Berita Kendari
Komunitas Jurnalis Berhijab Diskusi Bareng Doktor dari Palestina Bahas What's Happening in Palestine
Komunitas Jurnalis Berjihab (KJB) menggelar diskusi secara during terkait kondisi nyata yang terjadi di Wilayah Pendudukan Palestina, Selasa (24/10)
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Desi Triana Aswan
TRIBUNNEWSSULTA.COM- Komunitas Jurnalis Berjihab (KJB) menggelar diskusi secara during terkait kondisi nyata yang terjadi di Wilayah Pendudukan Palestina, Selasa (24/10/2023).
Hadir sebagai narasumber yakni Dr. Muslim Imran, Pendiri dan Direktur Asia Middle East Center for Research and Dialog (AMEC), Mantan Koresponden CNN Indonesia, Mumtaza Tjaradiningrat.
Adapula jurnalis MetroTV yang juga merupakan member KJB, Hafiyah Yahya.
Dialog online ini memberikan pandangan terkait Palestina dan Israel hingga kerja-kerja jurnalis dalam media mengawal pemberitaan isu tersebut.
Puluhan peserta hadir dari berbagai kalangan mulai dari para member KJB, akademisi, hingga mahasiswa.
Mumtaza menceritakan tentang dirinya yang baru menyadari fakta kehidupan orang Palestina dibawah pendudukan militer Israel, setelah menikah dengan suaminya yang merupakan pengungsi di Wilayah Pendudukan Jalur Gaza.
Israel ternyata mengontrol ketat kehidupan dan segala aktivitas rakyat Palestina. Di antaranya, membatasi pergerakan keluar masuk orang dan barang di seluruh Wilayah Pendudukan dan menerapkan hukum militer otoriter atas rakyat Palestina.
Baca juga: Aksi Solidaritas Palestina, Warga Kolaka Sulawesi Tenggara Gelar Longmarch dan Penggalangan Dana
Dilansir dari Al-Jazeera, terdapat aturan setebal 97 halaman, yang disebut Prosedur Masuk dan Tempat Tinggal bagi Orang Asing di Area Judea dan Samaria (PDF), menggantikan dokumen empat halaman saat ini.
Judea dan Samaria adalah istilah yang digunakan pemerintah Israel untuk menyebut Occupied West Bank atau Wilayah Pendudukan Tepi Barat.
Sedangkan di Wilayah Pendudukan Jalur Gaza, Israel telah menerapkan blokade sejak tahun 2005. Artinya seluruh wilayahnya, termasuk perbatasan udara, darat dan laut dikuasai penuh oleh Israel.
Sebagai mantan koresponden, Taza juga menilai, pentingnya penggunaan nama Wilayah Pendudukan Palestina (Occupied Palestinian Territory) dalam setiap pemberitaan dan diskursus.
“Penggunaan nama tersebut sesuai dengan hukum dan konsensus internasional serta dapat menunjukkan ketimpangan kekuatan antara Palestina dan Israel” jelasnya.
Selain itu, penggunaan nama ini akan menekankan bahwa Israel punya kewajiban untuk melindungi setiap warga Palestina yang hidup di wilayah pendudukan militer Israel.
Taza menambahkan, kemerdekaan Palestina tidaklah mustahil dan dapat diraih dengan dukungan solid komunitas internasional.
"Indonesia sebagai negara besar yang pernah dijajah memiliki kekuatan besar untuk menggaungkan suara-suara negara Global South, bahwa kita tidak suka berperang. Kita harapkan, semakin banyak suara-suara perdamaian untuk mengakhiri hal ini," jelasnya.
Sementara, jurnalis Hafiyah Yahya juga menyebutkan peran media dalam mengawal isu yang ada di Palestina dan Israel tak hanya dipandang sebagai jurnalisme perang tetapi sebagai jurnalisme damai.
Menurutnya, deretan diksi yang digunakan dalam menulis pemberitaan soal Palestina dan Israel harus mampu mendorong langkah perdamaian, bukan semakin memperkeruh atau memanaskan keadaan.
Kekuatan media yang perlu didorong paling tidak dibangun dari langkah kecil, salah satunya dengan menggunakan diksi-diksi yang sesuai fakta dan mewakili apa yang terjadi di Palestina, untuk bisa memberikan pemahaman tentang krisis di Palestina, sekaligus mendorong agar serangan dihentikan.
Sehingga bagi Hafiyah Yahya, elemen cover all side yang ada dalam pemberitaan harus menjadi perhatian, dengan tidak lupa menempatkan konteks tentang krisis di Palestina.
Baca juga: Kolaborasi Aksi di Wakatobi Sulawesi Tenggara, 3 Hari Kumpul Dana untuk Palestina Hingga Rp 11 Juta
"Kita berusaha mengimbangi narasi-narasi yang disebar di media barat yang oleh sejumlah pakar dinilai cenderung ke Israel. Kita perlu menghindari diksi-diksi yang justru mendemonisasi warga Palestina termasuk kelompok kemerdekaan Palestina, yang digencarkan oleh Israel dan barat untuk melegitimasi serangan mereka ke warga Palestina. Langkah ini sekaligus untuk mencegah situasi di Palestina semakin memanas."
Termasuk soal gerakan Hamas, menurutnya, label teroris terhadap Hamas dan kelompok kemerdekaan Palestina lainnya merupakan cap dari Israel dan negara-negara barat termasuk Amerika Serikat, sehingga tidak tepat media ikut menggunakan istilah yang tidak objektif tersebut.
"Dengan menggunakan diksi 'kelompok perjuangan kemerdekaan Palestina' terhadap Hamas dan kelompok kemerdekaan Palestina lainnya, ini bisa menambah sedikit sentuhan perubahan akan tudingan tentang terorisme tersebut, sekaligus menyajikan fakta yang sebenarnya," jelasnya.
"Kita harus menyadari misi kita bukanlah untuk menjalani jurnalisme perang, tapi jurnalisme damai," tegasnya.

Sementara itu, sebagai warga negara Palestina, Dr. Muslim Imran menyebut seluruh warga Palestina, mayoritas non-partisan, mendukung segala bentuk perjuangan untuk kemerdekaan. Termasuk mendukung perjuangan dari Hamas.
Walau tidak ada data terkini, namun pada tahun 2006, atas desakan Amerika Serikat, pemilu diadakan dan Hamas menang dengan 64 persen suara.
Memang tak sedikit yang mengkritik pemerintahan terbatas Hamas di Gaza, namun mayoritas warga Palestina mendukung upaya Hamas untuk memerdekakan diri dari penjajahan Israel.
"Sejujurnya, saya sebagai warga Palestina tidak peduli siapapun itu yang memperjuangkan kemerdekaan, mau Fatah atau partai lainnya silakan, akan kami dukung. Namun faktanya saat ini di Gaza, Hamas-lah yang memimpin perjuangan kemerdekaan ini. Legitimasi dari semua gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan di seluruh dunia tidak ada yang didapatkan dari kotak suara. Biasanya siapa yang berinisiatif dan memimpin rakyat untuk merdeka akan mendapatkan legitimasi itu. Ini sangat penting, Hamas sekarang menuntun rakyat Palestina untuk merdeka. Dan, mayoritas rakyat Palestina mendukung perjuangan Hamas."
Akademisi yang kini bermukim di Kuala Lumpur ini menyadari dukungan dari berbagai pihak di seluruh penjuru dunia untuk kemerdekaan Palestina sangat dibutuhkan. Terutama dari negara-negara 'Global South'.
“Kami perlu dukungan dari negara yang pernah dijajah untuk menentang penjajahan dan imperialisme. Setiap dukungan termasuk di sosial media sangat penting. Buktinya saat ini mereka (Israel) kewalahan untuk mengepung berita dari Palestina. Karena ini melawan narasi mereka,” pungkasnya.
(*)
(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.