Berita Wakatobi

Transisi Perjuangan Si Puan Pedagang di Wakatobi Era 70-an, Tangkis Patriarki dan Pengorbanan Mimpi

Berikut ini transisi perjuangan si perempuan pedagang di Kabupaten Wakatobi sejak era 1970an, tangkis budaya patriarki dan pengorbanan mimpi.

Istimewa
Hj Siti Harlina membagikan kisahnya sebagai seorang perempuan yang berdagang di Pasar Sentral Wangiwangi Selatan Kabupaten Wakatobi sejak era 1970-an. Ia kini membuat baju adat khas Buton dengan mesin jahit zaman dulu yang dirawatnya tetap awet. Juga tandapungu sebuah topi adat yang biasa digunakan saat acara pingitan di Wakatobi. Hasil karyanya ini tak hanya sekedar dipajang, namun juga bisa disewakan pada setiap momen adat. 

TRIBUNNEWSSULTRA, WAKATOBI- Berikut ini transisi perjuangan si perempuan pedagang di Kabupaten Wakatobi sejak era 1970an, tangkis budaya patriarki dan pengorbanan mimpi.

Geliat dagang di tahun 1970 di Pulau Wangiwangi Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara (Sultra) ternyata mampu mengihidupkan para pengusaha yang berjualan kebutuhan primer dan sekunder.

Di masa itu, Wakatobi belum dikenal sebagai daerah dengan keindahan wisata bawah lautnya.

Hanya sebuah kecamatan yang masih tergabung dengan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara sebelum mekar.

Bahkan, sebagian besar diantara pelaku dagang adalah perempuan yang sudah berkeluarga.

Perempuan disibukan dengan berbagai aktivitas. Selain berdagang, adapula yang berkebun atau fokus menjadi ibu rumah tangga yang menunggu sang suami pulang berlayar. Juga perempuan menenun sarung khas leja.

Budaya patriarki yang begitu kental pada kehidupan keluarga di Wakatobi, membuat perempuan menikah dini.

Baca juga: ‘Harta Karun’ yang Hilang di Desa Boedingi, Kampung Suku Bajo Sulawesi Tenggara Sejak Tahun 2009

Untuk mengenyam pendidikan setinggi langit, mustahil bagi perempuan Wakatobi.

Sehingga para orangtua mengambil andil dalam keputusan masa depan anak. Bahkan persoalan jodoh, orangtua akan menggunakan insting terbaiknya.

Orang-orang di masa itu membangun stereotipe tentang perempuan harus menikah lebih cepat hingga mengambil peran lebih banyak di dalam rumah. Karena jika menikah pada usai 20 tahun ke atas akan mendapatkan stigma masyarakat sebagai 'perawan tua'.

Sedangkan para pria akan berlayar jauh mencari uang sebanyak-banyaknya. Sembari menunggu kepulangan para suami, perempuan Wakatobi akan banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak.

Namun, seorang wanita, Hj Siti Harlina (70) memilih untuk produktif dan mencari nafkah sebagai pedagang.

Kala usianya 22 tahun, Wa Poa sapaan akrabnya sudah memiliki 6 anak.

Sang suami almarhum H La Dahidu berlayar hingga ke Singapura membawa dagangan yakni berupa kayu yang bisa diolah menjadi kursi ataupun lemari. Setiap 5 bulan, H La Dahidu akan pulang ke keluarganya. Lalu kembali berangkat mencari nafkah.

Hidup berkecupan sebagai keluarga pengusaha, tapi Siti Harlina tak bermanja dengan harta. Bahkan tak bergantung dari satu sumber nafkah saja.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved