Berita Sulawesi Tenggara

Mengenal 9 Budaya Sultra, Jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Ditetapkan Kemendikbud Ristek

Inilah sembilan budaya di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia oleh Kemendikbud Ristek

Penulis: Dewi Lestari | Editor: Amelda Devi Indriyani
kolase foto (handover)
Inilah sembilan budaya di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia oleh Kementrian Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2024. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Inilah sembilan budaya di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia oleh Kementrian Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2024.

Sertifikat Warisan Budaya Tak Benda tersebut nantinya akan diterima Pj Gubernur Sultra, Andap Budhi Revianto pada Sabtu, (16/11/2024) malam di Jakarta.

“Sertifikat WBTB ini akan kita terima malam ini,” kata Andap.

Sementara itu, warisan budaya tak benda Sultra ini ditetapkan berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.

Kemudian, Peraturan Presiden nomor 115 tahun 2024, tentang strategi rencana induk pemajuan kebudayaan (RIPK), serta Peraturan Daerah (Perda) Sultra nomor 3 tahun 2023 tentang pelestarian dan pemajuan warisan budaya tak benda.

Sehingga, saat ini secara keseluruhan, warisan budaya tak benda Sultra yang telah ditetapkan sebanyak 37.

37 warisan budaya tak benda tersebut yakni Kalosara, Kaganti, Lariangi, Kaghati, Mosehe, Lulo, Karia, Tari Linda, Kantola, Istana Malige Buton, Kaago-Ago, Kamohu, Banya Tada, Dole-Dole, Ewa Wuna, Kabanti Kaluku Panda, Tanduale.

Baca juga: Murid SD di Kendari Lestarikan Budaya dan Kearifan Lokal Lewat Makanan hingga Permainan Tradisional

Kemudian, Kamohu wuna/Tenun Muna, Lulo Ngganda, Pakande-Kadea, Tari Balumba, Tenun Konawe, Tandaki, Kabanti, Lumense, Kabuenga, Tari Mondotambe, dan Mewuwusoi.

Lalu, yang terbaru Haroa, Tari Galangi, Gola Ni’i, Bilangari, Kabuto, Kasambu, Pogoraa Adhara, Mowindahako, dan Sajo Moane.

Berikut ini, penjelasan sembilan budaya Sultra yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda tahun 2024.

1. Haroa dari Buton, yakni doa bersama atau pengucapan doa secara kolektif. Dalam praktiknya, prosesi haroa dilakukan dengan membaca doa-doa dalam bahasa arab dan Buton, yang dipimpin oleh seorang tokoh agama atau tetua adat yang disebut dengan Lebe.

2. Tari Lariangi dari Buton, yakni tari perang dalam mengawal Sultan Buton, Sapati (Perdana Menteri) dan Kapitalao (Panglima Perang) dalam menjalankan tugas. Dalam dinamikanya, tari Lariangi saat ini menjadi atraksi wisata budaya dalam berbagai event kegiatan.

3. Gola Ni’i dari Buton dan Kabaena, yakni berupa makanan khas masyarakat Buton dan Kabaena yang masih diperdagangkan hingga saat ini. Gola Ni’i terbuat dari gula aren yang dicampur kelapa setengah tua. Untuk menambah rasa, gula kelapa dicampur dengan nasi beras ketan dan dibungkus dengan daun jagung.

4. Bilangari dari Tolaki, yakni panduan oramg suku Tolaki untuk memprediksi hari baik dan gejala alam. Bilangari digunakan untuk memprediksi waktu yang cocok untuk membangun rumah, menanam padi, dan sebagainya.

5. Kabuto dari Muna, yakni makanan khas masyarakat Muna yang berbahan dasar ketela pohon atau singkong atau ubi kayu yang telah kering. Selanjutnya dimasak dengan dicampur parutan kelapa dan ikan asin goreng. Kabuto sudah menjadi makanan pokok pengganti nasi masyarakat Muna sejak zaman dahulu, terutama yang disekitar pesisir pantai.

6. Kasambu dari Muna, yakni ritual yang dilakukan masyarakat Muna pada usia 7-8 kehamilan pertama seorang perempuan. Ritual ini masih tetap dipertahankan walaupun ada pergeseran dalam hal penggunaan jasa Sando (Pemimpin doa keselamatan), dimana saat seorang Ibu melahirkan dipimpin dan digantikan oleh tenaga media.

Kasambu secara harafiah berarti suap atau kenyuap. Proses ini untuk memberi doa keselamatan, bahtera rumah tangga, dan menyambut kelahiran calon bayi. Prosesinya merupakan Sinkretisme antara ajaran Islam dengan kepercayaan leluhur. Sandi merupakan orang yang mengetahu tata cara upacara dan imam bertindak sebagai pemimpin doa keselamatan.

7. Pogiraa Adhara dari Muna, yakni tradisi budaya tarung kuda bagi masyarakat Muna. Tradisi ini berupa mempertarungkan dua ekor kuda jantan yang sudah dewasa dengan ukuran sama. Adu domba kuda ini dipimpin oleh seorang pawang yang sudah memiliki pengalaman.

Baca juga: Warisan Budaya Sulawesi Tenggara Masih Minim Terdaftar, Kemendikbudristek RI Minta Libatkan Kampus

8. Mowindahako dari Tolaki, yakni penyelesaian adat yang menandai penggabungan dua keluarga. Proses ini melibatkan dua keluarga mempelai, tokoh adat, tokoh agama, pemerintah dan masyarakat. Tradisi ini merupakan proses pernikahan masyarakat Tolaki.

9. Sajo Moane dari Buton dan Wakatobi, yakni tadian khas yang dapat dijumpai di Selatan pulau Kaledupa dan di Utara pulau Binongko. Personil tari Sajo Moane diharuskan laki-laki dan pada umumnya dilakukan untuk menyambut para tamu yang datang berkunjung.

Pada masa lalu, tarian ini ditampilkan untuk menyambut kepulangan para prajurit kerajaan dari medan perang. (*)

(Tribunnewssultra.com/Dewi Lestari)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved