UE dan AS Termasuk, Para Ahli Ungkap Negara Mana yang Diuntungkan dari Perang Rusia-Ukraina
Para ahli menyebut Amerika Serikat dan sekutunya di Uni Eropa sengaja memperpanjang konflik Rusia-Ukraina dengan tujuan mempercepat perubahan rezim.
Penulis: Nina Yuniar | Editor: Ifa Nabila
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Sejumlah pihak diketahui terlibat dalam perang antara Rusia dengan Ukraina.
Ketelibatan tersebut pun diwujudkan dalam bentuk pemberian sanksi, pengiriman senjata, hingga penampungan warga sipil yang mengungsi.
Adapun pihak yang terlibat yakni seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Dilansir TribunnewsSultra.com dari Sputnik, sanksi terhadap Rusia dan pasokan senjata ke Kiev tidak akan menyelesaikan konflik saat ini.
Sementara jaminan netralitas Ukraina akan menjadi solusi yang masuk akal.
Baca juga: Sederet Fakta Hari ke-20 Invasi Rusia di Ukraina: China Bantu Rusia, Joe Biden Akan Gerilya di Eropa
Hal itu disampaikan oleh Anggota Bundestag untuk Kaum Kiri, Sahra Wagenknecht dalam wawancara terakhirnya dengan Die Welt, Senin (14/3/2022).
Ketika ditanya terkait apakah Jerman mampu menjadi perantara perdamaian Moskow-Kiev, Analis Hubungan Internasional dan Urusan Rusia, Gilbert Doctorow menjawab bahwa Berlin lebih berpihak kepada Amerika Serikat.
"Pemerintah Jerman di bawah Kanselir Scholz lebih tunduk pada Washington daripada pemerintah Merkel," sebut Doctorow.
Doctorow menyebut pemerintahan AS akan memperpanjang konflik bersenjata Rusia-Ukraina agar dampak anjloknya ekonomi Moskow mampu mempercepat perubahan rezim.
"Sebagai pengikut AS, Jerman menari mengikuti melodi yang datang dari Washington yang akan memperpanjang perang Ukraina-Rusia selama mungkin untuk menimbulkan kerusakan ekonomi dan politik maksimum di Rusia dengan harapan mempercepat perubahan rezim." beber Doctorow.
Baca juga: Indonesia Desak Rusia dan Ukraina Gencatan Senjata, Prabowo: Segera Mulai Dialog Perdamaian
"Kepentingan dan kesejahteraan rakyat Ukraina tidak berarti apa-apa. Bagi Jerman dan juga Amerika Serikat, semua simpati kepada para pengungsi yang menderita dari Ukraina adalah Hubungan Masyarakat. Kenyataannya, bagi Scholz, Ukraina hanyalah umpan meriam." imbuhnya.
Sedangakan, Wagenknecht mengatakan bahwa Rusia telah lama memperingatkan Barat agar tidak menyediakan senjata ofensif kepada Ukraina dan mengintegrasikan negara itu ke dalam NATO.
Namun, diketahui bahwa ribuan pasukan tentara AS kini telah berada di Ukraina.
"Bagaimanapun, 2.000 tentara AS sudah berada di Ukraina, dan manuver NATO sedang berlangsung di wilayahnya," ucap Wagenknecht.
Wagenknecht mencatat bahwa senjata yang dikirim oleh negara-negara anggota NATO kepada kepemimpinan Ukraina dapat 'memperpanjang perang'.
Baca juga: Kemhan Inggris Sebut Rusia Berencana Gunakan Senjata Biologis untuk Serang Ukraina
Tetapi disebutkan Wagenknecht bahwa hal itu tidak akan membuat Ukraina memenangkannya.
Lebih lanjut, Wagenknecht menuturkan bahwa janji keanggotaan NATO juga tidak membantu Ukraina.
Meski begitu, menurut anggota parlemen AfD, parlemen negara bagian Rhine-Westphalia Utara, Dr. Christian Blex sangat tidak mungkin bagi Jerman untuk dapat menghentikan persenjataan Berlin di Ukraina.
Apakah Barat Semakin Mendekati Partisipasi dalam Konflik Rusia-Ukraina?
Berbicara kepada Die Welt, Sahra Wagenknecht memperingatkan keterlibatan NATO dalam konflik Ukraina.
Baca juga: Khawatir soal Kabar Pasukan NATO Kena Rudal Rusia di Ukraina, Inggris Larang Warganya Ikut Perang
Wagenknecht pun menekankan bahwa konflik Rusia-Ukraina itu akan berakhir di Eropa menjadi 'medan perang nuklir'.
Negara-negara Eropa dan AS sebelumnya menegaskan bahwa tidak akan ada sepatu bot NATO di darat atau zona larangan terbang di atas Ukraina karena itu akan meningkatkan ketegangan dengan Rusia.
Politisi Prancis Marine Le Pen, Presiden Reli Nasional, mengatakan bahwa pasokan senjata ke Kiev oleh Barat hampir berpartisipasi dalam konflik yang sedang berlangsung di Ukraina.
"Dengan mengirimkan senjata ke Ukraina dan menyemangati militer Ukraina, Uni Eropa secara sadar memperpanjang penderitaan bangsa itu demi merusak Rusia," kata Doctorow, seraya menambahkan bahwa Le Pen telah menyelesaikannya.
Namun, tampaknya serangan rudal Rusia pada Minggu (13/3/2022) ke pelatihan dan pangkalan logistik Yavorov dekat Polandia telah mengirim pesan yang kuat ke Barat, menurut Doctorow.
Baca juga: Rentetan Peristiwa yang Perlu Diketahui pada Hari Ke-20 Perang Rusia Vs Ukraina
Pangkalan Yavorov sendiri merupakan pusat pelatihan NATO yang digunakan oleh tentara bayaran asing yang tiba di Ukraina.
Sejak awal operasi Rusia, Kementerian Pertahanan Pertahanan (MoD), telah memperingatkan bahwa tentara bayaran asing akan diperlakukan sebagai penjahat, bukan tawanan perang.
Sementara pengiriman senjata dari Barat ke Ukraina akan dianggap sebagai target yang sah.
Mengutip militer Ukraina, BuzzFeed telah melaporkan bahwa sebanyak 1.000 pejuang asing sedang berlatih di pangkalan tersebut pada saat serangan rudal Rusia terjadi.
Baca juga: Ukraina Sebut Perang Dapat Berakhir Awal Mei 2022 saat Sumber Daya Militer Rusia Habis
Uni Eropa Bermain di Tangan AS dengan Biaya Sendiri
Menurut Dr. Christian Blex, UE tampaknya tidak mau mengurangi eskalasi.
"Negara-negara anggota UE telah mengekspresikan diri mereka dengan jelas dan seragam di sini," sebut Blex.
"Selalu ada tuntutan baru untuk sanksi terhadap Rusia." lanjutnya.
Pada Jumat (11/3/2022) UE merinci beberapa sanksi baru yang akan dijatuhkan pada Rusia dalam beberapa hari mendatang, menurut Wall Street Journal.
Baca juga: Cina Putuskan untuk Beri Bantuan Ekonomi ke Rusia selama Perang di Ukraina, Amerika Serikat Panik
Secara khusus, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengumumkan bahwa selain mencabut manfaat Rusia sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan tindakan baru terhadap elit Rusia yang dekat dengan Kremlin, UE akan melarang ekspor barang mewah ke Rusia.
Pada Senin (14/3/2022) disebutkan bahwa negara-negara UE akan mengadopsi sanksi baru terhadap perusahaan minyak utama Rusia Rosneft, Transneft dan Gazprom Neft.
Tetapi UE akan terus membeli minyak dari mereka.
Menurut pengamat, sanksi Barat terhadap Rusia telah menjadi bumerang di Amerika Utara dan Eropa Barat karena melambungnya harga minyak dan gas.
Sehingga mempercepat melonjaknya inflasi dan mengacaukan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Baca juga: Pasukan Rusia Disebut Malu saat Perang, Zelenskyy Desak Tentara Putin Menyerah kepada Ukraina
Dalam melakukan ini, UE disebut bermain di tangan Washington dengan mengorbankan kepentingan nasional negara-negara anggota blok, bantah Blex.
"Untuk Amerika Serikat, perhatian utama di sini mungkin adalah mempertahankan supremasi globalnya," kata politisi Jerman itu.
“AS dan juga NATO tidak pernah benar-benar memperhatikan kepentingan keamanan Rusia dalam beberapa tahun terakhir." sambung Blex.
"Sebaliknya, AS terus memperluas pengaruh militernya ke arah timur. Arsitektur keamanan Eropa yang sama dengan Rusia tidak pernah menjadi tujuan. Kebijakan AS - UE, di sisi lain, tidak memiliki tujuan yang jelas sendiri." imbunya.
Blex pun menyebut bahwa AS menjadi pihak yang diuntungkan dari perpecahan yang terjadi Eropa.
Baca juga: Rudal Rusia ke Ukraina Diduga Kena Pasukan NATO, Inggris Khawatir Prajuritnya Tewas Terbunuh
"Di sisi lain, AS mendapat manfaat dari perpecahan di Eropa dan ketergantungan yang meningkat dari negara-negara UE pada mereka." ucap Blex.
Adapun Doctorow meniliai bahwa aspirasi NATO dan Uni Eropa terhadap Ukraina, tidak dapat ditindaklanjuti dari awal.
"Itu tidak lain hanyalah propaganda yang bertujuan menyebarkan pemikiran delusi di rezim Kiev bahwa mereka dapat menghadapi Rusia sesuka hati dan mengharapkan dukungan militer Barat." papar Doctorow.
“Janji-janji ini dan kenyataan instalasi dan personel NATO yang didirikan di Ukraina adalah penyebab mendasar yang memotivasi Kremlin untuk bertindak secara militer untuk mengakhiri ancaman eksistensial yang muncul di perbatasan barat dayanya,” sambung Doctorow menyimpulkan.
(TribunnewsSultra.com/Nina Yuniar)