OPINI

OPINI: Generasi Izin Share

Setiap tulisan berupa opini atau essai yang kesannya menarik, biasanya langsung di share tapi kurang mendalami makna, atau bahkan tak membacanya

ilustrasi
ILUSTRASI - Ilustrasi generasi izin share. Sabhadin, Founder Jaringan Advokasi Kebijakan Untuk Rakyat (Jangkar Wakatobi) membuat tulisan terkait generasi izin share. 

Oleh: Sabhadin

Founder Jaringan Advokasi Kebijakan Untuk Rakyat (Jangkar Wakatobi)

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Kita adalah generasi izin share, dan saya bagian dari itu. Setiap tulisan berupa opini atau essai yang kesannya menarik, biasanya langsung di share tapi kurang mendalami makna, mempelajari perspektif, berdialektis dengannya atau juga menyelami rasa dari, atau bahkan tak membacanya—kita langsung izin share.

Kita tertinggal jauh dari pendiri bangsa ini. Di bawah rezim kolonal yang menjajah, kaum pergerakan yang didominasi usia muda zaman itu masih menyisihkan waktu membaca beragam buku walau sulit diperoleh, mereka berupaya keras memahami bacaan meski pendidikannya tak semewah kualitas zaman kini yang perpustakaannya penuh dengan tumpuan buku-buku.

Mereka juga menulis banyak karya tanpa belajar teori dan teknik penulisan di kelas-kelas menulis.

Terlebih di zaman klasik; Islam. Seperti misalnya Imam Syafi'i, beliau kala itu belajar tanpa alat transportasi yang canggih, bahkan hingga berjalan kaki untuk menuntut ilmu dan membaca.

Namanya kini dikenang sebagai ahli fiqih, juga dikenal sebagai penulis ribuan kitab yang tak pernah kuno untuk dipelajari.

Di tengah kelangkaan bacaan dan kerumitan memperoleh pengetahuan, ia berhasil menaklukannya dengan baik.

Tapi nampaknya ia terlalu mahal di copy paste keteladanannya di zaman kini. Ia terlalu paripurna untuk disandingkan pada generasi izin share saat ini.

Baca juga: OPINI: Catatan Kritis Pemberlakuan Pasal Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP Nasional

Kini kita hidup di zaman yang serba mudah. Berada di era di mana generasinya tak perlu ke toko buku untuk memperoleh bahan bacaan, juga tak mesti ke perpustakaan untuk membaca.

Hanya bermodal kuota dan kedua ibu jari, kita mampu mengakses ribuan buku bahkan jutaan tulisan opini dan essai untuk dibaca, namun nampaknya kita hanyalah generasi izin share—bukan pembaca yang serius.

Kita tak pernah belajar dari makna kehadiran Plato dan Aristoteles di zaman kuno, dua filsuf mentereng di masa lalu.

Keduanya terpaut usia yang jauh dan boleh dikata tak se-zaman meski hidup dalam suatu periode sejarah yang sama.

Namun masing-masing berdialektis, tidak ada pemilik otoritas tunggal atas pengetahuan.

Ariatoteles adalah murid yang memproduksi pikiran baru, tak kalah hebat dari gurunya Plato. Aristoteles bukan generasi izin share.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved