Opini

OPINI: Politik Identitas Sulawesi Tenggara Dalam Struktur Masyarakat Indonesia

Hal yang populer dengan sebutan politik identitas ini bukan yang pertama, terjadi pada setiap kontestasi politik di Sulawesi Tenggara.

Editor: Risno Mawandili
Istimewa
Kamaluddin seorang pemerhati sosial asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. 

Penulis : Kamaluddin
Pemerhati sosial asal Kabupaten Konawe

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Isu primordialisme jelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Tenggara (Sultra) tahun 2021.

Hal yang populer dengan sebutan politik identitas ini bukan yang pertama, terjadi pada setiap kontestasi politik di Sulawesi Tenggara.

Jelas ini menggangu sendi-sendi dan batang tubuh pemikiran masyarakat.

Konstruksi sosial  terbentuk, wajah pluralisme Bangsa Indonesia terkemas dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".

Namun semboyan dengan makna "Berbeda-beda Tetap Satu" seakan tak ada karena menguatnya sentimen primordialisme yang telah merambah segala sektor kehidupan masyarakat, tanpa terkecuali.

Isu primordialisme makin menguat apabila diperadabkan pada konteks kekuasaan. Contoh ketika kontestasi politik.

Politik identitas tidak mengapa. Sejatinya merupakamn perjuangan rakyat dalam mengaktualisasikan karakteristik khas yang merupakan bagian dan saling memperkaya dialektika.

Baca juga: OPINI: Toleransi dan Moderasi Beragama Harus Dibudayakan di Sekolah Dasar

Namun sayangnya, politik identitas berubah menjadi ajang untuk saling mengunggulkan dominasi kelompoknya atas kelompok lain.

Di Provinsi Sulawesi Tenggara, isu premodialisme bukan baru.

Hampir disetiap kontestasi politik, baik dalam konteks organisasi kelembagaan pemuda, Pilkada kabupaten/kota, pemilihan gubernur.

Khusus pemilihan gubernur, sudah 2 kali tergaungkan yaitu Pilkada tahun 2013 (BM) dan tahun 2018 (RM).

Lalu bagaimana dengan Kabupaten Kota?

Hampir sama. Contoh Pilkada Kabupaten Muna Barat 2017.

Baca juga: OPINI: Pendidikan dan Model Pembelajaran di era Digital

Masih segar diingatan saya saat Almarhum Gusli Topan Sabara ST MT, digadang-gadang maju Pilkada 2024 sebagai calon Bupati Konawe.

Sendi-sendi batang tubuh pemikiran masyarakat didominasi isu rasis dan sukuisme, dijadikan "alat pemuas nafsu".

Semua karena anggapan hal paling jitu dihembusakan adalah membawa garis keturunan.

Teori tersubut masih tergolong efective, namun bagi saya itu adalah sebuah kemunduran.

Saya sebut "teori sukuisme dan propaganda premodialisme dalam memilih pemimpin"

Mengingatkan saya pada Fase kenabian. Ketika tersebar kabar kelahiran Rasulullah SAW dari bangsa kurais, banyak golongan menolak.

Fethullah Gulen berkata, penyebab dari orang-orang Yahudi tidak mau mengikuti Rasulullah SAW karena nabi penutup yang dijanjikan bukanlah dari kalangan mereka.

(Baca Fethullah Gulen: An Nur Al Khalid Muhammad Mafkhirat Al Insaniyah. Diterjemahkan Fuad Saefuddin dengan judul Cahaya Abadi Muhammad Kebanggaan Umat Manusia).

Baca juga: OPINI : Refleksi Pemuda dan Alumni Kampus Daerah Sulawesi Tenggara

Kembali ke topik. Baiknya bagi saya adalah kontestasi apapun harusnya mengedapan "perang gagasan" yang konstruktif tentang kemajuan dan pembangunan daerah.  Tanpa embel-embel suku, ras, dan golongan.

Jika tidak melakukan itu, maka kita memungkiri dua hal.

Pertama, dasar negara pancasila dan Al-Quran bagi umat Islam.

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (QS 49:13 - Surat Al-Hujurat ayat 13).

Menjelang Pemilu dan Pilkada serentak 2024 atau prakontestasi di Sulawesi Tenggara, bullying dan rasisme sudah mulai bertebaran dimedia sosial mulai sejak awal tahun 2021.  

Konsep sukuisme kembali digaungkan. Mitos BIO dan ODE terus diperkuat dan diyakini. Solah sama dengan ramalan Jayabaya tentang Notonegoro.

"Masyarakat mempercayai ramalan tersebut karena akan tersirat siapa yang akan memimpin Indonesia" (baca di lingkarkediri.pikiranrakyat.com).

Baca juga: OPINI: Sayup-sayup Pancasila

Ide dan gagasan seolah sudah tak lagi menjadi penting.

Khusus Sulawesi Tenggara, kondisi demikian bukan hanya dalam konteks politik semata.

Dalam kehidupan bersosial masyarakat masih saja terjadi persoalan sukuisme.

Contoh perebutan wilayah pengolahan lahan pertanian, antara beberapa "oknum pribumi yang tergabung dalam organisasi kedaerahan" dan warga transmigrasi di Desa Aepodu, Kecamatan Punggaluku, Kabupaten Konawe Selatan. 

Kembali kedalam konteks politik.

Kontestasi yang seharusnya tempat saling beradu gagasan dan konsep yang konstruktif, malah menjadi ajang saling menjatuhkan lawan dengan isu SARA. Terkesan menunjukkan sifat destruktif bagi pembangunan sebuah bangsa dan daerah.

Menurut Kemala Chandakirana "Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi 'orang asli' yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi 'orang pendatang' yang harus melepaskan kekuasaan" (baca artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan 1989).

Baca juga: OPINI: Merumuskan Kembali Sistem Pemberantasan Korupsi

Singkat kata, politik identitas sekadar untuk dijadikan alat memanipulasi. Alat untuk menggalang politik, guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya.

Tentunya sangatlah cocok dengan situasi politik sekarang ini. Dimana wacana politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik, menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politik  notabene berbeda identitas.

Politik identitas tak ubahnya serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik nan piawai dan menembus alam bawah sadar pendukungnya.

Semoga tulisan ini sedikit mencerahkan dan menambah pemahaman bagi kita semua.

Bagi penulis, kedewasaan dalam menjaga dan merawat perbedaan masih begitu dangkal. Setiap saat selalu saja masih dirong-rong kekhilafan dan syahwat kekuasaan.

Perbedaan suku, ras, dan budaya adalah sesuatu yang harus kita junjung tinggi. Sebagaimana semboyan kita dalam pancasila berbeda-beda tetap satu.

Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Kabupaten Konawe, saya diajarkan  untuk menjunjung tinggi nilai budaya masyarakat “inae kona sara iyee pine sara, inae lia sara iyee pinekasara”.

Artinya "siapa yang hidup menurut ketentauan adat akan dihargai, tetapi siapa yang melanggar adat akan diberi sanksi" (SuaraPinggiran.Online).

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved