Lalu dikumpulkan lagi ke pengepul dan dibeli dengan harga Rp 25 ribu per kilonya. Setiap hari diungkapkan La Mamma, ia bisa konsisten mendapatkan ikan 10 kilogram hingga 20 kilogram.
Seakan tak meragukan lagi rezeki Illahi, La Mamma tetap percaya diri untuk mengambil ikan di laut yang kala itu melimpah. Namun, berjalannya waktu La Mamma memilih untuk berhenti saja menjadi nelayan.
"Tidak ada mi juga ikan," katanya.
Perlahan hasil tangkapannya berkurang, yang dulunya melimpah ruah kini La Mamma sudah bersyukur jika mendapatkan lima ekor ikan.
"Itu hanya untuk di makan saja," tuturnya sambil tertawa.
Sama halnya seperti La Mamma, Kepala Dusun II Januda juga merasakan nasib yang sama. Lansia 56 tahun ini, mengungkapkan bahwa dulunya mencari ikan adalah mata pencaharian utamanya.
Tak ada hari, tanpa pergi melaut dan mengambil ikan untuk dijual lalu disantap lezat oleh keluarganya.
Namun kini, ia berhenti melaut. Karena baginya, modal untuk menjadi nelayan lebih besar ketimbang hasil yang didapatkannya.
"Paling mahal itu bensin dibeli, apalagi kalau sudah keluar jauh dari sini (Desa Boedingi) pasti lebih mahal lagi dan banyak BBM dibeli," jelasnya saat ditemui TribunnewsSultra.com.
Baca juga: Penghasilan Nelayan di Kendari Turun Imbas BBM Naik, Sebut Sulit Dapat Solar hingga Banyak Calo
"Untung kalau pulang dapat banyak ikan, tapi sudah tidak seperti dulu mi lagi," jelasnya.
Lebih baik bagi Januda saat ini untuk tidak menggantungkan nafkahnya dengan menjadi nelayan. Secara tidak langsung, kini ia sudah kehilangan mata pencaharian utamanya sebagai nelayan.
Meski demikian, sesekali untuk mencukupi biaya hidup, sejumlah warga yang menganggur akan menjadi buruh pasir.
Bagaimana tidak, warga kehilangan mata pencaharian akibat musnahnya ekosistem laut yang ada di perairan Teluk Lasolo utamanya dekat dengan Desa Boedingi. Hal ini diduga karena sedimentasi ore nikel yang jatuh ke laut, menyebabkan ikan kehilangan rumahnya dan pergi jauh dari Boedingi.
Wanita di Boedingi
Seorang ibu yang enggan disebutkan namanya menuturkan keseharian di Desa Boedingi pada dasarnya sama seperti kehidupan manusia lainnya. Hanya saja sebagai masyarakat Suku Bajo yang hidup bergantung pada laut, kondisi saat ini cukup bertolak belakang seperti awal dirinya menempati Desa Boedingi. Bahkan untuk mengambil sendok besi yang jatuh ke laut dari sela-sela lantai rumah, rasanya saja sudah malas.