Sidang Guru Viral di Konawe Selatan

Mahfud MD Buka Suara Kasus Guru Supriyani, Anggap Tuntutan Jaksa Tak Aneh, Bahas Orangtua Murid

Mahfud MD buka suara terkait kasus guru Supriyani di Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), yang kini sudah memasuki tahap persidangan.

Penulis: Sitti Nurmalasari | Editor: Aqsa
kolase foto handover
Mahfud MD buka suara terkait kasus guru Supriyani di Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), yang kini sudah memasuki tahap persidangan. Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), inipun menyampaikan pandangan terkait kasus yang belakangan ini menyita perhatian publik tersebut. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Mahfud MD buka suara terkait kasus guru Supriyani di Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), yang kini sudah memasuki tahap persidangan.

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), inipun menyampaikan pandangan terkait kasus yang belakangan ini menyita perhatian publik tersebut.

Pandangan tersebut terkait tuntutan jaksa dalam persidangan, begitupun budaya pendidikan di Indonesia. 

Sidang kasus guru honorer sekolah dasar (SD) di Kecamatan Baito, Kabupaten Konsel, Provinsi Sultra, itu kembali berlangsung di Pengadilan Negeri atau PN Andoolo, pada Kamis (14/11/2024).

Dalam sidang pledoi tersebut, kuasa hukum guru Supriyani membacakan nota pembelaan (pledoi) yang berjudul ‘Orang Susah Harus Salah’ setebal 188 halaman.

Pledoi tersebut sekaligus menjawab tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri atau Kejari Konawe Selatan.

Dalam sidang penuntutan pada Senin (11/11/2024) lalu, JPU menuntut guru Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum.

Baca juga: Detik-detik Pembelaan Guru Supriyani di Sidang Pledoi, Kuasa Hukum Ungkap ‘Kejanggalan’ Tuntut Lepas

Namun jaksa tetap meyakini sang guru memukul korban murid SD kelas 1 yang merupakan anak polisi, Aipda WH, dan istrinya FN.

Menurut Mahfud, ada banyak kasus dan peristiwa di mana orang yang melakukan tindak pidana tidak harus dihukum meski terbukti.

Jika tak ada mens rea atau niat jahat yang melatarbelakangi perbuatan tersebut.

“Dalam hukum pidana ada banyak kasus dan banyak peristiwa di mana orang yang melakukan tindak pidana tidak harus dihukum meski terbukti, kalau tidak ada mens rea-nya,” kata Mahfud.

“Oleh sebab itu, dalam hukum pidana ada alasan pemaaf. Anda mau ditusuk orang lalu Anda tusuk duluan, enggak bisa dihukum,” lanjutnya dalam kanal YouTube-nya, Rabu (13/11/2024).

Mahfud MD menganggap tak ada yang perlu dipermasalahkan dari tuntutan lepas kepada guru Supriyani

Menurutnya, tuntutan tersebut hanya berkaitan dengan budaya di Indonesia.

“Enggak ada masalah di situ, sudah biasa kayak gitu. Saya kira benar tuntutan jaksa, karena itu berkaitan dengan budaya,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

“Budaya kita kan guru memukul murid, benar atau tidak, masa gurunya mau dihukum?” lanjutnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, ini lantas menyinggung budaya pendidikan di Indonesia. 

Ia menilai, saat ini banyak orangtua siswa yang tak terima saat anaknya ditegur oleh guru.

“Saya tidak bisa bayangkan, sekarang ini orangtua murid banyak sekali kalau anaknya dimarahi guru, gurunya yang diserang, gurunya yang dihina, apalagi kalau di swasta,” kata Mahfud.

“Lalu yang guru itu disuruh dipecat oleh ketua yayasan. Kalau PNS, katanya pelanggaran HAM, pelanggaran Undang-undang Perlindungan Anak,” jelasnya menambahkan.

Budaya tersebut, kata Mahfud, berbanding terbalik dengan masa sekolahnya dulu. 

Baca juga: ‘Orang Susah Harus Salah’ Pembelaan Guru Supriyani 188 Halaman, Jawab Tuduhan, Tuntutan Lepas Jaksa

Mahfud menceritakan, siswa dipukul atau ditegur oleh guru merupakan hal yang biasa saat itu.

“Loh saya waktu sekolah tahun 60-70an, kalau saya dipukul oleh guru karena saya melakukan kesalahan, orangtua saya malah senang,” ujarnya.

“Kalau saya lapor malah dimarahi, didatangi gurunya dibilang 'Pukul lagi aja, terima kasih sudah memukul anak saya, sudah mendidik'.”

“Sekarang malah orangtuanya datang, gurunya yang diamuk,” kata Mahfud menambahkan.

Jaksa Tuntut Lepas

Pada sidang sebelumnya, JPU menuntut terdakwa guru Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum.

Tuntutan terhadap terdakwa dibacakan JPU yang dipimpin Kajari Konsel, Ujang Sutisna, dalam persidangan, Senin (11/11/2024).

Guru honorer Supriyani kembali menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri atau PN Andoolo Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (14/11/2024).
Guru honorer Supriyani kembali menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri atau PN Andoolo Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (14/11/2024). ((TribunnewsSultra.com/Samsul))

JPU mendasari tuntutan bebasnya terhadap guru Supriyani dengan sejumlah pertimbangan dan alasan.

Meski demikian, JPU tetap meyakini sang guru honorer menganiaya korban, salah satu murid kelas 1 SD Negeri di Kecamatan Baito.

Dalam kasus tersebut, guru honorer didakwa aniaya murid yang merupakan  anak polisi yakni Aipda WH, dan istri FN.

Aipda WH menjabat Kepala Unit Intelijen dan Keamanan Kepolisian Sektor atau Kanit Intelkam Polsek Baito.

JPU menilai luka yang dialami korban tidak pada organ vital dan tidak mengganggu korban.

Kemudian, perbuatan Supriyani terhadap korban dinilai bersifat mendidik.

Selain itu, JPU juga menganggap tindakan Supriyani dilakukan secara spontan.

Baca juga: Fakta Lain Guru Supriyani Dituntut Bebas, Jaksa Masih Tuduh Aniaya Anak Polisi, Pengacara Sebut Aneh

“Adapun perbuatan Supriyani yang tidak mengakui perbuatannya, menurut pandangan kami karena ketakutan atas hukuman dan hilangnya kesempatan menjadi guru tetap,” ujar Ujang.

Kemudian, selama tujuh kali menjalani persidangan, Supriyani juga dinilai sopan dan kooperatif.

Supriyani memiliki dua orang anak kecil yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua.

Guru honorer tersebut juga belum pernah dihukum.

Selain itu, Supriyani juga telah mengabdi sebagai guru honorer di SD 4 Baito sejak 2009.

“Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan penuntut umum, maka walaupun perbuatan pidana dapat dibuktikan, akan tetapi tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat mensrea,” kata jaksa.

“Oleh karena itu terdakwa Supriyani tidak dapat dikenakan pidana kepadanya. Oleh karena unsur pertanggung jawaban pidana tidak terbukti.”

Baca juga: Polda Sultra Akan Sampaikan Temuan Labfor Soal Pecah Kaca Mobil Camat Baito Kerap Dipakai Supriyani

“Maka dakwaan kedua dalam surat dakwaan penuntut umum tidak perlu dibuktikan,” jelas jaksa dalam tuntutannya.

Jaksa juga menyimpulkan, perbuatan terdakwa memukul bukan tidak pidana.

“Perbuatan terdakwa Supriyani memukul anak korban, namun bukan tindak pidana,” ujarnya.

Jaksa juga mengemukakan tidak ada hal -hal yang memberatkan terdakwa Supriyani.

“Hal memberatkan tidak ada, terdakwa bersikap sopan selama persidangan,” kata Jaksa.

Sehingga, JPU menuntut guru Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum.

“Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan,” jelas Jaksa.

“Satu, menyatakan menuntut terdakwa Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum,” lanjutnya.

Kedua, jaksa meminta agar barang bukti dan alat bukti yang ada di dalam persidangan untuk dikembalikan kepada saksi.

Jawaban Tuntutan Jaksa

Kuasa hukum guru Supriyani, Andri Darmawn, mengatakan, pihaknya sudah menjawab tuntutan lepas JPU dalam pledoit 188 halaman yang berjudul ‘Orang Susah Harus Salah’ tersebut.

Meski dilepaskan dari segala tuntutan hukum, kata Andri, jaksa dalam tuntutannya masih menganggap sang guru memukul murid.

“Kemarin kan kita bisa dengar JPU bukan menuntut bebas yah, tapi menuntut lepas,” kata Andri usai sidang pledoi.

“Dalam artian katanya ada perbuatan tapi tidak ada mens rea (niat jahat).”

“Jadi di pledoi tadi kita sudah bahas, bahwa itu aneh. Bagaimana ada perbuatan tetapi tidak ada mens rea,” jelasnya menambahkan.

“Karena perbuatan yang disangkakan terhadp Bu Supriyani katanya kesengajaan melakukan kekerasan,” lanjutnya.

Andri pun menyebut alasan dan pertimbangan jaksa, justru kontradiktif dengan kesimpulan tuntutan.

“Artinya, pada satu sisi dia sudah membuktikan bahwa Supriyani ini sengaja. Kalau sengaja di situ kan berarti ada niat, ada kehendak, ada pengetahuan,” ujarnya.

“Bahwa perbuatannya ini akan menimbulkan misalnya kekerasan atau luka lecet. Tapi pada kesimpulan akhir, dia mengatakan itu tidak ada niat. Jadi ini saling kontradiktif argumennya, yah ambigu,” lanjutnya.

Andri pun menjelaskan jaksa berada dalam posisi dilematis untuk menuntut guru Supriyani.

“Kenapa? Pertama, dia ingin tetap mempertahankan dakwaaannya bahwa ibu Supriyani bersalah, tapi di sisi lain JPU ingin mempertahankan simpatik publik,” katanya.

“Mengesankan bahwa dia juga berpihak pada keadilan, memberikan rasa keadilan kepada  guru Supriyani. Jadi kenapa sikap jaksa ambigu seperti itu,” jelasnya.

Andri pun kembali menegaskan perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak ada berdasarkan alat-alat bukti dalam persidangan.

“Memang perbuatan itu sebenarnya tidak ada sama sekali. Kita mau buktikan apa perbuatan itu? Semua alat-alat bukti semua sudah kita bahas tadi, kita analisis,” ujarnya.

“Saya membacanya tadi begitu konferhensif, semua sudut tidak ada satu celahpun yang tersisa yang bisa membuktikan bahwa Ibu Supriyani melakukan perbuatan itu,” katanya menambahkan.

Dengan fakta-fakta persidangan itu, diapun yakin guru Supriyani bisa divonis bebas murni.

“Saya pikir clear dan kami optimis kalau berdasarkan fakta persidangan harusnya ini bebas, bebas murni. Kecuali berdasarkan pertimbangan lain,” jelasnya.

Andri Darmawan sebelumnya juga mengurai poin-poin pembelaan hingga kesimpulan pledoinya.

“Tadi di pledoi kami menggambarkan semua fakta-fakta. Kita analisis semua alat-alat bukti. Apakah semua alat bukti saling berkesesuaian, apakah dia memiliki kekuatan pembuktian,” kata Andri.

Dengan pembuktian tersebut, tim kuasa hukum, berkesimpulan bahwa guru Supriyani tidak terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan.

“Sehingga kami pada akhirnya tiba pada kesimpulan akhir bahwa Bu Supriyani tidak terbukti melakukan seperti yang dituduhkan yaitu melakukan kekerasan terhadap seorang anak,” lanjutnya.

Kuasa hukum pun menyampaikan beberapa poin yang mendasari kesimpulan tersebut.

“Keterangan saksi yang disumpah. Guru-guru semua jelas menyampaikan tidak ada kejadian itu,” ujarnya.

“Kalau keterangan orangtua itu bersifat testimoni, tidak melihat langsung kejadiannya,” kata Andri menambahkan.

Dia juga mendasarkan kesimpulan tersebut atas keterangan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan.

Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri, bahawa keterangan anak tidak bisa diandalkan dalam perkara ini karena kualitasnya dipertanyakan.

Sementara, ahli forensik, Dr Raja Al Fath Widya Iswara, yang berpendapat bahwa luka korban bukan disebabkan sapu.

Tapi disebabkan penyebab lain yakni gesekan dengan benda yang permukaannya kasar.

“Kemudian keterangan saksi anak kita sesuaikan lagi. Apakah dia berkesesuaian dengan kesaksian saksi yang lain,” jelas Andri.

Andri mencontohkan keterangan saksi anak yang menyebutkan waktu kejadian pemukulan terjadi pada pukul 08.30 wita.

“Sementara saksi gurunya, Ibu Lilis, mengatakan bahwa tidak ada kejadian itu,” ujarnya.

“Kemudian ada saksi anak yang menyebutkan jam 10. Sementara ibu guru, guru-gurunya menyatakan bahwa kalau jam 10 anak kelas 1 sudah pulang semua,” kata Andri menambahkan.

Dengan berbagai rangkaian pembuktian tersebut dalam persidangan, kata Andri, tim kuasa hukum guru Supriyani pun menyimpulkan bahwa tidak ada perbuatan pemukulan seperti yang dituduhkan.

“Ini tidak ada kejadian sebenarnya. Kami akhirnya meminta agar ini bisa dibebaskan oleh majelis hakim,” jelasnya menambahkan.(*)

(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriani, Tribunnews.com/Jayanti TriUtami)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved