TRIBUNNEWSSULTRA.COM,KENDARI - Jaringan Perempuan Pesisir Sulawesi Tenggara (Sultra) keluhkan kondisi kelangkaan minyak goreng, tak terkecuali di Sultra.
Termasuk kondisi krisis lainnya yang terus mencuat selama pandemi Covid-19. Seperti kebijakan JHT dan penggusuran paksa lahan yang akan mengakibatkan perempuan makin terbelakang dari sisi ekonomi di Sulawesi Tenggara.
Koordinator Jaringan Perempuan Pesisir Sultra, Mutmainna mengatakan melihat permasalahan yang dialami perempuan pada masa pandemi Covid-19 di Sulawesi Tenggara.
Seharusnya kebijakan yang tercipta memulihkan ekonomi perempuan, namun yang terjadi akhir-akhir ini malah sebaliknya.
"Seandainya ruang - ruang produksi perempuan dilindungi dan diberi kemudahan, tentu bisa menyumbang terhadap pemulihan ekonomi bangsa dimasa pandemi Covid-19 ini," kata Mutmainna, Minggu (6/3/2022).
Baca juga: Masih Langka, Minyak Goreng Tak Dijual di Indogrosir Kendari Sulawesi Tenggara
Kata dia, sejak Februari 2022, minyak goreng mengalami kelangkaan, kalaupun ada harganya melonjak naik dari harga Rp14 ribu per liter sebagaimana ditetapkan pemerintah.
Kini naik menjadi Rp30 ribu - Rp50 ribu per iter di kampung - kampung Pesisir.
Hal itu berdampak terhadap kehidupan perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan perempuan yang bekerja di sektor informal seperti pedagang gorengan, ayam geprek, sari laut dan usaha UMKM lainnya yang menggunakan minyak goreng.
Kelangkaan minyak goreng mengakibatkan ibu -ibu harus keliling mencari persediaan untuk
memenuhi kebutuhan di rumah tangga.
Begitupun dengan minyak goreng mahal berdampak terhadap ibu - ibu karena harus mengeluarkan uang yang lebih.
"Di satu sisi pendapatan tidak meningkat, sehingga sebagian harus mentaktisi keuangan dalam rumah tangga. Bahkan sebagian usaha UMKM yang menggunakan minyak goreng harus menutup usaha," ujarnya.
Ibu-ibu pekerja informal harus dipaksa menciptakan pekerjaan yang tidak menggunakan minyak goreng, demi memenuhi kebutuhan ekonomi dalam keluarga.
Baca juga: Rencana Gelar Pasar Murah Minyak Goreng, Pemerintah Kota Kendari Koordinasi Hindari Kerumunan Warga
Sebelumnya pemerintah juga mengadakan pasar murah di Bulog Sultra, namun ia menilai cara itu kurang efektif lantaran mengakibatkan ibu-ibu justru berkerumun dan berebut jatah minyak goreng, padahal situasi masih pandemi Covid-19.
Belum selesai urusan minyak goreng, warga Sultra juga dihadapkan dengan persoalan aturan baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Melalui Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2022 tentang tata cara dan persyaratan pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT), di mana dalam aturan itu termuat pekerja baru bisa mencairkan JHT saat pekerja masuk usia 56 tahun.
Menurutnya aturan itu justru berdampak pada buruh perempuan di Sultra khususnya di Kota Kendari jumlahnya mencapai puluhan ribu yang bekerja di perusahaan perikanan, perusahaan bahan bangunan, toko elektronik dan sektor lainnya.
Kebijakan Kemenaker tentu melukai buruh-buruh perempuan. Berdasarkan pengamatan dilapangan, buruh perempuan kerap di PHK sepihak oleh perusahaan dan mengakibatkan pengangguran.
"Dengan dibatasinya pencairan JHT tentu menghambat buruh untuk menciptakan usaha mandiri paska PHK. Jadi tidak ada alasan untuk menghambat hak-hak buruh apalagi pada masa pandemi Covid-19," ujarnya.
Baca juga: BREAKING NEWS: Aksi Tolak Tambang di Konawe Kepulauan Bentrok, Ibu-ibu hingga Jatuh Pingsan
Kasus yang lebih memprihatinkan lainnya adalah kasus petani perempuan asal Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan.
Para perempuan berjuang menghentikan penggusuran paksa lahan pada Kamis (03/03) lalu.
Perjuangan itu terjadi karena lahan itu digunakan untuk bercocok tanam demi menghidupi anak-anak agar bisa sekolah, serta menjadikan termpat itu sebagai sumber air bersih.
Kejadian yang dialami perempuan Pulau Wawonii bukan pertama kali terjadi. Kasus sudah terjadi sejak tahun 2019 dan berlangsung sampai sekarang.
Tindakan represif, ancaman bahkan penjara menghantui kehidupan keseharian warga. Tidak sedikit perempuan harus bekerja sendiri, karena suami dan anaknya di penjara, karena dianggap melawan, padahal hanya mempertahankan sumber penghidupan.
Ketenangan terus diusik oleh oknum perusahaan tambang dan berpotensi menciptakan konflik horizontal antara warga yang pro dan kontra tambang.
"Kasus yang lebih menyedihkan yang kami dapatkan dari video yang beredar via whatsapp kemarin (04/03), sekumpulan perempuan Wawonii dibawa ke sebuah tempat lalu diancam akan dipenjarakan oleh oknum perusahaan," bebernya.
Ironisnya, ia menyayangkan perlakuan kasar perusahaan disaksikan oleh aparat keamanan dan warga lainnya.
"Perempuan-perempuan itu tak berdaya dan tak berpendidikan harus dimarahi, diancam dan dibully semau-maunya," ucap Mutmainna.
Baca juga: Tahun 2021 Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tenggara Naik 4 Persen, Ekspor dan Impor Tumbuh Positif
Menurutnya, di masa pandemi Covid-19 seharusnya kebijakan-kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik horisontal dan menciptakan pemiskinan terhadap rakyat terutama kaum perempuan, tidak seharusnya terjadi.
"Tekanan pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap ekonomi sudah cukup berat, jangan malah ditambah dengan gerakan-gerakan yang menciptakan keos dan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap penguasa," ucapnya.
Mutmainna menuturkan, jika perempuan terlepas dari berbagai kekerasan ekonomi tersebut, maka perempuan bisa juga meningkatkan perekonomian negara.
Sebab perempuan akan percaya diri dan melepas ketergantungan dan lebih produktif, sehingga mampu menyumbang untuk perbaikan ekonomi bangsa ditengah ancaman krisis karena pandemi Covid-19.
Sehingga Jaringan Perempuan Pesisir Sulawesi Tenggara menuntut pemerintahan dalam hal ini Kementerian Perdagangan untuk segera menstabilkan harga minyak goreng dan penuhi stok kebutuhan rakyat, serta menindak tegas oknum yang bermain dibalik minyak goreng mahal dan langka.
Kemudian tuntutan kepada Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera membatalkan Permenaker nomor 02 tahun 2022 tentang Jaminan Hari Tua (JHT).
Mengganti kebijakan dengan menerapkan kepastian BPJS, JHT dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) terhadap buruh perempuan, serta menindak tegas
perusahaan yang menolak tunduk patuh terhadap aturan dan berpotensi mengorbankan hak-hak buruh perempuan di Sulawesi Tenggara.
Tuntutan juga ditujukan kepada Kementerian ESDM untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan PT Harita Group di Pulau Wawonii.
Sebab berpotensi menimbulkan konflik horisontal antara warga dan akan berdampak trauma terhadap perempuan dan anak-anak ke depan.
Termasuk kepada Kementerian ATR BPN memberikan Hak Atas Tanah Untuk Rakyat yang berada di Pulau Wawonii, sebagai bentuk program pemulihan ekonomi bagi rakyat terutama perempuan yang bergantung di sektor pertanian.
(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriyani)