Kuliner Khas Sulawesi Tenggara

Asal Usul dan Sejarah Tuli-Tuli Makanan Khas Baubau Sultra, Bahan Utama dari Singkong

Tuli-tuli tak merujuk terkait kata gangguan pendengaran, melainkan istilah lokal gorengan bentuk angka 8 dibuat dari ubi kayu parut kering (Kaopi).

Penulis: Harni Sumatan | Editor: Muhammad Israjab
(TribunnewsSultra.com/Harni Sumatan)
Asal usul dan sejarah makanan khas Tuli-tuli berasal dari Pulau Buton, khususnya Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, BAUBAU - Inilah asal usul dan sejarah makanan khas Tuli-tuli berasal dari Pulau Buton, khususnya Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Makanan khas ini jadi bagian tradisi kuliner masyarakat lokal Pulau Buton sejak lama.

Kata "Tuli-tuli" bukan merujuk terkait gangguan pendengaran, melainkan istilah lokal gorengan berbentuk angka 8 yang dibuat dari ubi kayu parut kering ( Kaopi ).

Beradasarkan sejarah dan asal usul makanan khas Tuli-Tuli ini kerap hadir sebagai bagian dari sajian khas, menandakan penghormatan terhadap warisan leluhur.

Dianggap simbol kebersamaan dan kesederhanaan, karena sering disajikan saat berkumpul bersama keluarga atau teman di sore hari.

Baca juga: Mengenal Tuli-Tuli Camilan Tradisional Khas Kota Baubau Sulawesi Tenggara, Berbahan Singkong Parut

Dahulu, Tuli-tuli dibuat sebagai alternatif makanan pokok saat beras sulit didapat, karena ubi kayu lebih mudah ditanam dan diolah.

Saat ini, masih dilestarikan. Terus diwariskan secara turun-temurun, terutama di kalangan ibu rumah tangga.

Bahkan menjadi jajanan di Kota Baubau, yang bisa kita dapatkan secara mudah yang dijual pedagang kaki lima.

Bahannya terbilang tradisional, singkong telah diparut dan dikeringkan, dikenal secara lokal dengan nama Kaopi.

Bukan hanya digunakan untuk Tuli-tuli, melainkan bisa dikreasikan makanan lain.

Prosesnya, Kaopi dikeringkan secara alami, umumnya dengan dijemur di bawah sinar matahari sehari penuh.

Kaopi dijual di pasar biasanya memiliki tekstur kasar, sehingga perlu diayak terlebih dahulu sebelum diolah.

Pengayakan bertujuan untuk menyaring serat kasar agar menghasilkan adonan yang lebih halus dan mudah dibentuk.

Untuk membuat Tuli-tuli, Kaopi dicampur dengan air hangat dan sedikit garam sebagai perasa utama.

Tak seperti gorengan lain yang sarat bumbu, cita rasa Tuli-tuli datang dari kesederhanaan racikannya.

Baca juga: Aspal Buton Sulawesi Tenggara Prioritas Proyek Hilirisasi ke Danantara, Investasi Rp1,49 Triliun

Adonan Kaopi diuleni hingga rata, memastikan air dan garam meresap sempurna ke dalam serat singkong.

Setelah mencapai konsistensi yang pas, adonan kemudian dibentuk menyerupai angka 8 secara manual.

Kaopi kering sisa ayakan juga digunakan saat membentuk adonan agar tidak terlalu lengket di tangan.

Selain mencegah lengket di tangan, penambahan Kaopi kering juga membuat hasil akhir lebih renyah saat digoreng.

Adonan yang telah dibentuk diletakkan terpisah agar tidak saling menempel sebelum proses penggorengan.

Wajan berisi minyak panas disiapkan, dan satu per satu Tuli-tuli dimasukkan dengan hati-hati.

Proses penggorengan dilakukan dengan api sedang agar tidak cepat gosong di luar namun mentah di dalam.

Saat permukaannya berubah warna menjadi keemasan, pertanda Tuli-tuli sudah matang dan siap diangkat.

Hasil akhir dari Tuli-tuli yang ideal adalah tekstur yang kokoh namun tidak keras, dan bentuk angka delapan yang utuh.

Tidak ada saus atau sambal yang menyertai saat penyajian, karena camilan ini memang dinikmati dalam bentuk aslinya.

Teh hangat menjadi teman yang paling sering mendampingi Tuli-tuli di sore hari dalam suasana santai.

Baik dinikmati bersama keluarga di rumah atau dengan teman kerja, Tuli-tuli tetap cocok di segala suasana.

Salah satu pedagang cemilan Tuli-tuli terkenal di Baubau adalah Wa Ati, sudah berjualan 9 tahun.

Berada di Jalan Hayam Wuruk, Kelurahan Ngaganaumala, Kecamatan Murhum, Baubau.

Baca juga: Pagelaran Seni "Minakai Kulese Membali Rohi" di Baubau Soroti Perjuangan Perempuan Wa Ode

Dalam satu bungkus, pembeli mendapatkan empat buah Tuli-tuli seharga Rp5 ribu. Selain Tuli-tuli, Wa Ati juga menjual aneka gorengan lainnya yang laris diburu warga sekitar.

Ia bercerita, minat masyarakat terhadap Tuli-tuli masih cukup tinggi, khususnya di kalangan orang tua.

"Ibu-ibu dan bapak-bapak paling senang, kalau anak muda memang sudah agak berkurang," ujarnya.

Resep Tuli-tuli yang ia buat merupakan warisan turun-temurun dari sang ibu.

Sejak kecil, ia sering melihat proses pembuatannya dan akhirnya tertarik untuk mencoba sendiri.

Kini, Tuli-tuli buatan Wa Ati dikenal bukan hanya karena rasanya, tapi juga keotentikan prosesnya.

Ia percaya rasa enak Tuli-tuli berasal dari kualitas Kaopi dan cara pengolahan yang telaten.

Ia menekankan pentingnya mendiamkan adonan terlebih dahulu sebelum dibentuk, agar tidak asam.

"Kalau didiamkan dulu, rasanya nggak kecut. Itu kuncinya," ungkapnya.

Kaopi harus benar-benar kering dan hancur sempurna agar teksturnya tidak kasar saat dimakan.

Dalam proses pengolahan, garam berperan penting sebagai penyeimbang rasa.

Menurut Wa Ati, penggunaan penyedap seperti micin sebaiknya tidak berlebihan karena bisa merusak rasa asli.

Baca juga: Kasoami Makanan Khas Sulawesi Tenggara, Jadi Alternatif Pengganti Nasi Bagi Masyarakat Muna

"Rasa utama itu dari singkongnya, jadi jangan ditutupi sama penyedap," jelasnya.

Kadang-kadang, ia menambahkan bawang yang telah dihaluskan agar aroma camilan lebih menggoda.

Tuli-tuli yang telah dibentuk dapat disimpan selama dua hari di kulkas sebelum digoreng.

Sementara jika digoreng setengah matang, bisa bertahan hingga tiga hari dengan syarat disimpan baik.

"Kalau mau dipanasi lagi pun tetap enak. Nggak keras,” tambahnya.

Tak jarang, Wa Ati menerima pesanan dari luar daerah, khususnya saat musim liburan tiba.

Tuli-tuli buatannya sering jadi pilihan oleh-oleh bagi warga Baubau yang hendak bepergian.

Ia pun senang karena camilan sederhana ini punya makna dan nilai tersendiri bagi masyarakat.

Menurutnya, meski banyak makanan modern hadir, Tuli-tuli tetap punya tempat khusus di hati warga lokal.

Bahkan wisatawan yang berkunjung kadang penasaran mencicipi camilan khas ini.

Tuli-tuli bukan hanya makanan ringan, tapi simbol dari kenangan, warisan, dan rasa kebersamaan.

Keunikan bentuk angka delapan melambangkan keberlanjutan dan filosofi keseimbangan hidup.

Meskipun bahan dan prosesnya sederhana, makna Tuli-tuli jauh lebih dalam dari sekadar rasa.

Di balik camilan ini ada cerita keluarga, budaya lokal, dan semangat menjaga kuliner tradisional.

Selama masih ada generasi seperti Wa Ati yang terus menjaga tradisi, Tuli-tuli akan terus eksis.

Baubau boleh terus tumbuh dan berubah, tapi rasa Tuli-tuli akan selalu membawa kembali ke akar budaya Buton. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA
Komentar

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved