OPINI

OPINI: Dari Kematian Affan hingga Spiral Kekerasan

Bagaimana sebuah tragedi individual bisa berubah menjadi kekerasan massal lintas daerah.

Istimewa
DOSEN FISIP UM KENDARI - Andi Awaluddin Maruf, Pemerhati Demokrasi dan Politik Lokal sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Kendari. Penuis opini berjudul Dari Kematian Affan hingga Spiral Kekerasan. 

Oleh: Andi Awaluddin Maruf 

Pemerhati Demokrasi dan Politik Lokal, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Kendari

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Kematian Affan Kurniawan sang pejuang keluarga pengemudi ojek daring yang terlindas mobil polisi saat demonstrasi telah memicu gelombang aksi spontan di berbagai wilayah Indonesia.

Yang paling mengejutkan adalah pembakaran gedung DPRD Makassar yang menimbulkan korban jiwa.

Bagaimana sebuah tragedi individual bisa berubah menjadi kekerasan massal lintas daerah.

Ketika Empati Menjadi Barang Langka

Yang memperparah situasi adalah respons berapa elit politik yang dinilai tidak berempati terhadap gerakan aksi dari pernyataan-pernyataan yang terkesan meremehkan Rakyat kecil ini menjadi katalis kemarahan publik yang sudah lama mengendap.

Dalam teori sosiologi, fenomena ini disebut "efek penularan" (contagion effect).

Baca juga: Video Detik-detik Kebakaran di Gedung DPRD Makassar saat Wakil Rakyat Bahas APBD, Massa Memanas

Gustave Le Bon menjelaskan dalam kerumunan, emosi menyebar dengan cepat seperti virus.

Era digital mempercepat proses ini, video kematian dan pernyataan kontroversial DPR tersebar dalam hitungan menit, menciptakan narasi tunggal, elite tidak peduli rakyat kecil .

Bagi jutaan pekerja informal Indonesia, kematian pengemudi ojol bukan sekadar kecelakaan.

Ini adalah simbol dari rapuhnya perlindungan negara terhadap warga yang paling rentan.

Ketika wakil rakyat merespons dengan sikap tidak berempati, jarak antara elite dan rakyat semakin menganga.

Makassar dan Eskalasi yang Tak Terkendali

Pembakaran gedung DPRD Makassar dan diberbagai daerah lainnya menunjukkan transformasi berbahaya dari protes simbolis menjadi kekerasan kolektif (collective violence).

Massa tidak memilih target sembarangan, sasaran DPRD dipilih karena merupakan simbol kekuasaan legislatif yang dianggap telah mengabaikan aspirasi rakyat.

Baca juga: Tunjangan DPR Diduga Jadi Cikal Bakal Kemarahan Publik Berujung Demo hingga Kematian Ojol Affan

Di antara wilayah lainnya Kota Makassar memiliki sejarah panjang sebagai barometer politik nasional.

Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga reformasi 1998, kota ini kerap menjadi episentrum gerakan perlawanan. 

Ketika frustrasi nasional mencapai puncak, "gen perjuangan" yang mengakar di Makassar meledak dalam bentuk aksi destruktif.

Yang tragis, aksi yang bermula dari protes atas kematian seorang rakyat kecil justru melahirkan kematian beberapa orang rakyat kecil lainnya.

Korban jiwa di Makassar juga memiliki keluarga yang ditinggalkan, ada istri yang kehilangan suami, anak yang kehilangan ayah.

Inilah paradoks dari tragedi sosial ini.

Perjuangan untuk keadilan menciptakan ketidakadilan baru.

Baca juga: Mahasiswa Kendari Kenang Randi-Yusuf Saat Protes Kematian Pengemudi Ojol di Polda Sulawesi Tenggara

Luka keluarga korban di Makassar sama nyatanya dengan luka keluarga pengemudi ojol yang tewas.

Spiral yang Sulit Diputus

Teori escalation spiral menjelaskan mengapa tragedi seperti ini sulit dihentikan.

Setiap respons keras menciptakan eskalasi baru,  korban jiwa menimbulkan kemarahan lebih besar, tindakan represif aparat dalam menangani gelombang aksi memperkuat narasi, Penguasa versus Rakyat kecil dan setiap korban baru menjadi legitimasi untuk kekerasan selanjutnya.

Di ruang media sosial juga berperan besar sebagai katalis dalam proses ini.

Algoritma platform digital lebih mengutamakan konten yang memicu emosi tinggi ketimbang informasi yang menenangkan.

Spiral of silence, juga terjadi suara-suara moderat cenderung diam, sementara narasi kekerasan semakin menguat.

Yang berbahaya, dalam kondisi deindividuasi hilangnya identitas individual dalam massa logika kemanusiaan sering kalah dari emosi kolektif.

Orang yang dalam kondisi normal bersikap rasional bisa berubah menjadi destruktif ketika terjebak dalam dinamika kerumunan.

Baca juga: OPINI: Pemuda Merdeka, Sultra Aman, Sejahtera dan Religius

Krisis Legitimasi yang Mendasar

Fenomena ini mencerminkan krisis legitimasi politik yang mendalam.

Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada institusi formal untuk menyalurkan aspirasi, mereka mencari cara lain—bahkan yang destruktif untuk membuat suara mereka didengar.

Survei-survei terkini menunjukkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap DPR dan lembaga politik lainnya.

Ketika wakil rakyat tidak mampu merasakan detak nadi konstituennya, demokrasi kehilangan esensi dasarnya representasi yang bermakna.

Pernyataan tidak berempati dari anggota DPR bukan sekadar kesalahan komunikasi ini adalah simbol jarak emosional yang menganga antara elite politik dan rakyat yang diwakilinya.

Pembelajaran dari Tragedi

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik:

Pertama, responsivitas dan empati bukan lagi pilihan bagi elite politik, melainkan keharusan.

Baca juga: OPINI: Citizen Science Sebagai Cara Lain dalam Mencari Solusi Terkait Isu Lingkungan

Di era digital, setiap pernyataan akan diamplifikasi dan bisa berakibat fatal—tidak hanya bagi karier politik, tetapi bagi nyawa manusia.

Kedua, media sosial memiliki kekuatan ganda: bisa menjadi alat demokratisasi informasi, tetapi juga bisa menjadi mesin polarisasi yang berbahaya.

Literasi media menjadi keterampilan penting agar masyarakat tidak mudah terseret arus manipulasi emosional.

Ketiga, dialog konstruktif harus diprioritaskan.

Ketika saluran komunikasi formal tidak berfungsi, masyarakat akan mencari cara lain yang belum tentu konstruktif untuk menyampaikan aspirasinya.

Tantangan untuk Presiden Prabowo

Di tengah krisis ini, Presiden Prabowo Subianto menghadapi ujian kepemimpinan yang sesungguhnya.

Responsivitas, bukan reaktivitas, yang dibutuhkan saat ini.

Alih-alih membuat pernyataan reaktif atau menuduh ada kepentingan lain yang menunggangi gerakan aksi, Presiden harus menunjukkan kemampuan mendengar keluhan publik yang genuine.

Kemarahan masyarakat atas kematian pengemudi ojol dalam aksi demonstrasi terhadap DPR adalah ekspresi frustrasi yang real terhadap sistem politik yang terasa jauh dari kehidupan rakyat kecil.

Menuduh adanya dalang atau kepentingan politik tertentu justru akan memperburuk krisis legitimasi yang sudah terjadi.

Sejarah menunjukkan pemimpin yang berhasil mengelola krisis sosial adalah mereka yang mampu mendengar dengan empati, bukan yang defensif atau mencari kambing hitam.

Presiden Prabowo, dengan pengalaman politik yang panjang, seharusnya memahami bahwa mendengarkan keluhan publik bukan tanda kelemahan tetapi tanda kepemimpinan yang matang.

Yang dibutuhkan saat ini adalah pengakuan terhadap rasa sakit masyarakat, bukan penyangkalan atau tuduhan.

Rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa merasakan detak nadi mereka, bukan yang sibuk mencari-cari dalang di balik setiap kritik dan tragedi.

Jalan ke Depan, empati sebagai kunci

Kematian pengemudi ojol dan korban-korban di Makassar harus menjadi pengingat bahwa di balik setiap kebijakan politik ada wajah manusia, ada keluarga yang merasakan dampaknya secara langsung.

Politik tanpa kemanusiaan adalah resep bagi tragedi sosial yang berulang.

Pilihan ada di tangan kita semua terutama Presiden Prabowo sebagai pemimpin tertinggi negara.

Saatnya memilih empati daripada ego, mendengar daripada menuduh, kepemimpinan yang responsif daripada reaktif.

Karena pada akhirnya, setiap korban jiwa adalah pengingat.  

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melindungi warganya yang paling rentan, bukan yang mengorbankan mereka demi kepentingan politik sesaat.(*)

(TribunnewsSultra.com)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved