Kuliner Khas Sulawesi Tenggara
Karasi, Kudapan Renyah Khas Wakatobi dan Buton Tetap Eksis di Tengah Gempuran Kuliner Modern
Karasi, kudapan tradisional khas Kabupaten Wakatobi dan Buton, Sulawesi Tenggara, tetap bertahan meski berbagai kuliner modern terus bermunculan.
Penulis: Dewi Lestari | Editor: Amelda Devi Indriyani
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Karasi, kudapan tradisional khas Kabupaten Wakatobi dan Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), tetap bertahan meski berbagai kuliner modern terus bermunculan.
Camilan ini dikenal dengan bentuk gulungan jaring tipis berwarna keemasan.
Rasa manis dari gula aren, serta teksturnya yang renyah.
Menariknya, Karasi memiliki banyak variasi bentuk, masing-masing dengan nama dan makna berbeda bagi masyarakat setempat.
Beberapa model Karasi di antaranya epu-epu berbentuk lingkaran terbelah dua.
Sisi komba menyerupai bulan sabit, korolipa berbentuk persegi panjang.
Kemudian, koro bata mirip korolipa tetapi sedikit dilipat secara horizontal.
Baca juga: Gurih dan Legit, Luluta Nasi Bambu Bakar Kuliner Khas Wakatobi Sulawesi Tenggara, Resep, Cara Buat
Ada juga dai tangkora berbentuk jajaran genjang, fengke berarti paha (di Tomia disebut juga boto lenso atau koro kampuru).
Lulubala seperti gulungan kue dadar, serta kapa’a pa’a berbentuk bintang laut.
Selain itu, ada poporoki atau tolu jikku/tolu pigu berbentuk segitiga sama kaki, koro tihe atau tangaba menyerupai bulu babi.
Koro sampalu mirip buah asam jawa, tangaba lain berbentuk seperti mangkuk terbalik, dan kulu-kulu bentuknya menyerupai bubu, perangkap ikan tradisional dari bambu.
Proses pembuatan karasi cukup mudah, tetapi membutuhkan ketelatenan.
Tepung beras dicampur dengan gula aren dan air hingga menjadi adonan cair.
Adonan kemudian dituangkan ke wajan panas menggunakan cetakan berlubang kecil, sehingga membentuk pola anyaman tipis menyerupai jaring.
Baca juga: Mengenal Kadampi dari Jagung Tua Kuliner Khas Muna Sulawesi Tenggara, Lengkap Cara Buat
Setelah matang dan berubah menjadi warna keemasan, karasi digulung selagi masih panas agar tetap rapi dan tidak mudah patah.
Menurut Dirman, warga Wakatobi, karasi sudah lama menjadi hidangan wajib di berbagai acara adat dan keagamaan.
Biasanya disajikan saat pernikahan, sunatan, lebaran, bahkan pada saat kedukaan.
“Dahulu, karasi juga selalu dibuat sebagai bentuk syukur saat menempati rumah baru,” ujar Dirman. (*)
(Tribunnewssultra.com/Dewi Lestari)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.