Selain itu, para nelayan yang biasanya menggunakan perahu untuk menangkap ikan kini bisa mencari penghasilan tambahan dengan menyewakan kendaraan lautnya untuk para pengunjung danau.
"Jadi semuanya bisa saling berdampak satu sama lain," tuturnya.
Bagi Nirfan, upaya yang dirinya lakukan bersama dengan keenam rekannya bukan sekedar mencari keuntungan semata.
Namun punya misi membangkitkan kondisi perekonomian serta destinasi wisata di Desa Lohia yang kini perlu dibangkitkan.
"Jujur saja waktu sebelum awal kami bergerak bersama melalui JSO Group ini, kondisi danau jarang disambangi," jelasnya.
Barulah setelah memulai membuka trip dengan konsep yang lebih kekinian dan menambahkan fasilitas paddle board membuat sensasi destinasi wisata di Muna ini lebih menarik hati pengunjung.
Konsep ekonomi kreatif pengelolaan pariwisata yang modern inilah ditawarkan JSO Group untuk mengembangkan destinasi di Desa Lohia, kampung halaman mereka.
Tradisi Menenun Kearifan Lokal di Muna
Sejak zaman kerajaan, tenun sudah menjadi ciri khas Masalili di Kabupaten Muna.
Ini juga bisa menjadi salah satu pilihan untuk menjajal destinasi wisata Muna.
Karena bisa membuat Anda mengetahui lebih jelas tentang kekayaan Kabupaten Muna yang beragam.
Pasalnya, tenun Masalili ini sudah berjaya sejak zaman dulu.
Entah digunakan sebagai sarung ataupun pada era modern ini juga kerap menjadi bahan membuat pakaian.
Meski tak ada kewajiban untuk menenun, namun wanita di desa ini memiliki kemauan dan ketertarikan untuk melakukan tradisi membuat kain tenun ini.
Keahlian inilah menjadi modal utama wanita di sini membantu suaminya mencari nafkah yang bekerja sebagai tukang kayu atau tukang batu.
Baca juga: BI Sultra Bantu Kembangkan Tenun di Sulawesi Tenggara Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Ada Tenun Masalili
Hal ini pula mengangkat potensi wisata Desa Masalili yang dikenal sebagai kampung tenun.
Bagaimana tidak, nyaris 90 persen dari 358 jumlah keluarga di sini memiliki alat tenun yang digunakan para wanita untuk menenun.
Jika dulu menenun adalah hanya sekedar hobi yang dilakukan para wanita di Desa Masalili, namun kini berkembangannya potensi ini justru menjadi ladang cuan.
Hingga tahun 2024, tenun Masalili begitu berkembang dan dikenal di seantero Nusantara.
Terlebih, sosok Presiden ke-7 RI, Joko Widodo saat peringatan hari pers nasional (HPN) 2022 mengenakan tenun khas Masalili ini dengan motif Robu atau bambu muda dengan hiasan bintang karya perajin lokal.
TribunnewsSultra.com, Rabu (13/11/2024) menyambangi Desa Masalili untuk mengenal lebih dekat tradisi turun temurun para wanita ini.
Dari Kota Muna, tim TribunnewsSultra.com membutuhkan waktu sekitar 17 menit menempuh perjalanan 10 kilometer.
Setibanya di Desa Masalili, kami lantas bertemu dengan para perajin tenun yang berdaya secara mandiri ataupun kelompok.
Sitti Hasmia (50) sementara berjibaku dengan alat tenun manual miliknya yang sudah berusia puluhan tahun.
Saat duduk di bangku SMP, ia sudah mahir menyusun benang demi benang untuk dijadikan kain.
Proses tenun dipelajarinya otodidak, karena sering melihat ibunya melakukan aktivitas tenun setiap hari tanpa lelah.
"Saya senang menenun, waktu SMP saya sudah belajar. Saya juga pakai alat tenun warisan ibuku," tuturnya.
Kayu yang dirakit menjadi alat tenun itu, masih setia digunakannya.
Bahkan alat tenun yang dibuat dari kayu jati dan bambu itupun sudah berusia puluhan tahun.
"Masih awet sampai sekarang, ini juga penyangganya (untuk susunan benang) sudah dari saya SMP," jelasnya.
Kini ia sudah menenun hingga ribuan meter kain dari total perjalanannya sebagai seorang penenun dan ibu rumah tangga.
Setiap harinya, ia bisa duduk berjam-jam untuk menenun dengan hasil pekerjaan satu meter kain tenun.
Namun hal tersebut juga tergantung kerumitan motif yang dibuatnya.
Sitti akan membuat kain tenun sesuai dengan pesanan pelanggannya.
Harganya bervariatif mulai dari Rp 350 ribu hingga Rp 1 jutaan.
Dari penghasilannya menenun, ia bisa membantu sang suami yang bekerja sebagai buruh harian.
"Lumayan juga walaupun tidak menentu pesanan pelanggan. Tapi biasanya itu bisa saya dapat 10 pesanan kain tenun dalam beberapa bulan," tuturnya.
Sementara itu, adapula kelompok perajin tenun yang diberdayakan oleh Ani (38) seorang pengusaha dan ibu rumah tangga di Desa Masalili.
Saat kami sambangi, Ani sedang memantau para penenun yang sedang bekerja.
Pada dasarnya, Ani bukanlah warga asli desa tersebut. Namun, ia menikah dengan warga setempat sehingga kini tinggal di Desa Masalili.
Ia memiliki toko kain tenun khas Masalili dengan nama Zafran Tenun.
Awalnya, Ani pun tidak tahu bagaimana cara menenun. Tekadnya muncul saat menjadi istri dari pria asli Masalili.
Di mana, para wanita di kampung tersebut memiliki keahlian menenun.
Pada tahun 2018, Ani terdorong keingintahuan belajar menenun sampai mahir.
Ani membaca peluang ekonomi yang dapat dikembangkan dari keahlian menenun para wanita.
Ia pun menggaet sejumlah penenun lokal di Desa Masalili, yang seluruhnya adalah wanita mulai dari 8 hingga 15 orang.
Meski sebagai owner, namun Ani tidak pernah menargetkan ataupun membebani para pekerjanya.
"Jadi yah, semua dari kemampuan para penenun saja. Mereka bisa berapa meter, itu yang nantinya dihasilkan atau diupah," pungkasnya. (*)
(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)