Berita Konawe Utara

Menerka Masa Depan Warga Desa Boedingi Kampung Suku Bajo Kala Dikepung Tambang Nikel

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jalur inti kedatangan di Desa Boedingi, Lasolo Kepulauan, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Biasanya para pendatang akan melewati jalan terbuat dari kayu yang dibuat warga untuk akses ke area pertambangan.

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KONUT- Berikut ini menerka masa depan warga Desa Boedingi, yang mayoritas adalah Suku Bajo, kala dikepung tambang nikel. 

"Kalau misalnya perusahaan tambang nikel sudah berhenti mengeruk? Kalian akan kemana," tanya Jurnalis TribunnewsSultra.com pada warga beberapa waktu lalu kala bertandang ke Desa Boedingi, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara di akhir Februari 2023.

Kepala Dusun II, Januda yang juga penduduk pertama di Desa Boedingi tersenyum sambil menggaruk kepalanya.

Tak ada jawaban pasti atas pertanyaan tersebut. Ia hanya mengungkapkan rasa kebingungannya saat dihadapi dengan bayangan 10 tahun mendatang.

"10 tahun lalu masih bagus Desa Boedingi," jawab warga asli Suku Bajo ini mengenang menatap depan pulau.  

Namun, ia tak bisa membayangkan lagi nasib anak cucunya di masa depan terlebih dengan kondisi Desa Boedingi yang semakin hari terancam dibabat habis.

"Tidak tahu juga itu nanti bagaimana," katanya.

Baca juga: ‘Harta Karun’ yang Hilang di Desa Boedingi, Kampung Suku Bajo Sulawesi Tenggara Sejak Tahun 2009

Sama halnya dengan Kepala Desa Boedingi, Aksar yang juga nampaknya kebingugan untuk membayangkan masa depan anak cucunya.

"Iye mungkin bukan kami yang rasakan, tapi anak dan cucu kami nanti," kata pria lulusan SMA ini.

Bahkan diungkapkannya, semua warga hanya memiliki satu tempat tinggal saja yakni di Desa Boedingi.

”Semoga laku ginjalku nanti,” celetukan Kepala Dusun I Desa Boedingi, Jamal.

Saat ikan melimpah, air laut segar membentang, para warga penduduk asli Desa Boedingi yang merupakan Suku Bajo masih menjadi nelayan.

Kehidupan mereka kala itu masih melekat erat dengan kebiasaan leluhur zaman dulu, melaut atau menjadi nelayan.

Namun, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, warga setempat sudah tidak lagi melakukan hal-hal tersebut untuk berburu mata pencaharian, membuat jaring hingga bubu.

Menelisik jauh jejak Suku Bajo di Desa Boedingi, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, 10 tahun lalu. Desa yang terletak jauh 62,7 kilometer dari ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari.

Hanya dapat diakses dengan mudah menggunakan perahu atau kapal laut jika beranjak dari Kota Kendari.

Perjalanan akan ditempuh kurang lebih tiga hingga empat jam lamanya sampai akhirnya tiba di Desa Boedingi.

Kisah La Mamma (55) warga pertama Desa Boedingi yang dulunya nelayan kini terpaksa menganggur.

Kegiatan melaut bukan lagi aktivitas kesehariannya. Diusianya yang sudah tak muda lagi, ia menjadi pengangguran dan hanya semata-mata  bergantung pada keuntungan hasil tambang nikel yang terjual oleh perusahaan.

“Ya kadang ada kadang juga tidak,” tuturnya tersenyum kepada Jurnalis TribunnewsSultra.com.

Cucu La Mamma yang ada di Kota Kendari melanjutkan pendidikan ternyata masih menjadi tanggungannya. Walaupun ketiga anaknya sudah menikah, La Mamma turut andil, dalam keberlangsungan hidup sang cucu tercinta. Tentunya dari hasil royalti yang didapatkannya.

Baca juga: Tambang Nikel Serobot Kebun Seorang Ibu di Konawe Utara Sulawesi Tenggara, Harap Bupati Peka

Lantas berapakah hasil royalti itu?

La Mamma pernah mendapatkan uang royalti paling rendah Rp 1,5 juta hingga Rp 4,5 juta dari lima perusahaan tambang yang ada di Desa Boedingi. Tentunya, uang royalti ini tidak didapatkan setiap bulannya. Melainkan, saat hasil nikel sudah terjual hingga 10 tongkang. Tak hanya dirinya, tapi seluruh orang yang tercatat sebagai warga Desa Boedingi pun mendapat komisi dari keuntungan penjualan nikel.

Misalnya saja dari keuntungan tersebut perusahaan akan memberikan Rp 200 juta kepada Pemerintah Desa, yang nantinya didistribusikan pada seluruh kepala keluarga yang  ada di Desa Boedingi. Hanya ketika 10 tongkang laku terjual. Bisa saja, dua bulan sekali, empat bulan sekali, atau  bahkan enam bulan sekali.

Jika para pekerja tambang tidak beroperasi, maka tak akan ada hasil dalam kurun waktu yang lama.

Hal inilah terkadang yang membuat warga kebingungan untuk mencari penghasilan tambahan. Terlebih sebagian besar warga Desa Boedingi kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan.

Saat ditanya apakah dengan hanya mengandalkan biaya royalti itu cukup untuk menopang kehidupannya?

La Mamma menjawab sambil tersenyum.

Sebuah kapal tongkang melewati perairan Teluk Lasolo dengan membawa ribuan ton nikel hasil bumi Desa Boedingi terkena bidikan kamera di akhir Februari 2023. (TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

"Eh tidak," katanya singkat.

Ia akan memanfaatkan penghasilan royalti untuk uang kos bulanan cucunya yang sedang berkuliah.

Selebihnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari lalu ditabung. Istrinya  lah yang akan mengatur seluruh keuangan dari hasil royalti itu.

Sebagai pemegang penuh persoalan dapur, La Mamma kerap berpesan pada sang istri untuk menyisihkan sisa uang yang ada untuk ditabung.

Sesekali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia juga menjadi buruh pasir dengan upah yang tidak seberapa dan tak menentu.

Saat Kehidupan Masyarakat Suku Bajo Berubah

Jurnalis TribunnewsSultra.com saat bertemu dengan Kepala Desa Boedingi, Aksar mengungkapkan bahwa kini wilayah yang dipimpinnya itu memiliki 66 kepala keluarga dari 241 jiwa. Terbagi diantaranya 108 laki-laki dan 133 perempuan. Angka ini disebutkan Aksar meningkat dari tahun ke tahun. Tidak semuanya penduduk asli. Sudah bercampur karena perkawinan.

Baca juga: Profil Perusahaan Smelter Nikel dan Industri Logam Dasar di Sulawesi Tenggara, PT VDNI, OSS, Antam

Menurutnya banyak warga yang memilih bertahan karena hadirnya perusahaan tambang nikel. Bagaimana tidak, warga diberikan kesempatan kerja hingga pembagian hasil penjualan nikel atau royalti. Diakuinya, terjadi perubahan yang cukup signifikan terkait mata pencaharian warga setempat.

Kekayaan Desa Boedingi perlahan dikeruk sampai berton-ton. Lalu dibawa dan dijual. Kapal-kapal tongkang beroperasi setiap harinya, melakukan aktivitas bongkar muat melintasi Teluk Lasolo.

Nyaris dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir saat perusahaan tambang nikel mulai menguasai lahan, pola kehidupan masyarakat Suku Bajo di Desa Boedingi perlahan berubah.

Berawal dari kondisi butiran sedimentasi nikel jatuh di laut lalu menutupi terumbu karang secara bertahap. Sehingga diduga ekosistem laut seperti terumbu karang hingga ikan ikut terdampak.  Warga mulai harus mengeluarkan sejumlah tenaga dan biaya untuk mencari ikan jauh dari desa. Belum lagi, tergiur dengan royalti yang ditawarkan perusahaan membuat sejumlah warga melepaskan pekerjaan melautnya.

Mengonfirmasi soal royalti yang diterima warga, kata Aksar hal tersebut memang kerap dilakukan setelah perusahaan mendapatkan keuntungan penjualan nikel 10 tongkang. Royalti ini menjadi perjanjian yang telah disepakati warga sejak perusahaan tambang beroperasi.

Bahkan royalti itu juga tidak termasuk dengan corporate social responsibility (CSR). Menariknya, Aksar mengungkapkan kerap kebingungan membedakan antara royalty dan CSR yang diterima. Karena proses penerimaan yang tidak menentu dan bertahap.

“Itu sudah keuntungan yang didapatkan warga disini. Menjadi kesepakatan yang tertuang dalam berita acara,” jelasnya.

Seorang anak lelaki Desa Boedingi melihat penjual keliling dari luar pulau yang menunggu datangnya kapal nelayan. (TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Bagi Aksar, hanya warga tidak bersyukur saja yang merasa kurang dengan hasil pendapatan di Desa Boedingi.

"Uang royalti itu kadang banyak didapatkan. Kalau ditabung baik-baik pasti mencukupi untuk kehidupan sehari-hari," jelasnya.

Terlebih perusahaan juga menanggung beras yang didatangkan dari kota, listrik, hingga akses internet. Beberapa warganya yang masih masuk kualifikasi untuk bekerja di perusahaan pertambangan nikel, namun untuk mereka yang sudah berusia di atas 50 tahun dianggap sudah tidak produktif lagi.

Diungkapkan Aksar, nyaris terbilang 70 persen warganya sudah bekerja di petambangan. Sedangkan 30 persen lainnya ada yang bertahan menjadi nelayan, buruh pasir lalu sebagian memilih menganggur.

Diakuinya ketika perusahaan tambang mulai beroperasi pada tahun 2012, terjadi perubahan yang cukup signifikan pada mata pencaharian warganya. Dulunya, Aksar juga merupakan seorang nelayan yang setiap harinya melaut. Sebagai anak Suku Bajo, Aksar begitu lihai menangkap ikan. Mulai dari cara tradisional seperti menjaring, bubu, hinga pukat sudah pernah dilakukannya.

"Semuanya itu sudah saya lakukan, sampai membom ikan juga pernah," tuturnya.

Namun setelah akhirnya ia terpilih menjadi  Kepala Desa terlebih lagi mata pencaharian sebagai nelayan juga tidak seberapa membuatnya untuk berhenti melaut.

Baca juga: Nama Perusahaan Tambang Nikel di Sulawesi Tenggara, Lokasi Pertambangan Konawe Konut Kolaka Bombana

Ia juga lebih fokus untuk mengurusi urusan pemerintahan desa. Begitupula sang istri, yang ditugaskannya untuk menjadi ibu rumah tangga saja.

Para wanita di Desa Boedingi ini sebagian besar bergantung hidup pada peran laki-laki dan juga royalti dari perusahaan pertambangan nikel. Bagi yang memiliki keahlian dalam hal memasak juga membuka warung makan, khususnya untuk para pekerja tambang.

Namun warung makan di Desa Boedingi ini hanya terhitung jari saja. Selain itu, bagi para pekerja tambang nikel yang kepincut dengan gadis desa akan memilih menikah dan menetap di Boedingi.

Itulah sebabnya, diungkapkan Aksar, populasi Desa Boedingi terus bertambah karena adanya perkawinan antara pekerja dengan gadis di wilayah tersebut.

Tercatat Pemerintah Desa Boedingi ada lima perusahaan tambang yang beraktivitas. Mulai dari PT Paramita Persada Tama, PT Bumi Sentosa Jaya, PT Daka Group, PT Rizqi Sinar Biokas, hingga PT Primastian Metal Pratama.

Sebaran potensi nikel di Konawe Utara seluas 82.626,03 hektar dengan cadangan nikel 46.007.440,652 ton, salah satunya di Desa Boedingi. Tentu saja, kesempatan ini tak akan disia-siakan para investor pertambangan yang berbondong-bondong memanfaatkan potensi nikel.

Terlebih, Konawe Utara merupakan daerah yang memiliki wilayah pertambagan nikel terbesar di Sultra.

Saat ini berbagai investor lokal maupun luar, berkesempatan mengelola potensi SDA di Konut mulai dari tambang nikel di Sulawesi Tenggara yang tersebar diantaranya di Langgikima, Morombo, Mandiodo, Beonaga maupun Boedingi.

Pemukiman warga di Desa Boedingi terlihat dari udara. Sejumlah aktivitas pertambangan terjadi di wilayah ini. Warga hidup setiap harinya menyaksikan kegiatan tersebut.

Data Badan Pusat Statistik Sultra, periode Januari hingga Oktober 2022, total ekspor Sultra mencapai 4,8 milliar dollar Amerika Serikat (AS). Adapun total volume ekspor mencapai 2,2 juta ton. Nilai dan volume ini meningkat masing-masing 36 persen dan 24 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari total ekspor ini, sebanyak 99,53 persen atau 4,7 milliar dollar AS berasal dari golongan besi dan baja. Nilai ini setara Rp 71 triliun dengan kurs dollar rata-rata Rp 15.000. Produk ekspor tersebut berupa fero nikel (feNi), nickle pig iron (NPI), dan baja tahan karat yang diproduksi oleh sejumlah pabrik peleburan (smelter) nikel di wilayah ini. Ekspor lain dengan jumlah di bawah 1 persen adalah ikan dan udang serta olahan daging dan ikan.

Saat ini, ada tiga smelter nikel yang beroperasi di Sultra, yakni BUMN PT Antam di Kabupaten Kolaka dan Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI), serta PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe. PT VDNI dan PT OSS merupakan investasi asing asal China.

Sayangnya potensi SDA yang dimiliki Sultra yang harusnya mampu membuat masyarakat sejahtera dan memiliki harapan menatap masa depan malah justru sebaliknya akibat aktivitas yang lepas kontrol. Bahkan jika dikeruk secara terus menerus akan habis juga.

Royalti Menjaga Harmonisasi Tapi Tak Mengedukasi

Meski diberikan royalti untuk menyambung hidup, nampaknya tak menutup kemungkinan hadirnya berbagai potensi konflik yang lebih besar.

Ketua Program Studi (Prodi) Magister Sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Dr Rahmat Muhammad, M Si memberikan pemetaan konflik yang berpotensi terjadi saat segala hal tak bisa diselenggarakan dengan matang dan maksimal, misalnya saja investor perusahaan pastinya memberikan royalti ataupun CSR demi menjaga harmonisasi kehidupan yang ada di wilayah pertambangan.

Baca juga: ‘Tidak Ada Nikel Seharga Nyawa’ Kisah Pilu Nirwana Selle Seleb TikTok Tewas di Smelter Nikel PT GNI

“Jadi, semua investor dalam setiap perusahaan ataupun proyek, apalagi namanya pertambangan semuanya bersifat khusus pada masyarakat sekitar. Sehingga model-model bantuan yang diberikan itu macam-macam untuk menjaga harmonisasi hubungan antara perusahaan dengan masyarakat. Garansi-garansi seperti royalti atau mempekerjakan masyarakat sebagai karyawan di perusahaan, itu sebenarnya bagian dari take and give,” jelasnya beberapa waktu lalu kepada TribunnewsSultra.com.  

Dalam kasus Desa Boedingi ini, dimana sebagian masyarakat beralih profesi dari nelayan menjadi pekerja tambang, pengangguran hingga buruh pasir, akibat kehadiran perusahaan tambang nikel. Pada dasarnya, masyarakat biasanya beradaptasi dengan lingkungan begitu kuat, terlebih orang Suku Bajo yang secara lahiriah hidup berdampingan bersama laut menjadi nelayan. Namun, saat kebiasaan itu dialihkan dengan keahlian yang berbeda menurut Dr Rahmat Muhammad akan terjadi berbagai hambatan pada saat bekerja.

Selain itu, untuk warga bisa diakomodir perusahaan tentunya memiliki keuntungan untuk bekerja. Sedangkan yang tidak berkesesuaian dengan kebutuhan perusahaan, terpaksa tidak akan produktif dan memilih untuk menganggur.

Perjalanan menuju Desa Boedingi, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara menggunakan perahu kayu nelayan. Nampak kondisi desa dari kejauhan. (TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

“Itu ada unsur yang mengakomodir kepentingan masyarakat. Sehingga bisa berpotensi besar sekali para warga terpaksa meninggalkan dunianya yang dekat dengan laut di daerah nelayan dan pesisir, walaupun sebenarnya habbitnya sudah ada disitu,” jelasnya.

Bagi Dr Rahmat Muhammad hal tersebut karena warga terpaksa mengerjakan sesuatu yang bukan keahliannya, sehingga proses penyesuaian pun berbeda.

“Ada yang cepat menyesuaikan ada yang lambat,” ujarnya.

Hal ini, bisa menjadi potensi turbulensi kepentingan antara kebutuhan masyarakat dan perusahaan itu sendiri dalam mencapai misi yang ingin dituju.

Baca juga: Pabrik Nikel Segera Dibangun di Buton Utara, PT ATN Indonesia Mineral Bakal Serap 1.000 Tenaga Kerja

Dr Rahmat Muhammad mengungkapkan semestinya pihak perusahaan berupaya agar masyarakat sejahtera. Namun kenyataannya, tidak selamanya aspirasi masyarakat mampu diserap secara utuh. Karena pola pikir yang berbeda-beda, sehingga membuat masyarakat terbagi menjadi beberapa varian. Ada yang menerima dan mampu menyesuaikan dengan kebijakan perusahaan, namun beberapa diantaranya bisa saja resisten.

Ia memberi contoh saat royalti untuk warga yang tak diputar kembali menjadi hal-hal produktif misalnya saja dialihkan untuk modal usaha, justru akan menjadi potensi konflik yang besar dengan perusahaan.

Sekalipun jumlah royaltinya banyak, sambungnya, tentunya akan cepat habis jika tak dipergunakan untuk menjalankan hal-hal bermanfaat dan produktif. Mempertimbangkan segala aspek yang ada untuk menghitung jumlah royalti tersebut. Bukan hanya persoalan nominal, tapi akankah royalti itu bersifat jangka pendek untuk satu generasi saja atau berkelanjutan sampai generasi selanjutnya.

“Padahal itu, anak turunannya masih butuh. Syukur-syukur bantuan itu bisa ditabung dan dijaga. Itu artinya bisa berkepanjangan. Dan itu, dibeberapa tempat bisa berpotensi sekali terjadi ada pemberian bantuan diterima langsung habis,” katanya.

Adanya royalti, menurut ahli sosiolog ini bisa mengandung unsur tidak mengedukasi masyarakat. Karena, beberapa diantaranya, mulai terlena dengan pemberian cuma-cuma bermodalkan jaminan harta kekayaan SDA.

“Kadang nekat kalau perlu nganggur yang akhirnya ada unsur tidak mengedukasi masyarakat, terlebih lagi ada warga yang tidak memiliki keahlian apa-apa dan hanya berharap pada royalti,” jelasnya.

Ia meyakini perusahaan sudah memiliki regulasi tersendiri memperhitungkan, dari jumlah warga hingga usia beberapa tahun kedepannya termasuk masa depan para warga untuk bisa survive.

Tetapi, hal ini akan berbeda cerita saat warga terlena dan memilih untuk menganggur dalam artian tak memiliki pekerjaan tetap. Apalagi mata pencaharian utama sudah hilang.

“Tapi ternyata kalau, dia (warga) nikmati itu dan nganggur dalam artian tidak ada pekerjaan jelas, itu berarti tidak berputar dana (royalti) yang seharusnya untuk produktivitas. Itulah yang terjadi di perusahaan kebanyakan, sekalipun di Konawe Utara yang saat ini terjadi,” tuturnya.

Potensi konflik lain yang bisa saja terjadi, saat perusahaan tidak memiliki asas manfaat untuk para warga, itu berarti sama saja memarginalkan.

“Hanya saja harapannya, segala bantuan yang ad aitu bisa sustainaible atau berkelanjutan. Kalau sampai ada bantuan, karena pasti semuanya (CSR atau royalti) sifatnya bantuan hanya namanya yang berbeda-beda,” jelasnya.

Dr Rahmat Muhammad juga menyinggung persoalan pengatur regulasi yang ada, tidak selamanya bersifat jangka panjang bahkan akan berganti dalam waktu tertentu. Hal ini memicu adanya konflik baru lagi. Baik dari perusahaan ataupun pemerintahan daerah, mengambil peran penting dalam menjaga harmonisasi yang ada. Sehingga menurutnya, perlu ditempati oleh orang-orang yang paham dan mengetahui psikologis warga setempat.

“Sehingga kadang, dimasa-masa tertentu diawalnya saja oke, entah itu pejabat dari perusahaan atau warga yang generasi ada saat ini atau sebelumnya. Tapi bagaimana setelahnya, bisa jadi pejabat berganti ada potensi masalah disitu. Dianggap itu (perjanjian atau kontrak) sudah selesai. Karena masyarakat itu selalu menuntut, kalau itu dikatakan royalti, perlu diperjelas secara rinci akankah itu perbulan pertahun atau apa. Tapi itukan masyarakat tidak mengerti. Ada juga royalti selamanya, atau sekali setahun,” tuturnya.

Hal inilah yang perlu pendampingan hukum agar masyarakat mendapatkan jaminan kehidupan yang layak dan sesuai dalam aturan perundang-undangan.

Ada ‘Gula’ di Boedingi

Pemukiman warga di Desa Boedingi. Nampak terjadi perbedaan warna air laut dari jarak tertentu. Mulai dari kemerahan, cokelat, lalu hijau gelap. Kondisi ini diduga akibat sebaran ore nikel yang tumpah ke laut Desa Boedingi. (TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Kepala Desa Boedingi, Aksar mengungkapkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, sejak pertambangan masuk warganya bertambah.

Dari yang hanya 20 kepala keluarga, kini telah dihuni 66 kepala keluarga. Pesat untuk desa yang hanya seluas 2,76 kilometer persegi. Menurut Dr Rahmat Muhammad hal ini adalah normatif. Dimana Boedingi memiliki potensi alam bak gula yang mampu mengundang semut untuk berkerumun.

Bagaimana tidak, Boedingi yang tadinya hanya gugusan pulau biasa tak berpenghuni menarik dengan daya pikat nikel tersembunyi di bawah tanahnya.

Selain itu, terjadi pernikahan antara para pekerja dengan orang-orang yang berada di Desa Boedingi. Hal inipun diungkapkan Aksar. Sehingga menjadi salah satu faktor pertumbuhan populasi Desa Boedingi begitu melonjak dalam beberapa tahun terakhir.

“Biasanya itu, sudah menikah disinimi,” jelasnya.

Pada awalnya, perusahaan yang membaca potensi suatu lokasi tentunya berniat meningkatkan kapasitas dari wilayah tersebut. Dari yang awalnya meraba tentang kepentingan perusahaan sampai akhirnya mengetahui tujuan pastinya.

Dari yang awalnya memproduksi lalu merekrut pekerja dari berbagai tempat, membuat orang-orang akan berdatangan terlebih ketika mengetahui area pertambangan. Dimana bagi kebanyakan pihak menilai sesuatu yang menguntungkan akan terjadi saat bekerja di perusahaan tambang.

“Tentu semua akan mendekat. Yang tadi jumlahnya hanya 20 menjadi 66 itu biasa,” jelasnya.

Dr Rahmat Muhammad menjelaskan jika faktor-faktor pendukung meningkatnya populasi itu dari mobilitas pekerja yang memakan waktu dan biaya lebih, sehingga terkadang akan memikirkan untuk lebih baik menetap di area yang dekat dengan tempat bekerja.

“Nah orang-orang itu, dari segi mobilisasi antara tempat tinggal dengan tempat kerjanya, kalau dia butuh waktu berjarak pasti lebih mendekat. Karena memang setiap perusahaan tidak memikirkan pergerakan mobilitas pekerjanya. Hampir semua perusahaan seperti itu. Jadi wajar kalau jumlahnya terbatas tiba-tiba melonjak,” tuturnya.

Sehingga, para pekerja harus berusaha untuk mengatur mobilitas sendiri demi mencapai lokasi tempat bekerjanya. Di Desa Boedingi pun demikian. Sejumlah pekerja tambang akhirnya menempati rumah-rumah warga yang disewakan perbulannya dengan harga mulai Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta.

Ia menyebut jika kondisi ini perlahan akan menggeser penduduk asli. Terlebih sejumlah pekerja memilih menikahi gadis yang berasal dari desa tempat bekerja. Atau bahkan, memilih menikahi perempuan dari wilayah asalnya lalu diboyong ke lokasi tempat bekerja.

“Bisa jadi warga setempat bergeser orang yang datang awalnya cuman lihat-lihat lalu menetap. Dan seterusnya, jumlahnya menjadi lebih banyak,” jelasnya.

“Karena ada gula disitu,” kata Dr Rahmat mengistilahkan Desa Boedingi sebagai ladang kumpulnya semut.

Dalam kacamata ilmu sosiologi, hal ini bisa memicu terjadinya perselisihan. Saat warga lokal sudah tak mendominasi lagi di wilayahnya sendiri. Bahkan besaran royalti pun tidak akan berpengaruh dalam menjaga harmonisasi.

Berbagai pemikiran-pemikiran warga lokal yang menurutnya bisa memicu adanya konflik mulai dari merasa ada kesenjangan, ketidakcukupan dalam pemberian royalti, hingga provokasi. Terlebih saat melihat para penduduk yang datang memiliki kehidupan lebih mewah dari warga lokal.

“Sementara, penduduk setempat tidak diedukasi untuk itu. Orang yang datang ini, bukan pengangguran tapi orang bekerja. Pelan-pelan tergusurlah warga lokal, yang tidak kerja di perusahaan. Kalau sudah mulai ada gap dengan pemikiran hidup mewah pendatang, apalagi saat warga pendatang jadi manager sedang warga lokal jadi buruh. Ini berpotensi konflik kecil menjadi besar,” jelasnya.

Hal ini normatif terjadi dalam suatu wilayah pertambangan ataupun perusahaan yang bergerak di tengah-tengah masyarakat. Namun, menurut Dr Rahmat, warga tidak boleh semerta-merta hanya bergantung pada royalti karena sifatnya tidak berkepanjangan.

“Jika royalti tidak diimbangi dengan kegiatan yang produktif ya akan habis,” tuturnya.

Mengukur keadilan yang ada di tengah-tengah masyarakat, menurut Dr Rahmat itu adalah hal relatif.

“Awalnya bisa adil tapi dalam perkembangannya malah tidak adil,” tuturnya.

Sehingga, dinamika masyarakat sangat menentukan adil dan tidaknya deretan hal yang diberikan perusahaan. Proses yang dihadapi menurut Dr Rahmat tidak semata-mata langsung menuntaskan persoalan royalti tanpa menimbang-nimbang.

Ia mengungkapkan harusnya perusahaan sudah menganalisis tentang kebutuhan warga setempat dari waktu ke waktu. Menurut Rahmat yang paling mengkhawatirkan saat menakar nasib masa depan warga 10 tahun atau 20 tahun ke depan. Disaat semua telah habis, namun untuk pegangan warga juga ikut terkuras. Terlebih adanya berbagai provokasi yang terjadi di masyarakat karena ketidakpuasan, tuntutan yang terlalu banyak, hingga terpengaruh terhadap gesekan yang terjadi antara sesama penduduk.

“Dinamika masyarakat mempengaruhi adil tidaknya. Adil tidaknya sangat relatif. Tapi saya yakin, untuk hitung-hitungan awal itu dalam memberikan royalti pasti sudah dipelajari oleh perusahaan, Tidak ada perusahaan yang mengambil resiko saat mendistribusi royalti dalam keadaan yang tidak adil,” pungkasnya.  (*)

(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Liputan ini merupakan Fellowship AJI Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia dan TribunnewsSultra.com