Pilpres 2024

Apa itu Amicus Curiae Diserahkan Megawati Soekarnoputri ke MK hingga Tuai Kritik Kubu Prabowo-Gibran

Penulis: Desi Triana Aswan
Editor: Aqsa
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Simak apa itu amicus curiae yang diserahkan Megawati Soekarnoputri yang merupakan Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga tuai kritik dari kubu Prabowo-Gibran. Dokumen amicus curiae tersebut diserahkan Sekretaris Jenderal atau Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ke MK.

Dia menuturkan, tanggung jawab presiden terhadap etika sangatlah penting sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi atas negara dan pemerintahan yang sangat besar.

Selain itu, Megawati menerangkan bahwa pernyataan Magnis menjadi landasan etis bagi hakim MK untuk mengurai seluruh akar persoalan Pilpres mulai dari nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden.

Dia juga menyoroti mengenai temuan adanya penurunan kualitas demokrasi Indonesia seperti diungkapkan Indeks demokrasi Indonesia, menurut data Freedom House.

Demikian juga menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) berada pada peringkat ke-54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

“Dengan mencermati pelbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum tentu menjadi tolok ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi,” ungkap Megawati.

Megawati juga mengurai adanya kecurangan dari masa ke masa selama Pemilu berlangsung di tanah air.

“Mengapa evolusi kecurangan terjadi, bahkan semakin bersifat akumulatif, sebab belum pernah tercipta efek jera sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dengan skandal Watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri,” ucapnya.

Dia menjelaskan, Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan presiden.

Menurutnya, nepotisme saat ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem Pemilu ketika presiden masih menjabat.

“Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah? Dengan tegas saya menjawab sendiri, bukan sistem hukum Indonesia yang salah,” kata Megawati.

Sebaliknya, kata dia, pelaksanaan hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin itulah yang salah.

“Kondisi ini terjadi akibat etika dan moral dijauhkan dari praktik hukum. Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi sernakin mudah dilakukan," terangnya.

Megawati mengungkapkan, sikap kenegarawanan yang dimiliki hakim MK masuk dalam dimensi tanggung jawab bagi pemulihan etika dan moral.

Tanpanya, MK hanya menjadi jalan pembenaran bagi sengketa Pemilu yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara jernih bagaimana proses Pemilu dan keseluruhan input dari proses Pemilu.

“Hasil pemilihan umum ternyata bisa berubah akibat penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan adanya voting behaviour yang dipengaruhi besarnya belanja sosial (social expenditures), seperti bantuan langsung tunai, pembagian beras miskin, dan bantuan sosial lainnya,” katanya.

Megawati menjelaskan, keputusan hukum MK memiliki makna demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Maknanya tidak hanya secara transenden, tanggung jawab langsung kepada Sang Pencipta. Kekuatan transenden ini seharusnya dapat memperkuat posisi hakim MK mengambil terobosan hukum berdasarkan keadilan sebagai sifat hakiki Tuhan,” jelasnya.

Karena itulah, hakim MK tidak hanya bertanggung jawab sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi, tetapi juga memiliki legalitas dan legitimasi agar keadilan benar-benar menemukan bentuknya, terlebih ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan.

Dia meminta hakim MK dapat mengasah hati nurani dan budi pekertinya agar setiap tindakan dan keputusan politiknya selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

“Oleh karena itulah, belajar dari putusan Nomor 90/PUU-XI/2023 di Mahkamah Konstitusi yang sangat kontroversial, saya mendorong dengan segala hormat kepada hakim Mahkamah Konstitusi agar sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut,” ujar Megawati.

“Ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara,” katanya menambahkan.

Megawati menambahkan, nama-nama para hakim MK akan tertulis dalam sejarah Republik Indonesia, baik maupun buruk.

“Tentu sebagai anak bangsa, saya berdoa semoga dengan izin Allah SWT, kita pun rakyat Indonesia akan melihat cahaya terang demokrasi ketika "Sembilan Dewa" di Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan yang berkeadilan, berwibawa, dan terutama dengan hati nuraninya,” jelasnya.

Sementara dalam akhir dokumen amicus curiae itu, terdapat tulisan tangan Megawati.

Menurut Hasto, tulisan tangan Megawati sebagai ungkapan perjuangan Raden Ajeng Kartini yang tidak pernah sia-sia karena emansipasi merupakan bagian dari demokrasi dalam melawan penyalahgunaan kekuasaan.

“Rakyat Indonesia yang tercinta, marilah kita berdoa semoga ketuk palu Mahkamah Konstitusi bukan merupakan palu godam, melainkan palu emas. Seperti kata Ibu Kartini pada tahun 1911, 'Habis gelap terbitlah terang’,” kata Hasto membacakan tulisan Megawati.

“Sehingga fajar demokrasi yang telah kita perjuangkan dari dulu timbul kembali dan akan diingat terus-menerus oleh generasi bangsa Indonesia. Aamiin ya rabbal alamin, hormat saya Megawati Soekarnoputri ditandatangani, merdeka, merdeka, merdeka,” lanjutnya.

Praktik Amicus Curae

Amicus curiae merupakan upaya memberikan pendapat hukum kepada pengadilan karena seseorang atau ada pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara.

Amicus Curiae juga lazim disebut 'Sahabat Pengadilan'.

Dasar hukum praktiknya terdapat pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang isinya:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Dikutip dari jurnal hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyebutkan amicus curiae hanya sebatas memberikan opini, dan bukan melakukan perlawanan.

Praktik ini ini sebenarnya sudah lazim dipakai di negara yang menggunakan sistem common law dan bukan sistem civil law yang dianut oleh Negara Indonesia.

Namun, bukan berarti praktik ini tidak pernah diterapkan atau dipraktikkan di Indonesia.

Dengan demikian, dalam peradilan Indonesia, amicus curiae belum diatur secara jelas.

Namun dasar hukum diterimanya konsep ini di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Melansir Tribunnews, berikut beberapa contoh kasus amicus curiae yang pernah terjadi di Indonesia:

1. Kasus Majalah Time vs Presiden Soeharto

Berawal saat majalah Time edisi Asia Volume 153 Nomor 20 terbitan 24 Mei 1999 memuat pemberitaan dan gambar Presiden Soeharto.

Dengan judul sampul “Soeharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”.

Soeharto lalu menggugat majalah tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Dalam putusannya, majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak seluruh tuntutan dari Soeharto selaku penggugat.

Soeharto lalu mengajukan upaya hukum banding, namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Pusat.

Soeharto kembali melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Hasilnya, MA membatalkan putusan tingkat pertama dan banding pada 30 Agustus 2007.

MA menghukum Time untuk membayar ganti rugi imateriil kepada Soeharto senilai Rp 1 triliun dan meminta maaf secara terbuka di media nasional maupun internasional.

Tidak terima dengan keputusan ini, Time mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada MA.

Kelompok pegiat kemerdekaan pers kemudian mengajukan amicus curiae kepada MA terkait kasus ini.

Majelis peninjauan kembali kemudian mengabulkan PK yang diajukan Time pada 16 April 2009 dan menyatakan majalah tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

Putusan ini sekaligus membatalkan putusan kasasi sebelumnya.

2. Kasus Prita Mulyasari

Lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum mengajukan amicus curiae dalam kasus Prita Mulyasari pada Oktober 2009 silam.

Mereka memberikan pandangan tentang bagaimana tindak pidana penghinaan dapat dikategorikan sebagai pasal karet yang dapat menjerat siapa pun.

Tanpa memerhatikan konteks pernyataan dan tidak sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia yang telah diakui dan diratifikasi oleh negara Indonesia,

3. Kasus Upi Asmaradhana

Seorang jurnalis bernama Jupriadi Asmaradhana alias Upi Asmaradhana dituduh melakukan penghinaan terhadap mantan Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat, Irjen Sisno Adiwinoto.

Dalam sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Makassar pada 23 Juli 2009, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa satu tahun penjara.

ICJR kemudian mengajukan amicus curiae kepada majelis hakim di PN Makasar.

Majelis hakim akhirnya memvonis bebas Upi dalam sidang yang digelar 14 September 2009.

Hakim menilai Upi tidak terbukti bersalah dan dinyatakan tidak terbukti melakukan penghinaan terhadap penguasa sah.

4. Kasus pembunuhan Brigadir Josua

Kasus pembunuhan ajudan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).

Dalam kasus ini, amicus curiae diberikan kepada terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.

Pada sidang tuntutan yang digelar 18 Januari 2023, JPU menuntut Eliezer dengan hukuman 12 tahun penjara.

Amicus curiae kemudian diberikan ratusan guru besar, dosen universitas terkemuka di Tanah Air yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Indonesia terhadap Eliezer.

Sebanyak 122 cendekiawan itu menyerahkan surat ke PN Jakarta Selatan pada 6 Februari 2023.

Mereka menyatakan bahwa kasus pembunuhan yang melibatkan Eliezer harus ditangani dengan adil dan penuh pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat tekstual, tapi juga kontekstual.(*)

(TribunnewsSultra.com/Desi Triana Aswan, Tribunnews.com/Willy Widianto/Fersianus Waku, Kompas.com)