Kasus Tambang di Sulawesi Tenggara
Soal Rp75 Miliar Disita dari Dirut PT KKP di Sulawesi Tenggara, Kuasa Hukum Sebut Tak Ada Uang Tunai
Soal Rp75 miliar disita dari Direktur Utama PT Kabaena Kromit Prathama atau Dirut PT KKP, AA, kuasa hukum ungkap tak ada uang tunai.
Penulis: Risno Mawandili | Editor: Aqsa
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, JAKARTA - Soal Rp75 miliar disita dari Direktur Utama PT Kabaena Kromit Prathama atau Dirut PT KKP, AA, kuasa hukum ungkap tak ada uang tunai.
AA adalah salah satu tersangka dugaan kasus korupsi tambang nikel di wilayah Izin Usaha Pertambangan atau IUP PT Antam Tbk di Blok Mandiodo, Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra).
Terkait penyitaan uang Rp75 miliar dari AA dan para tersangka lainnya oleh penyidik Kejaksaan Tinggi atau Kejati Sultra, kuasa hukum AA, Aloys Ferdinand, pun buka suara.
Dalam keterangannya, Aloys, mengungkap, pihak kejaksaan tak pernah menyita Rp75 miliar, melainkan hanya rekening koran.
Dia menyebut Dirut PT KPP AA hanya menandatangani surat sita atas 11 rekening.
Selain itu, penyitaan 11 lembar rekening koran pada Selasa (08/08/2023) lalu.
Aloys menegaskan tak ada uang tunai yang disita terkait Dirut PT KKP baik dalam bentuk rupiah maupun dolar.
Baca juga: Kejati Sultra Sita Uang, Mobil hingga Rumah Tersangka Kasus Tambang Nikel PT Antam Mandiodo Konut
“Klien kami AA selaku Dirut PT KKP hanya menandatangani surat sita atas 11 rekening,” katanya dikutip TribunnewsSultra.com pada Senin (14/08/2023) dari Tribunnews.com.
“Dan penyitaan atas 11 lembar rekening koran,” jelas Aloys menambahkan dalam keterangannya pada Kamis (10/8/2023) lalu.
Kejati Sultra sebelumnya menyita sejumlah barang bukti dari para tersangka dugaan kasus dugaan korupsi tambang nikel di wilayah IUP PT Antam Blok Mandiodo, Kabupaten Konut, Provinsi Sultra.
Termasuk uang senilai Rp75 miliar yang terdiri dari mata uang rupiah, dolar Amerika Serikat (AS), dan dolar Singapura (SGD).
Uang disita dari Dirut PT KKP inisial AA dan para tersangka lainnya dalam dugaan kasus pertambangan nikel tersebut.
Kejati Sultra juga menyita stok ore nikel sebanyak 161.740 metrik ton (MT) dari PT Lawu Agung Mining atau PT LAM.
Ore nikel sebanyak 50 ribu MT lainnya disita penyidik kejaksaan dari pihak PT KKP.
Penyitaan aset tersebut disampaikan Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Ade Hermawan, belum lama ini.
“Kini penyidik dan tim pelacak aset masih melakukan penelusuran terhadap aset lainnya guna pengembalian kerugian negara,” ujarnya.
Sementara kuasa hukum Dirut PT KKP, Aloys Ferdinand, menyebut pihak kejaksaan tak pernah menyita uang tunai Rp75 miliar.
Tetapi hanya 11 lembar rekening koran yang isi saldonya tak sampai Rp75 miliar, tetapi hanya sekitar Rp53 miliar.
“Dari 11 rekening koran PT KKP sendiri bila dijumlah saldonya kurang lebih sekitar Rp53 miliar,” kata Aloys.
“Dan dipastikan tidak ada rekening atau uang tunai dalam pecahan mata uang asing,” jelasnya.
Aloys pun menjelaskan terkait penyitaan ore nikel sebanyak 50 ribu MT yang disebut pihak kejaksaan.
Baca juga: Resmi Disetop Tambang Nikel PT Antam Blok Mandiodo Buntut Kasus Korupsi, Nama-nama 10 Tersangka
AA yang merupakan Direktur Utama PT Kabaena Kromit Prathama (KKP) tak pernah menandatangani berita acara penyitaannya.
“Sehingga tidak dapat dipersalahkan dikemudian hari jika atas ore nikel tersebut dijual oleh PT KKP,” ujar Aloys.
Kejaksaan Sita Aset Tersangka
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menyita sejumlah barang bukti dari para tersangka dugaan kasus korupsi penjualan ore nikel dari wilayah IUP PT Antam Tbk.
Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut berlokasi di Blok Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Barang bukti dan aset yang disita Kejati Sultra tersebut mulai dari uang miliaran rupiah, stok ore nikel, rumah, mobil, dan dokumen.
Kejati disebutkan menyita uang senilai Rp75 miliar terdiri dari mata uang rupiah, dolar AS, dan SGD.

Uang tersebut disita dari Dirut PT KKP AA dan para tersangka lainnya dalam dugaan kasus korupsi tambang nikel di wilayah IUP PT Antam Blok Mandiodo, Kabupaten Konut, Provinsi Sultra.
Kejati Sultra juga menyita stok ore nikel sebanyak 161.740 MT dari PT Lawu Agung Mining (LAM) dan 50 ribu MT dari PT KKP.
Penyidik juga menyita satu rumah milik tersangka WAS yang merupakan Owner PT LAM.
Rumah tersebut berlokasi di Kelurahan Mustika Sari, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Sementara dari tersangka GL yang merupakan Pelaksana Lapangan PT LAM, pihak kejaksaan juga menyita satu mobil Honda Accord.
Selain barang bukti aset, uang dan stok ore nikel, kejaksaan juga menyita dokumen terkait administrasi pertambangan nikel dari kantor PT LAM dan PT Antam UBPN Konawe Utara.
Asintel Kejati Sultra, Ade Hermawan, mengatakan, penyitaan aset terkait dugaan kasus penjualan ore nikel yang diselidiki kejaksaan.
Baca juga: Kejati Sultra Pertimbangkan Pasal TPPU di Kasus Tambang Nikel PT Antam Blok Mandiodo Konawe Utara
Ia mengatakan penyitaan aset tersebut untuk mengembalikan kerugian negara dari kasus tersebut yang mencapai Rp5,7 triliun.
Kronologi Kasus
Hingga saat ini, Kejaksaan sudah menetapkan 10 tersangka dalam dugaan kasus korupsi tambang nikel wilayah IUP PT Antam Tbk Blok Mandiodo, Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra).
Tersangka tersebut sebanyak 5 orang merupakan pejabat dan mantan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Tiga tersangka dari pihak PT Lawu Agung Mining atau PT LAM dan masing-masing satu orang dari PT Antam Tbk UBPN Konut serta PT Kabaena Kromit Prathama atau PT KKP.
Kronologi kasus ini bermula dari adanya KSO antara Antam dengan PT LAM serta Perusahaan Daerah Sulawesi Tenggara atau Perusahaan Daerah Konawe Utara.
Modus operandinya, dengan cara menjual hasil tambang nikel di wilayah IUP PT Antam menggunakan dokumen RKAB dari PT KKP dan beberapa perusahaan lain di sekitar Blok Mandiodo.
Baca juga: Daftar Nama 38 Perusahaan Diperiksa Kejati Sultra Soal Kasus Tambang PT Antam Mandiodo Konawe Utara
Seolah-olah, ore nikel tersebut bukan berasal dari IUP Antam lalu dijual ke beberapa smelter di Morosi dan Morowali.
Praktik tersebut berlangsung secara berlanjut karena diduga adanya pembiaran dari pihak PT Antam.
Berdasarkan perjanjian KSO itu, semua ore nikel hasil penambangan di wilayah IUP tersebut harus diserahkan ke Antam.
Sementara, PT Lawu Agung Mining hanya mendapat upah selaku kontraktor pertambangan.
Akan tetapi, pada kenyataannya PT LAM mempekerjakan 39 perusahaan pertambangan sebagai kontraktor.
Untuk melakukan penambangan ore nikel dan menjual hasil tambang menggunakan RKAB asli tapi palsu atau dikenal dengan istilah ‘dokumen terbang’ dari PT KKP dan perusahaan lainnya.
“Dokumen terbang itu artinya barangnya dari PT Antam tapi dijual menggunakan PT lain,” kata Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Ade Hermawan, di Kendari, beberapa waktu lalu
Khusus Dirut PT KKP berinisial AA ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik Kejati Sultra pada Senin (06/05/2023) lalu.
Penetapan status tersebut bersamaan dengan Pelaksana Lapangan PT LAM berinisial GL dan General Manager PT Antam UBPN Konawe Utara berinisial HA.
Mereka diduga terlibat korupsi penjualan ore nikel menggunakan ‘dokumen terbang’ dari wilayah IUP PT Antam Tbk di Blok Mandiodo, Kabupaten Konut, Sulawesi Tenggara.(*)
(TribunnewsSultra.com/La Ode Ari/Sugi Hartono/Tribunnews.com/Ashri Fadilla)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.