OPINI

OPINI : Sikap Toleransi Untuk Indonesia Sebagai Negara Multikultural

Salah satu contoh, kasus penghinaan suku di Kendari oleh seorang pemuda pada September 2020.

Istimewa
Juli Mulkian (Networking Narasi Toleransi Indonesia, Dewan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Katharsis Universitas Halu Oleo) 

Oleh: Juli Mulkian (Networking Narasi Toleransi Indonesia, Dewan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Katharsis Universitas Halu Oleo)

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sering kali muncul dan mendatangkan trauma tersendiri bagi warganya.

Tidak dapat dipungkiri, kondisi Indonesia yang beragam serta multikultural menjadikannya bangsa yang rentan munculnya konflik horizontal.

Selain itu, kondisi masyarakat multikultural tidak selamanya kondusif untuk upaya pengembangan toleransi dan demokrasi.

Sehingga tidak mengherankan di Indonesia muncul konflik ras atau suku di berbagai daerah.

Salah satu contoh, kasus penghinaan suku di Kendari oleh seorang pemuda pada September 2020.

Kasus ini sempat menghebohkan jagat maya bahkan sampai mengganggu ketertiban umum akibat ketersinggungan pihak yang dihinakan.

Baca juga: OPINI : Hutan Rusak, Salah Siapa?

Selain kasus tersebut, kasus-kasus lain yang berbau SARA sangat sensitif.

Apalagi akhir-akhir ini, di masa pemerintahan Jokowi - Ma'ruf Amin, isu penodaan agama begitu mencuak mewarnai dunia pemberitaan di tanah air.

Paling akrab di telinga kita adalah kasus pembongkaran Masjid Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat baru-baru ini. 

Sangat miris apabila dilihat dari kaca mata kemanusiaan, banyak orang menyesalkan sikap orang-orang mayoritas yang berbuat semena-mena atas nama pembenaran sendiri.

Sebenarnya jika kita melihat demokrasi di Eropa, dimana agama dan negara tidak saling menginterogasi, artinya semua punya ruang tersendiri.

Memisahkan agama dengan negara, menurut sebagian masyarakat Indonesia sangatlah liberal.

Tetapi pada dasarnya memisahkan antara keduanya sebenarnya sangat toleran, seperti konsep Jhon Rawls tentang agama dan negara.

Agama harusnya kurang privat yang sifatnya partikular, sedangkan negara itu lembaga publik dan agama dapat dijadikan tinjauan moral dalam merumuskan ideologi negara.

Tapi jangan sampai konstitusi negara yang plural dibangun oleh satu ideologi agama tertentu, utamanya Indonesia.

Baca juga: 2 Tahun Tak Dilayani Istri Dijadikan Alasan Guru Honorer Rudapaksa Anak Kandung Umur 7 Tahun

Mengingat negara Indonesia adalah negara Bhineka Tunggal Ika, artinya di negara kita bukan cuman satu agama yang hidup tapi puluhan bahkan ratusan keyakinan.

Di negara kita, isu-isu agama di tahun politik seperti saat ini sering dijadikan pedang  menjatuhkan lawan politik.

Seperti kasus penodaan agama yang menimpa Ahok pada tahun 2017, banyak orang yang menghujat salah karena mengutip ayat-ayat suci di ranah publik.

Apalagi itu bukan agamannya, bukan bidangnya untuk bicara tentang surat  itu.

Akan tetapi ekspresi yang diberikan publik juga terkesan berlebihan, manusia membela Allah.

Seolah-olah Allah perlu dibela oleh manusia, bukankah kita mengakui bahwa Ia Mahakuasa yang memiliki segalannya?

Biarlah itu menjadi teki-teki yang mesti kita jawab melalui lubuk hati yang paling dalam untuk masing-masing jiwa, tidak perlu mengkafir-kafirkan orang seolah-olah kita yang paling suci.

Untuk menghadapi konsekuensi sosial yang ditimbulkan oleh adanya masyarakat multikultural seperti pada kasus tersebut.

Baca juga: Komisi VII DPR RI Kunjungi PT OSS di Morosi Kabupaten Konawe, Lihat Proses Produksi Stainless Steel

Kita sebagai warga negara yang baik harus mengembangkan sikap kritis yang bersifat membangun (konstruktif) demi tercapainya apa yang disebut dengan integrasi sosial melalui toleransi.

Dengan tercapainya integrasi sosial melalui toleransi, maka stabilitas dan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat akan terwujud dengan sendirinya.

Sikap kritis yang dimaksudkan adalah bentuk sikap kita yang berupaya untuk merespon segala bentuk perbedaan.

Baca juga: Niatnya Mencuri, Remaja Ini Malah Aniaya dan Rudapaksa Tetangganya yang Pingsan

Serta keragaman dalam budaya, suku bangsa, kepribadian, ras, dan yang lainnya, sebagai bentuk penghormatan kita atas segala perbedaan tersebut.

Sikap kritis yang paling penting yang harus kita kembangkan dalam menghadapi bentuk-bentuk konsekuensi sosial dari masyarakat multikultural adalah Sikap Toleran.

Kita sebagai masyarakat multikultural harus mengembangkan sikap toleransi atau sikap saling pengertian dalam menghadapi segala perbedaan dalam nilai dan norma, agama, kebudayaan, ras, suku bangsa, serta adat istiadat agar tercipta integrasi dalam masyarakat. 

Semoga dengan sikap seperti itu negara kita tercinta tetap menjadi negara yang ramah untuk semua kalangan tanpa ada yang merasa was-was tinggal di Indonesia. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved