Kiranya masih sangat relevan dalam konteks ini.
Sebab, di dalam praktek peradilan pidana sebenarnya terdapat kaidah hukum dimana Hakim justru keluar dari pandangan legalistik-formal dari hukum pidana dan terlihat lebih progresif.
Kaidah hukum itu menyatakan bahwa perdamaian antara korban dan Terdakwa menjadi salah satu alasan penghapus pidana berupa alasan pemaaf yang menghilangkan kesalahan dari pelaku dan konsekuensi putusannya adalah dilepaskan dari tuntutan JPU.
Kaidah hukum itu dapat tertemukan di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Nomor 46/PID/78/UT/WANITA.
Baca juga: OPINI: Asa Kehidupan, Selamat Datang Oktober
Perkembangannya, kaidah hukum tersebut juga dianut dalam Putusan Pengadilan Negeri Suka Makmue Nomor 63/Pid.B/2021/PN Skm dalam perkara penganiayaan, dimana Hakim menjatuhkan putusan lepas kepada Terdakwa dengan alasan telah terjadi perdamaian diantara keduanya.
Pendapat Penulis terkait perkembangan praktek peradilan yang cukup progresif tersebut adalah:
PERTAMA, kaidah hukum tersebut lahir sebelum adanya PERMA 1/2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Semangat yang terkandung di dalam kaidah hukum tersebut adalah ingin menjadikan hukum pidana tidak semata-mata sebagai ajang balas dendam (LEX TALIONIS) dan memenjarakan orang.
Hukum pidana mestilah ditempatkan sebagai “The Last Resort” (pilihan terakhir). Kaidah hukum ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jeremy Bentham penganut Mahzab Utilitarian.