Berita Kendari

Kasus Prof B dan Perjalanan Korban Mencari Keadilan hingga Kekerasan Seksual Rentan di Kampus

Mahasiswi dari Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga menjadi korban pelecehan oknum dosen inisial Prof B.

Penulis: Naufal Fajrin JN | Editor: Muhammad Israjab
istimewa
Seorang mahasiswi inisial F, dari Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga menjadi korban pelecehan seksual oknum dosen inisial Prof B. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI – Hari itu, Senin (10/4/2023), Duduk Mashur tidak tenang.

“Belum, ini kita masih menunggu. Ruangan sidangnya masih tertutup,” ujarnya.

Ia sibuk memandangi telepon genggamnya dan sesekali menanggapi obrolan dari beberapa orang di sampingnya, tepat di depan pintu Ruang Sidang Cakra, Pengadilan Negeri Kendari, Sulawesi Tenggara.

Hari itu sebenarnya adalah puncak kebahagiaan Mashur.

Setelah delapan bulan lebih lamanya berjuang mendapatkan keadilan untuk kemenakannya yang merupakan korban dari dugaan kasus pelecehan seksual.

Baca juga: Sidang Pembacaan Tuntutan Kasus Prof B Ditunda Usai Jaksa Penuntut Umum Tidak Hadir

Hari itu tiba saatnya pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Kemenakannya, berinisial F, merupakan korban dalam dugaan kasus pelecehan seksual Prof B.

Prof B diketahui merupakan salah seorang guru besar di tempatnya berkuliah, Universitas Haluoleo atau UHO Kendari.

Sebelumnya, ia telah memastikan bahwa hari itu adalah jadwal sidang lanjutan kemenakannya.

Sesuai informasi yang disampaikan melalui laman resmi PN Kendari.

“Pembacaan tuntutan mi tanggal 10 April,” katanya beberapa hari lalu kepada TribunnewsSultra.com sembari menunjukkan jadwal melalui laman resmi PN Kendari.

Namun, kebahagiaan itu segera raib saat menghadiri PN Kendari, Senin (10/4/2023) pagi.

Wajahnya buncah, saat mengetahui ruangan yang seharusnya digunakan, untuk sidang lanjutan kasus kemenakannya itu masih tertutup.

Baca juga: Kasus Pelecehan Seksual Prof B, Ini 4 Tuntutan Forum Pemerhati Perempuan dan Anak Sultra ke Jaksa

Belakangan setelah ia konfirmasi dari petugas PN Kendari, ia baru mengetahui ruangan tersebut digunakan persidangan kasus lain.

Ia gelisah, sidang tersebut akan ditunda seperti yang sudah-sudah.

Selama seharian penuh, tak terhitung ia mondar-mandir menanyakan kejelasan terkait sidang kemenakannya.

Mashur sudah mencoba menanyakan kepada unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Kendari.

Namun tak mendapatkan jawabannya yang memuaskan.

Hingga sekira pukul 15.45 WITA, firasat Mashur akhirnya terbukti, sidang tersebut kembali ditunda.

Saat itu menjelang akhir jam kerja, ia tidak sengaja bertemu dengan Ketua PN Kendari yang saat itu sedang berada di pos satpam lalu menanyakan kejelasan terkait persidangan yang tak kunjung dimulai.

“Ditunda, karena katanya PN Kendari juga sudah berupaya menghubungi kejaksaan tapi tidak mendapat respons,” kata Mashur menyampaikan hasil obrolannya di pos satpam.

Sulitnya Ruang bagi Penyintas Kekerasan Seksual

Kemenakan Mashur, inisial F, adalah salah satu dari sedikit korban kekerasan seksual yang memutuskan untuk berani menyampaikan kasus yang menimpa dirinya.

Fayola jauh-jauh hari mengatakan dalam artikelnya di Rumah Faye.

Bahwa penyebab penyintas enggan melaporkan kasusnya, lantaran ketakutan akan pelabelan buruk terhadap dirinya.

Pelabelan tersebut berujung pada tindakan yang mendiskriminasi penyintas.

Hingga sejumlah ujaran menyudutkan seakan-akan menyalahkan penyintas sendiri, atas kekerasan seksual yang menimpanya.

“Timbulnya ketakutan atas melekatnya stigma-stigma tersebut. Sehingga, tumbuh rasa enggan untuk melapor, menindaklanjuti, atau mencari pertolongan atas perilaku kekerasan seksual yang korban alami,” tulisnya.

Dalam kasus tersebut, F berusaha mendapatkan keadilan.

Untuk sampai di titik agenda pembacaan tuntutan dalam kasusnya, bukanlah hal yang mudah bagi F.

Baca juga: PN Kendari Beri Jadwal Sidang Dadakan, Keluarga Korban Kasus Prof B: Seperti Main Kucing-kucingan

F mengaku selama persidangan di awal-awal, ia kerap mendapatkan pertanyaan yang bernada menyudutkan.

Lily Karliani, salah seorang aktivis perempuan yang bergelut di Aliansi Perempuan (Alpen) Sulawesi Tenggara.

Sempat menyaksikan F, secara langsung saat mengikuti persidangan.

Lily mengatakan F sempat ingin mengakhiri persidangan, lantaran tidak mampu lagi menghadapi sekumpulan pertanyaan yang menyudutkan dirinya.

“Saya lihat betul korban menangis sejadi-jadinya setelah mengikuti persidangan. Dia bilang saya mau berhenti sidang, saya merasa sendiri di dalam persidangan. Tidak ada yang membela saya."

"Semua pertanyaan menyudutkan,” ungkapnya saat ditemui usai melaksanakan aksi diam dalam rangka menekan JPU untuk profesional dalam memberi tuntutan dalam kasus tersebut.

Relasi Kuasa

Dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Prof B menambah daftar panjang catatan kekerasan seksual yang pernah terjadi di lingkup pendidikan tinggi.

Sebagai tempat yang diharapkan sebagai ruang aman dari segala tindakan tersebut, mengapa kasus kekerasan seksual masih kerap terjadi sepanjang tahunnya.

Hal ini juga yang memicu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) merumuskan regulasi terkait penanganan yang tertuang dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021.

Dalam wawancara singkat yang dilakukan kepada Lily, kasus kekerasan seksual yang dilakukan Prof B mengindikasikan adanya fenomena relasi kuasa yang terbangun.

Kasus tersebut secara implisit mengindikasikan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang.

Hal itu terjadi antara mahasiswa dan dosen.

Lily mengungkapkan bahwa F diminta untuk datang ke rumah singgah Prof B dalam rangka mengumpulkan tugas kuliah.

Prof B sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dapat dengan mudah mengarahkan F sesuai keinginannya.

Baca juga: Kasus Prof B di Kendari Belum Usai, Ada Apa Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan?

“Dalam relasi kuasa itu ada power. Dosen yang notabene lebih tinggi dari mahasiswa dapat melakukan apa saja menggunakan power itu,” jelasnya.

Saat Prof B berhasil mengarahkan F ke rumah singgahnya tersebut, ia memanfaatkan kekuasaannya untuk memenuhi hasrat seksualnya.

Di lain kesempatan Lily juga menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Prof B sejatinya bukanlah sebuah kelainan atau penyakit.

Sebab, hal itu apabila dikatakan penyakit maka akan timbul kewajaran terkait tindakan yang dilakukannya.

Hal itu senada dengan diskursus yang dibangun Michel Foucault melalui jurnal yang ditulis oleh Sumintak dan Abdullah 2022 lalu.

Jauh-jauh hari Michel Foucault memberikan diskursus ketika kekuasaan dan hasrat seksual menyatu, maka akan menjadi kehancuran dalam dunia pendidikan.

Dengan adanya fenomena elaborasi antara kekuasaan dan hasrat seksual, maka kasus-kasus serupa seperti apa yang dilakukan Prof B akan terus terjadi dan menambah daftar panjang catatan kekerasan seksual di lingkup pendidikan tinggi. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved