Berita Sulawesi Tenggara
Gubernur Ali Mazi Ungkap Prospek Peluang Investasi Hingga Resolusi Pertambangan Sulawesi Tenggara
Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi bicara tentang prospek peluang investasi dan resolusi pertambangan Sultra masa depan.
Penulis: Amelda Devi Indriyani | Editor: Desi Triana Aswan
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi bicara tentang prospek peluang investasi dan resolusi pertambangan Sultra masa depan.
Hal tersebut disampaikan Ali Mazi saat menghadiri Seminar Internasional Indonesia International Nickel and Cobalt Industry Chain Summit 2023, di Jakarta, (31/5/2023) lalu.
Gubernur Ali Mazi memaparkan potensi pertambangan di Sultra tersebut diantaranya sumber daya hipotetik bahan galian Nikel, sebesar lebih dari 97,4 milyar wet metrik ton.
Galian Nikel tersebut tersebar di Kabupaten Konawe Utara (Konut), Konawe, Konawe Selatan (Konsel), Bombana, Kolaka, Kolaka Utara (Kolut), Buton dan Kota Baubau.
Kemudian ada sumber daya hipotetik bahan galian Aspal, sebesar lebih dari 3,85 milyar ton, yang tesebar di beberapa kabupaten di Pulau Buton.
Melimpahnya potensi pertambangan tersebut, tak salah jika banyak perusahaan tambang yang beroperasi di Sultra. Hingga Desember 2020 Ali Mazi menyebut total Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sultra sebanyak 376.
"Per Desember 2020, terdiri dari mineral logam dan batubara sebnyak 262 IUP, serta mineral bukan logam dan batuan sebanyak 114 IUP," ujar Ali Mazi.
Baca juga: Gubernur Ali Mazi Minta Perusahaan Tambang di Sultra Terapkan Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Kontribusi Hilirisasi Nikel Terhadap Devisa Ekspor Sulawesi Tenggara
Ali Mazi juga memaparkan secara umum nilai ekspor Sultra mulai Januari hingga 31 Agustus 2022 mengalami pertumbuhan yang positif dari target yang ditentukan.
Capaian ekspor dan impor pada Agustus 2022 mengalami peningkatan 35 persen dan untuk ekspor masih di dominasi dari sektor pertambangan.
"Salah satunya disebabkan karena kegiatan ekspor Sultra itu sudah dapat dilakukan dari Pelabuhan Kendari langsung dengan beberapa negara tujuan," sebutnya.
Berdasarkan data Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Kendari, tercatat lima perusahaan besar di Sulawesi Tenggara yang mendominasi devisa ekspor, yaitu OSS, VDNI, Aneka Tambang, Graha Makmur Cipta Pratama (makanan laut), dan Wijaya Karya Aspal.
OSS dan VDNI masih menjadi perusahaan yang dominan berkontribusi terhadap devisa negara dengan volume ekspor tertinggi.
Apalagi pasca berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2020 pengganti UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, terdapat 3 Smelter Nikel yang berproduksi di Sultra sebagai dampak kebijakan hilirisasi Nikel.
Perusahaan tersebut diantaranya PT Antam Tbk yang menghasilkan Ferro Nickel dengan kapasitas produksi sebesar 27 ribu metrik ton per tahun. Berada di Pomalaa Kabupaten Kolaka.
Kemudian, PT VDNI di Morosi Kabupaten Konawe, yang bergerak di bidang Nickel Pig Iron (NPI) dengan kapasitas produksi sebesar 1 juta metrik ton per tahun.
Serta yang ketiga adalah PT OSS yang juga memproduksi NPI di Morosi Kabupaten Konawe dengan kapasitas produksi NPI sebanyak 2-3 juta metrik ton per Tahun.
Peluang Investasi Asing dan Lokal, Ekspor Nikel Hingga Resolusi
Maka dari itu, Ali Mazi mengatakan Sultra sebagai provinsi dengan sumber daya dan cadangan Nikel terbesar di Indonesia, tentunya ini menjadi peluang bagi Sultra untuk lebih mendapatkan banyak manfaat dari kegiatan hilirisasi Nikel di wilayahnya.
Misalnya peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), peningkatan dana bagi hasil Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) pertambangan, peningkatan penerimaan dan retribusi daerah, penyerapan tenaga kerja, dan lain sebagainya.
Adapun target dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor pertambangan di Sultra dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (tahun 2017 – 2022) terus mengalami peningkatan.
Baca juga: Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi Sebut Tak Ada Pergantian Pj Bupati Muna Barat dan Buton Selatan
Satu hal yang menggembirakan adalah realisasi dari target yang ditetapkan selalu mencapai di atas 100 persen, bahkan mencapai di atas 200 hingga lebih 300 persen. Seperti pada tahun 2022 lalu, target PNBP yang ditetapkan sebesar Rp1,2 triliun sementara realisasinya sebesar lebih dari Rp4,4 triliun.
Selain itu, berdasarkan data BPS Sultra, pada periode Januari-Oktober 2022, total ekspor Nikel Sultra mencapai US4,8 milliar atau setara dengan Rp71,5 triliun (nilai kurs Rp15 ribu), dengan total volume ekspor mencapai 2,2 juta ton.
Nilai dan volume ini meningkat masing-masing 36 persen dan 24 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari total ekspor ini, sebanyak 99,53 persen atau US4,7 milliar berasal dari golongan besi dan baja, setara Rp71 triliun, berupa Ferronickel (FENI), Nickel Pig Iron (NPI), dan baja tahan karat yang diproduksi oleh sejumlah pabrik peleburan atau smelter Nikel di wilayah Sultra.
Namun, nilai ekspor yang tinggi sebagai dampak hilirisasi Nikel ternyata belum berdampak banyak pada perekonomian daerah.
Ali Mazi menyebut hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi Sultra yang berada di kisaran 5-6 persen, sedangkan daerah penghasil lain seperti Sulawesi Tengah dan Maluku Utara jauh di atas angka tersebut.
Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah berada di angka 11 persen, sementara Maluku Utara bahkan di angka 24 persen sepanjang 2022.
Selain dana bagi hasil PNBP SDA Pertambangan, penerimaan pajak juga tidak tinggi akibat belum optimalnya penerimaan pajak di kawasan pertambangan.
Akibatnya, nilai tambah sektor pertambangan tidak begitu terasa meski ekspor terus melejit. Hal ini dapat terjadi pada hilirisasi tahap awal dan dapat menjadi stagnan apabila hilirisasi tidak ditingkatkan ke tahap selanjutnya.
"Nah, upaya peningkatan sektor di luar pertambangan karena struktur yang timpang, berbahaya bagi ekonomi daerah," jelasnya Ali Mazi.
Menurutnya, saat sektor pertambangan mandek, maka sektor-sektor lain akan ikut tertahan dan membuat masyarakat merasakan dampak burukny. Padahal, sektor pertanian dan kelautan adalah dua sektor utama yang menopang perekonomian daerah selama ini.
Maka dari itu, Ali mazi mengatakan perlu revisi regulasi tentang pertambangan yang berpihak kepada daerah. Peruntukan CSR untuk mengedukasi masyarakat guna menghindari terjadinya alih profesi dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan pengembangan sektor lainnya seperti sektor pertanian dan perikanan dalam penopang pertumbuhan ekonomi.
Termasuk penyamaan persepsi tentang hilirisasi yakni pengelolaan bahan mentah, menjadi bahan/barang setengah jadi) lalu menjadi barang jadi siap pakai.
Tidak menutup kemungkinan Sultra juga harus menerapkan hilirisasi industri Nikel di dalam negeri guna melengkapi pohon industri, bila perlu sampai produk akhir.
Hilirisasi yang terintegrasi akan berdampak sangat signifikan terhadap penciptaan nilai tambah, peningkatan pendapatan domestik, pengembangan teknologi, rantai pasok yang berkeseinambungan, dan yang paling penting bisa meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
"Integrasi terjadi dari hulu hingga hilir, seperti dilakukan di negara industri maju. Dalam kasus Nikel, hilirisasi dimulai dari pengolahan dengan smelter atau leaching plant menghasilkan produk antara, lalu dimurnikan (diolah lebih lanjut) menghasilkan produk setengah jadi. Selanjutnya diolah menjadi bahan baku produk akhir siap pakai," jelasnya.
Menurutnya hilirisasi dari hulu hingga hilir memerlukan sinergi dan kesepahaman dari seluruh pemangku kepentingan. Teknologi, kreasi, kewirausahaan, sekaligus investasi dari sisi investor, dipadu penataan regulasi dari pemerintah dan makin ideal jika melibatkan institusi Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian.
"Diharapkan dapat memberi gambaran bagi kita semua bahwa Sultra adalah ladang investasi untuk masa depan indonesia maju," tutupnya. (*)
(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriyani)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.