Wisata Sulawesi Tenggara

Jejak Layang-layang Pertama Dunia di Muna, Naiki 117 Anak Tangga hingga Pemandangan Tebing Tinggi

Berikut ini menelisik jejak layang-layang pertama di dunia di Desa Liangkabori Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara (Sultra). 

Kolase TribunnewsSultra.com
Berikut ini menelisik jejak layang-layang pertama di dunia di Desa Liangkabori Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebagai tanda peradaban masa lampau yang tak terbantahkan dengan hadirnya bukti gua di kawasan Liangkabori. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM- Berikut ini menelisik jejak layang-layang pertama di dunia di Desa Liangkabori Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara (Sultra). 

Sebagai tanda peradaban masa lampau yang tak terbantahkan dengan hadirnya bukti gua di kawasan Liangkabori.

Sebanyak 48 situs gua ada di wilayah dengan luas berjumlah 1.941,08 kilometer persegi ini. 

Di mana hal inilah yang menjadi kekayaan Pulau Muna atas banyak bukti prasejarah awal mula kehidupan ataupun peradaban manusia. 

Menariknya, terdapat banyak lukisan unik bak menjadi jawaban atas teka-teki dari kehidupan manusia di Pulau Muna

Misalnya saja salah satu situs gua bernama Sugipatani yang lokasinya berada begitu jauh dari pintu masuk kawasan destinasi wisata sejarah Liangkabori.

Baca juga: Aksi Terampil Anak-anak Desa Liangkabori Kenalkan Berbagai Kesenian Khas Muna Sulawesi Tenggara

Di sini, jejak sejarah penemuan layang-layang pertama di dunia ditemukan ternyata bukanlah di China. 

Melainkan di Kabupaten Muna, tepatnya berada di Desa Liangkabori yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Kota Raha. 

Pengunjung harus berjalan menuju wilayah atas dengan kendaraan motor ataupun mobil. 

Tak disarankan berjalan kaki, karena kondisi jalanan begitu terjal menanjak. 

Namun jika ingin merasakan sensasi yang berbeda, tentu pengunjung bisa saja melakukannya. 

Anda juga membutuhkan juru pelihara untuk bisa menunjukkan lokasi dan memandu perjalanan menuju gua Sagipatani yang masih dalam kawasan Gua Liangkabori. 

Setibanya di depan area Gua Sagipatani, perlu menanjak untuk menaiki terbing. 

Untungnya, fasilitas penunjang sepeti tangga telah dipersiapkan memudahkan para pengunjung berdatangan. 

Sebanyak 117 anak tangga harus dinaiki hingga ke titik mulut Gua Sugipatani.

Rasa lelah dan letih terbayarkan saat mengetahui mengenai kisah di balik Gua Sugipatani ini.

Selain itu, pemandangan dari atas pun begitu indah karena bisa melihat karst menjulang tinggi berpadu dengan pohon, rerumputan dan warna langit yang biru.  

Baca juga: Rekomendasi 4 Tempat Wisata di Buton Tengah Tak Boleh Dilewatkan, Surga Tersembunyi Negeri 1000 Gua

Di sinilah, awal mula ditemukannya layang-layang yang merupakan mainan orang-orang pada zaman dulu. 

Juru pelihara Gua Liangkabori, La Mondoi (38) brcerita saat menemani perjalanan TribunnewsSultra.com, Rabu (13/11/2024). 

Ia mengungkapkan sosok pertama yang menemukan lukisan layang-layang itu adalah warga lokal bernama La Hada. 

Sosok mendiang La Hada juga adalah juru kunci dari Gua Liangkabori. 

Ia dianggap berjasa telah menemukan salah satu 'kunci' kekayaan Pulau Muna di mata dunia. 

Awalnya, ia melihat ada lukisan layang-layang di dalam Gua Sagipatani. 

Lukisan tersebut memperlihatkan gambar orang sedang bermain dengan layang-layang

Sampai pada akhirnya pada tahun 1997, seorang peneliti berasal dari Jerman, Wolfgang Bieck berniat melakukan penelitian atas lukisan layang-layang tersebut. 

Dari hasil penelitiannya, layang-layang yang disebut Kaghati Kolope ini sudah ada sejak 4 ribu tahun lalu.

Wolfgang Bieck lantas merilis hasil penelitiannya dalam artikel Binary Oppostion of Levi-Strauss in The World’s First Kite (Kaghati Roo Kolope) on Community in District of Muna

Ia pun mengidentifikasi lukisan yang ada pada dinding batu gua Sagipatani itu juga bersumber dari tanah liat yang dicamput getah pohon. 

Hal inipun sampai mematahkan klaim terkait layang-layang pertama di dunia berasal dari Cina, yang ditemukan sekitar 2.400 tahun silam. 

Lantas apa yang menjadikan klaim Kaghati Kolope sebagai layang-layang tertua menjadi kuat, selain usia lukisan di dalam gua? 

Masih dalam penelitian Wolfgang Bieck, dijelaskan bahwa bahan pembuatan layang-layang dari Muna ini tidak asal. 

Karena, terbuat dari bahan alam yang ditemukan di area kawasan Liangkabori. 

Misalnya saja, seperti daun kolope atau umbi hutan atau gadung, kulit bambu, serat nanas, dan tali.

Di zaman dulu kata La Mondoi, manusia di Pulau Muna membuat layang-layang dan menerbangkannya untuk menjadi tanda masa menanam telah tiba. 

Layang-layang diterbangkan pun saat angin berembus dari timur ke barat. 

"Ini juga sebagai tanda ada orang di kebun yang menerbangkan layang-layang, dan permainan zaman dulu," tuturnya. 

Selain itu, adapula yang mengungkapkan bahwa simbol diterbangkannya manusia zaman dulu adalah ingin menjangkau langit. 

Di mana konon katanya masyarakat Muna dulu ingin mencapai langit dengan cara menerbangkan layang-layang.

Selain bisa melihat gua, para pengunjung juga dapat menyaksikan seperti apa layang-layang yang digambar di Gua Sagipatani ini. 

La Mondoi mengungkapkan dimensi layangan Kaghati Kolope dapat mencapai 1,9 meter dan lebar 1,5 meter. 

Bisa diterbangkan meski dari fisik terlihat gampang rapuh karena dari dedaunan. 

Namun tak perlu khawatir, karena layang-layang tersebut bisa diterbangkan dan dibutuhkan angin yang lebih kencang dari biasanya. 

Angin yang biasa digunakan adalah angin timur yang kerap bertiup pada Juli sampai September. 

Pada momen itu biasanya juga akan digelar festival Kaghati Kolope sebagai hiburan dalam menerbangkan beberapa layangan yang menarik dengan tujuan melestarikan kebudayaan hingga jejak sejarah di Pulau Muna

Berjalannya waktu, destinasi gua yang ada di kawasan Desa Liangkabori mulai dikembangkan menjadi objek wisata pada 1976 di bawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan Kemendikbudristek. 

Bahkan hingga saat ini, masih banyak akademisi dari berbagai wilayah Indonesia hingga mancanegara menargetkan kawasan Liangkabori sebagai tempat penelitian. 

Selain gua Sugipatani ada 47 situs lainnya yang bisa dijajal dengan lokasi berbeda-beda. 

Dari 48 gua ini memiliki ciri khas dan keunikannya tersendiri, salah satunya dalah gambar atau lukisan yang ada dalam gua. 

Selain layang-layang di Gua Sugipatani adapula lukisan hewan bertanduk di Gua Metandono. (*)

(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved