USN Kolaka
Program Kosabangsa 2025 USN Kolaka: Teknologi, Ikan dan Harapan Baru dari Pesisir
Kosabangsa 2025 pemberdayaan masyarakat di pesisir Desa Muara Lapao-Pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Ringkasan Berita:
- Program Kosabangsa 2025 di Kabupaten Kolaka mengintegrasikan inovasi pangan lokal dengan teknologi digital dan pendekatan neurolearning berbasis STIFIn
- Kolaborasi lintas bidang antara universitas, pemerintah desa, mahasiswa, dan masyarakat menciptakan model pemberdayaan berkelanjutan dan dapat direplikasi, mengubah desa Muara Lapao-Pao
- Program berhasil menurunkan angka stunting dari 26 menjadi 15 anak dalam 2 bulan dengan pelatihan teknologi dan konseling gizi berbasis karakter
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Program Kosabangsa 2025 Pemberdayaan Masyarakat Zona Aktif Pertambangan dalam Penangangan Stunting Melalui Integrasi Teknologi Gizi NutriKukis dan Neurolearning di Kabupaten Kolaka.
Inisiatif pemberdayaan menggabungkan inovasi pangan lokal, teknologi digital dan pendekatan neurolearning berbasis STIFIn.
Program ini digagas tim dosen dan mahasiswa Universitas Sembilanbelas November atau USN Kolaka bersama mitra Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari.
Dengan dukungan hibah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sejumlah Rp.260.100.000.
Baca juga: Tim Dosen USN Kolaka PKM di SMPN Satap 1 Wundulako, Perkuat Kapasitas Guru Lewat Lesson Study
Menyasar kelompok perempuan pesisir Desa Muara Lapao-Pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka.
Dari dapur sederhana, mereka menimbang adonan, menata loyang, dan memasukkan “nutrikukis” ke dalam oven kecil.
Tak jauh dari sana, beberapa kader posyandu mencatat berat badan balita menggunakan ponsel pintar.
Namun, pemandangan itu bukan hal biasa di desa pesisir yang dulu bergantung penuh, pada hasil laut dan tengkulak.
Inilah wajah baru masyarakat pesisir Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), setelah hadirnya Program Kosabangsa 2025.
Untuk diketahui, Desa Muara Lapao-Pao berada di kawasan pertambangan aktif. Sejak tambang beroperasi 2013, hasil tangkapan ikan menurun drastis, banyak keluarga nelayan kehilangan sumber penghasilan tetap.
"Pendapatan rata-rata keluarga nelayan hanya sekitar satu juta rupiah per bulan. Itu pun tidak menentu," tutur ketua tim pelaksana program, Dr Roslina.
Baca juga: USN Kolaka Kerja Sama PT IPIP Berikan Beasiswa hingga Jaminan Penempatan Kerja ke Mahasiswa
Kondisi itu diperparah meningkatnya kasus stunting pada balita, akibat asupan gizi yang tidak seimbang dan keterbatasan layanan posyandu.
Sehingga, adanya Program Kosabangsa 2025 hadir dengan semangat membangun kemandirian dari bawah.
2 mitra utama menjadi fokus kegiatan: Posyandu Anggrek Bulan dan Kelompok Wanita Nelayan Teppoe.
Posyandu difokuskan peningkatan kapasitas layanan kesehatan berbasis teknologi, sementara kelompok wanita nelayan diarahkan mengembangkan ekonomi produktif berbasis hasil laut.
Posyandu Digital dan Pendekatan Neurolearning
Salah satu inovasi menarik perhatian warga adalah penggunaan aplikasi digital posyandu berbasis pendekatan neurolearning STIFIn.
Aplikasi ini, kader dapat merekam data ibu hamil dan balita secara cepat dan akurat, tanpa harus menulis manual di buku register.
Lebih dari itu, pelatihan konseling gizi berbasis karakter membantu kader memahami cara berkomunikasi efektif dengan ibu-ibu balita.
"Pendekatan neurolearning membuat ibu balita stunting memahami perilaku anak dan cara menyikapinya."
"Mereka belajar memahami bahwa setiap orang punya cara belajar dan merespons informasi yang berbeda,” jelas Roslina.
Baca juga: Mahasiswa USN Kolaka Geruduk Kantor DPRD, Soroti Tunjangan Fantastik dan Kinerja Dewan
Hasilnya nyata, 2 bulan presentase 85 persen kader mampu menggunakan aplikasi digital secara mandiri, dan angka stunting turun dari 26 menjadi 15 anak.
Bagi warga desa, pencapaian ini adalah harapan baru teknologi bisa menjadi jembatan perubahan, bahkan di daerah pesisir terpencil.
Limbah Ikan Jadi Pupuk dan Kue Bergizi
Tak kalah menarik, kisah Kelompok Wanita Nelayan Teppoe, beranggotakan 25 perempuan pesisir.
Dulu mereka hanya mengolah ikan menjadi ikan asin, dengan keuntungan tipis. Kini, berkreasi menghasilkan produk olahan bergizi seperti nutrikukis bulu babi, abon ikan, dan bakso ikan.
"Kami memanfaatkan gonad landak laut karena kaya protein dan omega-3, serta inovasi tersebut telah terdaftar secara dengan nomor paten IDS000004771," ungkap ketua pendampig program Prof Wa Ode Salma.
Invensi ini berhubungan dengan komposisi dan nilai gizi suatu Cookies dibuat dengan bahan tepung beras dan kelapa parut.
Sudah disangrai, gonad Diadema setosum, gula merah, gula pasir, kuning telur, kenari cincang, minyak kelapa, kayu manis, bumbu speku, vanili, soda kue, baking powder dan garam halus.
Cookies invensi ini dalam 100 g mempunyai kandungan zat gizi total energi (458.03 Kcal); Lemak (17. 27 persen); Protein (8.70 persen); Vitamin E (2.62 mg), Vitamin A (29.74 mg); Magnesium (106.3 mg); Fe (2.63 mg) dan Zink (2.29 mg).
Dengan adanya invensi ini maka dapat dimanfaatkan sebagai alternatif makanan tambahan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak.
Baca juga: Rektor Kampus USN Kolaka Sultra Dukung Penuh Dosen PPPK Kategori BAST Bisa Diangkat PNS
Serta mencegah masalah kekurangan gizi pada anak balita. Selain itu, kelompok ini juga mengolah limbah ikan menjadi pupuk organik cair.
Digunakan kader posyandu untuk kebun gizi desa, sehingga tercipta siklus ekonomi sirkular, limbah dari laut kembali memberi manfaat bagi tanah dan tanaman.
Berkat pelatihan pengemasan dan pemasaran digital, sebagian besar anggota kelompok kini memasarkan produk mereka di pasar sore Kecamatan Wolo.
Berlokasi di pinggiran pantai Babarina serta pemasaran melalui media sosial seperti Facebook. Pendapatan bulanan pun meningkat dari Rp1,2 juta menjadi Rp2,1 juta per orang.
"Sekarang kami tidak lagi bergantung pada tengkulak. Kami punya usaha sendiri," ujar salah satu anggota kelompok, Bandri.
Kekuatan program ini terletak kolaborasi lintas bidang. Mahasiswa terlibat aktif pendampingan digitalisasi posyandu dan produksi olahan pangan.
Pemerintah desa mendukung fasilitas pelatihan, sementara LPPM universitas memfasilitasi administrasi dan pendanaan.
"Kami ingin menciptakan model pemberdayaan yang bisa direplikasi di desa pesisir lain," terang Roslina.
Model integratif ini tidak hanya meningkatkan ekonomi keluarga, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat untuk mandiri.
Mereka belajar teknologi bukan ancaman, melainkan alat untuk memperkuat tradisi dan potensi lokal.
Kini, setiap kali angin laut bertiup membawa aroma asin dan suara anak-anak bermain di halaman posyandu, masyarakat Muara Lapao-Pao punya alasan untuk tersenyum.
Desa yang dulu dikenal dengan kemiskinan dan ketertinggalan, kini perlahan berubah menjadi contoh sukses pemberdayaan berbasis teknologi dan kearifan lokal. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sultra/foto/bank/originals/Kosabangsa-2025-November-USN-Kolaka.jpg)