Mudik Lebaran 2021
Kata Sosiolog Soal Fenomena Masyarakat Nekat Pulang Kampung atau Mudik Meski Sudah Ada Larangan
Menanggapi fenomena itu, Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert memberikan pandangannya.
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Pemerintah telah resmi memberlakukan aturan larangan mudik lebaran 2021.
Aturan ini mulai berlaku sejak 6 Mei hingga 17 Mei 2021 mendatang.
Kendati sudah ada larangan mudik, rupanya tidak sedikit masyarakat yang tetap nekat pulang ke kampung halaman jelang perayaan Idul Fitri ini.
Menanggapi fenomena itu, Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert memberikan pandangannya.
Baca juga: Istana Bantah Kabar Presiden Joko Widodo Mudik
Menurutnya, mudik bisa dilarang namun tidak bisa dihentikan.
Sebab mudik merupakan suatu peristiwa sosial dan budaya yang tidak bisa diukur dengan ukuran hitam dan putih.
“Kalau mudik memang tidak bisa dihentikan, apakah pelarangan mudik salah? Ya sudah pasti juga nggak salah. Untuk mencegah covid-19 memang pemerintah punya kewajiban untuk melarang mudik supaya tidak terjadi penyebaran penularan. Ini juga kebijakan yang benar untuk mengetatkan gerak sosial di masa pandemi,” kata Robert dalam talkshow pada Senin (10/5/2021).
Baca juga: Sinopsis Film Korea Exit: Dibintangi YoonA SNSD dan Jo Jung Suk, Tayang Malam Ini di TRANS 7
Robert menilai kebijakan larangan mudik dari tanggal 6 hingga 17 Mei dan pengetatan untuk mengefektifkan larangan mudik tidak sepenuhnya salah.
Namun permasalahannya adalah inkonsistensi pemerintah dan miskomunikasi antar lembaga terkait yang membuat ini menjadi celah masih banyaknya warga yang memutuskan untuk mudik.
Robert menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat tidak bisa lepas dari tradisi mudik di hari raya keagamaan.
Pertama adalah faktor struktural yang berkaitan dengan ketimpangan dalam hubungan desa dan kota di Indonesia, dimana desa mengalami kemiskinan yang menurutnya cukup masif dan kota mengalami berbagai macam kemajuan ekonomi.
Baca juga: Menhub Budi Karya: Peniadaan Mudik Mendapat Penerimaan yang Baik dari Masyarakat
Akibat ketimpangan ini terjadi urbanisasi. Namun ikatan penduduk desa yang melakukan urbanisasi ini tidak pernah hilang terhadap kampung halamannya.
Robert mengatakan desa atau kampung merupakan salah satu sarana reproduksi sosial, dimana warga desa yang meninggalkan kota berada di posisi ambivalen.
Posisi ini yang membuat penduduk desa yang melakukan urbanisasi ke kota, memandang bahwa kota itu bukan tempatnya, walaupun kota tempatnya mengais rezeki.
“Di kota memang ada banyak rezeki, ada banyak uang, namun kota menurut mereka adalah sumber masalah dan sumber kecacatan moral. Sementara desa merupakan tempat tinggal, rumah, tempat orang tuanya adalah tempat yang baik, tempat yang luhur. Selalu ada tarikan ambivalen seperti itu dalam setiap orang yang mengalami migrasi,” katanya.
Baca juga: Menhub: Jumlah Pemudik pada Selasa dan Rabu Esok Diprediksi Masih Tinggi
Dalam situasi seperti itu selalu ada tarikan yang bersifat psikologis dan budaya untuk masyarakat ingin kembali ke desa atau kampungnya disaat tertentu.
Karena menurutnya yang namanya ‘pulang’ tidak memiliki konotasi negatif di masyarakat.
“Mudik konotasinya adalah pulang. Orang yang pulang itu tidak punya konotasi negatif. Jadi konstruksi kebudayaan ini yang membalut dimensi struktural itu. Basisnya adalah gap ekonomi antara desa dan kota, tapi karena sudah menjadi struktur, kemudian menghasilkan suatu praktik budaya,” ujarnya.
Hal itu yang menjadikan mudik bukan lagi semata-mata suatu proses fisik perpindahan orang, tapi sekaligus tindakan etik dan kultural yang menjadi sulit untuk dihentikan.
Baca juga: Profil Ustaz Tengku Zulkarnain: Dikenal sebagai Tokoh Agama dan Mantan Wasekjen MUI
Sehingga banyak masyarakat yang tetap berusaha dan bersusah payah untuk mudik ke kampung halaman, meski ada pandemi atau dilakukan pengetatan oleh pemerintah.
“Ini yang membuat orang bersusah payah. Bakal untuk mengakalinya dia naik sepeda dari Jakarta ke Jogja, dengan aneka macam cara,” ujarnya.
Namun dengan adanya pandemi, mudik mengalami benturan logika medik.
Sehingga ini menyebabkan konflik atau pertarungan antara rasionalitas pandemi dengan kebudayaan.
“Jadi tidak bisa kita katakan mana yang salah atau benar, mana kalah mana menang karena yang dihalangi cukup besar,” ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mengapa Pemudik Ngotot Pulang Kampung Meski Dilarang, Ini Penjelasan Sosiolog,
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Hasanudin Aco