Berita Sulawesi Tenggara
Meski Ditolak Gubernur Sultra, Sulsel, Sulteng, Menteri ESDM Beri Sinyal Perpanjangan Izin PT Vale
Meski ditolak Gubernur Sultra, Gubernur Sulsel, dan Gubernur Sulteng, Menteri ESDM beri sinyal perpanjangan kontrak PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Penulis: Sitti Nurmalasari | Editor: Aqsa
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Meski ditolak Gubernur Sultra, Gubernur Sulsel, dan Gubernur Sulteng, Menteri ESDM beri sinyal perpanjangan kontrak PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Kontrak pertambangan perusahan tambang dan pengolahan nikel terintegrasi tersebut akan berakhir pada Desember 2025 mendatang.
Tiga gubernur yang berada di wilayah tambang PT Vale Indonesia sebelumnya menyatakan penolakan perpanjangan izin kontrak itu.
Mereka adalah Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Andi Sudirman Sulaiman, dan Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Rusdi Mastura.
Perkembangan terbaru, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memberi sinyal positif terkait perpanjangan kontrak PT Vale Indonesia tersebut.
Meski demikian, Arifin menegaskan perpanjangan izin pertambangan milik INCO tersebut akan disertakan dengan kewajiban perusahaan untuk membangun smelter.
Diberitakan TribunnewsSultra.com sebelumnya, PT Vale Indonesia memulai pembangunan pabrik smelter nikel di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sultra.
Baca juga: Pabrik Smelter Nikel di Pomalaa Sultra Mulai Dibangun, PT Vale Bakal Serap 12 Ribu Tenaga Kerja
Ground breaking pembangunan smeltel tersebut dipimpin Menteri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi atau Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan pada Minggu (27/11/2022) lalu.
Gubernur Sultra Ali Mazi juga hadir dalam prosesi dimulainya pembangunan smelter High-Pressure Acid Leaching (HPAL) tersebut.
“Kami meminta agar proyek ini menyeimbangkan operasi komersial dengan keberlanjutan, kita semua harus membantu jangan mempersulit,” kata Luhut dalam kesempatan itu.
Terbaru, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan perpanjangan kontrak pertambangan milik PT Vale Indonesia tersebut memang perlu diberikan.
“Kalau Vale gak ada masalah, diperpanjang. Kalau gak diperpanjang, mau diapain,” jelasnya di Kementerian ESDM, Jakarta.
“Tidak ada masalah, harus bangun smelter,” jelasnya menambahkan, Jumat (2/12/2022), dikutip TribunnewsSultra.com dari KONTAN.
Merujuk data Minerba One Data Indonesia (MODI), PT Vale Indonesia memegang izin Kontrak Karya untuk luasan lahan 118.017 hektare (ha).
Kontrak karya tersebut berlaku sejak 29 Desember 1995 dan akan habis pada 27 Desember 2025 mendatang.
Penolakan 3 Gubernur
Tiga Gubernur dari wilayah Sulawesi menyatakan sikap sepakat tidak memperpanjang izin kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk.
Hal tersebut terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM RI dan RDPU oleh Panja Vale Komisi VII di Ruang Rapat Komisi VII DPR RI, Jakarta.
Pernyataan tersebut disampaikan Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, Gubernur Sultra Ali Mazi, dan Gubernur Sulteng Rusdy Mastura kepada Rencana Kerja (Renja) PT Vale Indonesia Tbk Komisi VII DPR RI.
Para Gubernur meminta, konsesi lahan Vale dikembalikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing.
Ali Mazi meminta agar tidak memberikan izin perpanjangan kontrak karya PT Vale Indonesia.
Baca juga: Pabrik Nikel Segera Dibangun di Buton Utara, PT ATN Indonesia Mineral Bakal Serap 1.000 Tenaga Kerja
“Konsesinya bisa diberikan kepada perusahaan daerah jadi ini sudah tidak panjang. Sehingga (masyarakat) menikmati hasil kekayaan kita yang diberikan dari Allah,” katanya pada Sabtu (10/9/2022) dikutip TribunnewsSultra.com dari Kompas.com mengutip dari Antara.
Sedangkan Andi Sudirman, mengaku, keberadaan PT Vale masih minim kontribusinya di provinsi yang dipimpinnya, termasuk dalam lingkungan hidup, pendapatan daerah, dan lainnya.
“Yang dilakukan PT Vale kurang optimal dalam memberikan kontribusi 1,98 persen pendapatan ke Pemprov,” jelasnya.
“Sehingga kami memandang tidak ada opsi untuk perpanjangan kontrak karya bagi mereka,” ujarnya menambahkan,
Jika konsesi lahan Vale dapat dikelola oleh BUMD, kata dia, maka akan siap mengontrol untuk kesejahteraan masyarakat.
“Kami mempertahankan ini bukan karena kami Gubernur. Atau punya kepentingan, tidak, tetapi ini bisa dikontrol oleh seluruh rakyat,” katanya.
Menurutnya, Provinsi Sulsel memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat langsung.

“Kita tidak boleh menjadi penonton di wilayah sendiri, kita harus berdaulat di wilayah sendiri, bagaimana memperjuangkan hak-hak masyarakat,” jelasnya.
Sama halnya disampaikan Rusdy Mastura yang juga mengusulkan hal tersebut.
Pembangunan Smelter di Kolaka
PT Vale Indonesia memulai pembangunan pabrik smelter nikel High-Pressure Acid Leaching atau HPAL di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pabrik smelter Blok Pomalaa yang menelan investasi mencapai 4,5 miliar dolar AS atau setara Rp 70,65 triliun (kurs Rp 15.700) itu ditargetkan rampung dan mulai beroperasi pada 2025 mendatang.
Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, pada Minggu (27/11/2022), mengapresiasi proyek yang merupakan kerja sama dua perusahaan global yang telah berinvestasi di Indonesia sebelumnya.
Kedua perusahaan yang bekerja sama tersebut adalah PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dengan Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited (Huayou) melalui Kolaka Nikel Indonesia (KNI).
Baca juga: OPINI: Nikel Sultra Terhadap “Kesejahteraan” Ekonomi
Menurut Luhut, langkah tersebut menunjukkan komitmen dan dukungan yang kuat terhadap hilirisasi nikel yang digalakkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
Luhut juga menyebut produksi HPAL di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia.
Untuk itu, dia meminta dukungan semua pihak untuk membantu mengembangkan potensi tersebut.
“Halmahera 20 ribu sudah ekspor, Morowali 30 ribu, di sini (Pomalaa) 120 ribu ton. Jadi kita terbesar di seluruh dunia, kita semua harus membantu jangan mempersulit,” katanya.
Gubernur Sultra, Ali Mazi, mendukung kehadiran Blok Pomalaa guna meningkatkan kontribusi sektor pertambangan mendorong pendapatan asli daerah (PAD) dan hirilisasi sesuai dengan visi pemerintah.
“Apalagi di Pomalaa menggunakan teknologi HPAL yang dapat menghasilkan bahan baku baterai untuk kendaraan listrik, ini luar biasa, akan dipakai di seluruh dunia, tidak hanya Indonesia,” jelasnya.
Ia berharap kehadiran pabrik smelter nikel tersebut kelak dapat memberi kesejahteraan untuk masyarakat Kolaka dan meningkatkan perekonomian di Sulawesi Tenggara pada umumnya.
Baca juga: Karyawan Perusahaan Tambang Nikel di Kolaka Utara Sultra Usir Penambang Diduga Ilegal di Sulaho
President Direktor/CEO PT Vale Indonesia, Febriany Eddy, menyebut kehadiran Blok Pomalaa tersebut bentuk komitmen Vale berkontribusi dalam masa depan ekosistem elektrifikasi di Indonesia.
Selain itu, memperkuat komitmen berkontribusi dalam proses energi transisi di Indonesia untuk mencapai net zero emission di Indonesia.
“Jadi proyek ini sudah masuk dalam projek strategis nasional dengan nilai investasi mencapai Rp67,5 triliun (US45 miliar),” ujarnya.
Vale berperan memasok biji nikel dari tambang, sedangkan Huayou memastikan pengolahan di smelter nikel berbasis HPAL.
Proyek yang dikembangkan di Pomalaa tersebut untuk memproses bijih nikel limonit menggunakan teknologi HPAL dari Hoayou.
“Seperti yang sudah kami terapkan secara konsisten di Luwu Timur, tidak lagi menggunakan batu bara,” katanya.
Smelter nantinya menghasilkan produk yang dapat diolah menjadi bahan utama baterai mobil listrik berupa Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).
Dengan output produksi diperkirakan 120.000 metrik ton nikel dan sekitar 15.000 ton kobalt yang terkandung dalam produk MHP.(*)
(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriyani, kontan.co.id/Filemon Agung)