Opini
OPINI: Politik Identitas Sulawesi Tenggara Dalam Struktur Masyarakat Indonesia
Hal yang populer dengan sebutan politik identitas ini bukan yang pertama, terjadi pada setiap kontestasi politik di Sulawesi Tenggara.
Ide dan gagasan seolah sudah tak lagi menjadi penting.
Khusus Sulawesi Tenggara, kondisi demikian bukan hanya dalam konteks politik semata.
Dalam kehidupan bersosial masyarakat masih saja terjadi persoalan sukuisme.
Contoh perebutan wilayah pengolahan lahan pertanian, antara beberapa "oknum pribumi yang tergabung dalam organisasi kedaerahan" dan warga transmigrasi di Desa Aepodu, Kecamatan Punggaluku, Kabupaten Konawe Selatan.
Kembali kedalam konteks politik.
Kontestasi yang seharusnya tempat saling beradu gagasan dan konsep yang konstruktif, malah menjadi ajang saling menjatuhkan lawan dengan isu SARA. Terkesan menunjukkan sifat destruktif bagi pembangunan sebuah bangsa dan daerah.
Menurut Kemala Chandakirana "Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi 'orang asli' yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi 'orang pendatang' yang harus melepaskan kekuasaan" (baca artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan 1989).
Baca juga: OPINI: Merumuskan Kembali Sistem Pemberantasan Korupsi
Singkat kata, politik identitas sekadar untuk dijadikan alat memanipulasi. Alat untuk menggalang politik, guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya.
Tentunya sangatlah cocok dengan situasi politik sekarang ini. Dimana wacana politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik, menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politik notabene berbeda identitas.
Politik identitas tak ubahnya serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik nan piawai dan menembus alam bawah sadar pendukungnya.
Semoga tulisan ini sedikit mencerahkan dan menambah pemahaman bagi kita semua.
Bagi penulis, kedewasaan dalam menjaga dan merawat perbedaan masih begitu dangkal. Setiap saat selalu saja masih dirong-rong kekhilafan dan syahwat kekuasaan.
Perbedaan suku, ras, dan budaya adalah sesuatu yang harus kita junjung tinggi. Sebagaimana semboyan kita dalam pancasila berbeda-beda tetap satu.
Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Kabupaten Konawe, saya diajarkan untuk menjunjung tinggi nilai budaya masyarakat “inae kona sara iyee pine sara, inae lia sara iyee pinekasara”.
Artinya "siapa yang hidup menurut ketentauan adat akan dihargai, tetapi siapa yang melanggar adat akan diberi sanksi" (SuaraPinggiran.Online).
(*)