Oleh: Kurnia Wulan Ramadhani, SKM
Prodi Magister Kesehatan Masyarakat, Universitas Mandala Waluya Kendari
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Resistensi antibiotik atau kebal terhadap efek antibiotik terjadi saat bakteri tidak lagi merespons efektif terhadap antibiotik yang seharusnya menghentikan pertumbuhan atau membunuh bakteri.
Masalah ini semakin memburuk karena banyak orang yang mendapatkan antibiotik tanpa resep dokter dan kurang pemahaman tentang cara penggunaannya.
Resistensi antibiotik berkembang menjadi isu global, bahkan di Indonesia.
Namun, Hari Paraton, SpOG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) mengemukakan bahwa pihaknya belum memiliki data terkait prevalensi kasus penyakit resisten antibiotik di Indonesia.
"Jika di Thailand tercatat ada 38 ribu kematian per tahun akibat resiatensi antibiotika. Padahal penduduknya hanya 70 juta orang di sana. Kemungkinan kasus resistensi antibiotika di Indonesia mencapai 130 ribu per tahun," ujarnya.
"Kasus resistensi antibiotik sulit dilacak karena di rumah sakit biasanya penyebab kematian pada gejala terdekat saja seperti gagal jantung, ginjal atau stroke. Padahal kalau dilihat, di dalam tubuh pasien itu ada bakteri resisten yang tersembunyi, cuma tidak terlaporkan," ucap Hari Paraton.
Antibiotik menjadi salah satu jenis obat yang sering disalahgunakan dan berakibat terjadinya resistensi.
Baca juga: OPINI: Kesehatan Mental Remaja Gen Z
Resistensi antibiotik meningkat karena pengetahuan yang tidak memadai, serta penggunaan antibiotik untuk self medication dapat memperluas kejadian resistensi antibiotik, yakni upaya untuk mengobati segala keluhan pada diri sendiri atau penyakit yang diketahuinya pribadi dengan obat-obat yang dibeli secara bebas di apotek atau toko obat tanpa menggunakan resep dokter.
Penggunaan antibiotik yang seharusnya sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 28 Tahun 2021 Tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik Pasal 3 Penggunaan antibiotik harus berdasarkan resep dokter atau dokter gigi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga kita dapat terhindar dari kejadian resistensi antibiotik yang menyebabkan pasien harus lebih lama dirawat di rumah sakit, biaya kesehatan yang lebih besar, dan kematian.
Pada akhirnya, resistensi antibiotik menjadi ancaman global yang tidak bisa diabaikan sehingga memerlukan pendekatan holistik dan kolaboratif.
Masalah ini tidak bisa diatasi dengan satu pihak saja. Jika kita tidak mampu untuk mengendalikan resistensi antibiotik, kita berisiko kembali ke masa lalu ketika antibiotik belum ditemukan.
Karena tidak ada obat saat itu, infeksi bakteri yang ringan sudah dapat menyebabkan kematian.