Jaringan Masyarakat Sipil Minta DPR RI Segera Tuntaskan Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Baleg DPR RI telah empat kali menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan telah membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU PKS.
Penulis: Amelda Devi Indriyani | Editor: Laode Ari
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI terus bekerja keras mewujudkan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada prolegnas 2021.
Baleg DPR RI telah empat kali menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan telah membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU PKS.
Meskipun saat ini Indonesia sedang mengalami gelombang tinggi Covid-19, terakhir Baleg DPR RI menyelenggarakan RDPU selama dua hari berturut-turut, pada 12 dan 13 Juli 2021.
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS mengapresiasi kerja Baleg DPR RI tersebut.
Pasalnya Panja menghadirkan kelompok yang potensial melakukan penolakan maupun yang mendukung RUU PKS.
Baca juga: 700 Calon Peserta Didik SMA di Sulawesi Tenggara Tak Lolos PPDB 2021, DPRD: Semua Anak Wajib Sekolah
Baca juga: Berikut 7 Rekomendasi DPRD Terkait Pertanggungjawaban APBD 2020 Pemprov Sulawesi Tenggara
Termasuk mengundang perwakilan Jaringan Masyarakat Sipil dan Praktisi dari Psikolog P2TP2A Jakarta, Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Cendekiawan Muslimah Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta, Pakar Hukum Universitas Gajah Mada dan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sebagaimana dalam RDPU, Psikolog UPT P2TP2A DKI Jakarta, Vitria Lazarini menyampaikan fakta lapangan, jika kekerasan seksual semakain tinggi dialami oleh anak perempuan, khususnya
dimasa Pandemi Covid-19.
"Kekerasan Seksual (KS) dilakukan dengan mengunakan modus bujuk rayu, relasi kuasa, tipu daya, gank rape. Proses hukum kasus KS juga sulit dibuktikan dan berdampak psikologis bagi korban," kata Vitria dalam siaran pers 17 Juli 2021, yang diterima TribunnewsSultra.com, Minggu (18/7/2021).
Bentuk-bentuk kasus, antara lain disebutkan kekerasan seksual yang diakukan dalam hubungan keluarga (incest), pelecehan seksual di lingkungan kerja, perkosaan berkelompok, pemanfaatan relasi pertemanan, dan pemanfaatan teknologi digital.
Menurutnya proses penegakan hukum masih tidak ramah, menimbulkan kekerasan berulang dan berlapis.
Hal ini mengakibatkan korban mengalami penderitaan seumur hidup.
Pengalaman Lembaga Layanan dalam mendampingi korban, menemukan 9 bentuk KS masih belum diadaptasi dalam bangunan hukum yang dimiliki saat ini dan belum mempertimbangkan hak-hak korban
secara komprehensif.
Apalagi kasus KS bukan hanya dialami perempuan dan anak, tapi juga disabilitas dan lansia.
Minimnya infrastruktur dan akses masyarakat terhadap layanan pemulihan
mengakibatkan hak korban terabaikan.
Dalam RDPU, kedua ahli hukum juga menyatakan jika Indonesia membutuhkan undang-undang tindak pidana khusus KS.
Beberapa Negara di ASIA juga telah memiliki undang-undang khusus
tentang KS.
Baca juga: Rangkuman Fakta Kasus Dugaan Penganiayaan Anak di Bawah Umur oleh Anggota DPRD dan Kepala Desa
Di sisi lain pada saat RDPU diketahui jika Baleg secara resmi belum mengeluarkan draft
Naskah Akademik maupun RUU PKS, meski sebagian anggota dan narasumber memperoleh draft awal sebagai rujukan pembahasan.
Oleh karena itu diperlukan upaya mensegerakan penuntasan draft naskah akademik dan RUU PKS.
Inilah yang melatari Jaringan Masyarakat Sipil konsisten mengadvokasi RUU PKS.
Perjuangan untuk menghadirkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah amanat Pancasila dan UUD 1945.
Juga Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah menjadi hukum Indonesia dengan UU nomor 7 tahun 1984.
Untuk itu kami mendorong Panja RUU PKS di Baleg DPR RI melihat draft Jaringan Masyarakat SIpil yang memiliki 6 pokok pikiran.
Pertama, disempurnakannya definisi Kekerasan Seksual, yang melahirkan 9 bentuk kekerasan seksual, sebagai upaya menyempurnakan kelemahan-kelemahan terkait jenis kekerasan seksual yang ada
dalam KUHP dan Undang-undang lainnya.
Kedua, pengaturan tentang penanganan kasus meliputi proses pengaduan dan pelaporan, penyidikan, penuntutan dan peradilan menjadi acuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang menjadi tindak pidana khusus.
Ketiga, mengatur pemidanaan dengan model double track system yakni hukuman pidana dan tindakan.
Keempat, pemulihan korban, keluarga korban dan saksi.
Kelima, menegaskan kewajiban negara akan pencegahan melalui berbagai sektor antara lain infrastuktur, tata ruang dan edukasi publik.
Terakhir, mengatur mekanisme koordinasi dan pengawasan oleh/dan lintas kementerian lembaga
terkait.
Baca juga: Hari Kartini, Kapolsek Baruga Sosialisasi Penghapusan Kekerasan Perempuan dan Anak di Watubangga
Sebagai bentuk dukungan terhadap DPR RI, Jaringan Masyarakat Sipil :
1.Meminta dengan sangat kepada Pimpinan dan anggota Baleg DPR RI untuk segera
pembahasan dan pengesahan RUU PKS, dengan mempertimbangkan draft usulan dari Jaringan Masyarakat Sipil dan KOMNAS Perempuan sebagai rujukan substansi.
2. Mengusulkan kepada Baleg DPR RI untuk membuka kesempatan RDPU kepada pendamping korban, aparat penegak hukum yang selama ini juga menghadapi secara langsung, guna mendapat masukan faktual terkait kompleksitas penanganan korban kekerasan seksual jika tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
3. Meminta Baleg (DPR RI) untuk tetap menerapkan prinsip transparansi, akuntable dan partisipatif dalam setiap tahapan pembahasan RUU PKS sebagaimana dijamin dalam UU NO 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundangan.
4. Mengimbau kepada berbagai elemen masyarakat seperti jaringan akademisi, ahli hukum, pengacara dan pihak terlibat lain untuk terus memperkuat sinergitas dalam mengawal proses pembahasan RUU PKS di DPR RI juga melakukan dialog-dialog terbuka untuk mendukung perjuangan RUU PKS menjadi kebijakan substantif.
5. Meminta pemerintah, antara lain Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPPA), Kementrian Hukum dan HAM dan KSP untuk pro aktif bersama-sama Baleg merumuskan draft NA dan RUU sehingga memperpendek waktu proses harmonisasi. (*)
(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriyani)