Berita Wakatobi

Bunyi Hampir Mirip Latto-latto Disebut Paka-paka, Mainan Tradisional Wakatobi Tergerus Zaman

Kepopuleran mainan tradisional asli Wakatobi ini, kalah saing dengan fenomena mainan viral yang juga sampai di pulau Wangiwangi dikenal dengan latto-

TribunnewsSultra.com/Desi Triana
Dokumentasi anak-anak bermain paka-paka, saat momen Festival Tindoi 2018 lalu. Kepopuleran mainan tradisional asli Wakatobi ini, kalah saing dengan fenomena mainan viral yang juga sampai di pulau Wangi-wangi dikenal dengan latto-latto. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, WAKATOBI- Jika mendengar bunyi tek tek di sebuah puncak di Pulau Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) bisa saja itu adalah paka-paka, mainan tradisional.

Saat ini, akan sangat jarang menemukan paka-paka di Pulau Wangi-wangi.

Kepopuleran mainan tradisional asli Wakatobi ini, kalah saing dengan fenomena mainan viral yang juga sampai di Pulau Wangiwangi dikenal dengan latto-latto.

Budayawan Wakatobi, Saleh Hanan mengungkapkan paka-paka sudah jarang dimainkan sebagai mainan tradisional.

Baca juga: Sejarah Mainan Viral Latto-Latto, Bukan Dari Sulawesi, Sudah Ada di Amerika Serikat Sejak Era 60-an

Bahkan, ia menduga banyak pula anak-anak generasi saat ini yang tidak tahu asal muasal permainan tradisional ini.

Kepada Tribunnewssultra.com, Saleh Hanan yang merupakan warga Lokal Bercerita tentang seperti apa permainan paka-paka ini berasal.

Pada zaman dahulu, kata Saleh Hanan, paka-paka menjadi hiburan anak-anak di kampung.

Paka-paka ini merupakan mainan yang terbuat dari bambu yang dikreasikan hingga berbentuk kincir angin.

""Paka-paka ini pernainan dari bambu yang dibelah sebatas mata bambu dan sebuah baling-baling dihubungkan dengan kayu ke bambu. Getaran dari angin yang meniup baling-baling mbuat belahan bambu beradu dan menimbulkan bunyi," tuturnya, Senin (2/1/2023).

Seorang pria di Wakatobi sedang membuat mainan paka-paka. Kepopuleran mainan tradisional asli Wakatobi ini, kalah saing dengan fenomena mainan viral yang juga sampai di pulau Wangi-wangi dikenal dengan latto-latto.
Seorang pria di Wakatobi sedang membuat mainan paka-paka. Kepopuleran mainan tradisional asli Wakatobi ini, kalah saing dengan fenomena mainan viral yang juga sampai di pulau Wangi-wangi dikenal dengan latto-latto. (TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Ukurannya beragam, ada panjang namun adapula yang pendek.

Untuk yang panjang, mainan ini bak kincir angin saat tertiup angin dengan konstan, paka-paka akan bergerak dan berbunyi seperti latto-latto.

Sedangkan, khusus yang pendek bisa dipegang bagian penyangganya lalu dibawa lari hingga tertiup angin.

Tak hanya dijadikan sebagai mainan, namun paka-paka ini memiliki fungsi penting untuk sebuah kebun di Pulau Wangiwangi.

Saleh Hanan menyebutnya sebagai alat penjahuh hama dari kebun-kebun warga.

Baca juga: Video Viral Bocah Kreatif Bikin Mainan Sendiri Hingga Bantu Ibunya Perbaiki Perabot Rusak

"Selain mainan, paka-paka berukuran besar diikat pada ujung bambu panjang lalu disimpan di atas pohon di kebun-kebun," tuturnya.

Dari bunyi yang dihasilkan tersebut, maka akan membuat hama pergi.

"Akibat bunyinya, hama seperti burung2 tidak mendekati kebun jagung," jelasnya.

Paka-paka ini berasal dari bahasa daerah Pulau Wangiwangi yang berati alat memukul.

Bunyi pukulan yang dimaksud adalah tek tek, dimana getaran dari angin meniup baling-baling membuat belahan bambu beradu atau saling memukul satu sama lain dan menimbulkan bunyi.

Budayawan Wakatobi, Saleh Hanan (kiri) dan mainan tradisional paka-paka (kanan)
Budayawan Wakatobi, Saleh Hanan (kiri) dan mainan tradisional paka-paka (kanan) (Kolase Tribunnewssultra.com)

"Tek tek tek," seperti itulah bunyi paka-paka.

Semakin kencang angin bertiup, maka bunyi yang dihasilkan akan mengeluarkan tempo cepat.

Walaupun bunyinya sama, ada yang berbeda antara paka-paka dan latto-latto.

Menurut Saleh Hanan, paka-paka digerakkan dengan angin sedangkan latto-latto membutuhkan gerakan dari manusia.

Tak hanya itu, paka-paka kata Saleh Hanan bisa membuat anak lebih terasa kemampuannya untuk berkreasi.

"Sebagai permainan, paka-paka dikerjakan sendiri dari bahan-bahan yang berada di lingkungan sekitar sehingga memancing daya kreatif anak," tuturnya.

Baca juga: Kenang Sosok Lettu Muhammad Ikbal, Kakak Ipar Sebut Sering Rindu Makan Sinonggi, Beli Mainan Tentara

Namun berjalannya waktu, paka-paka nyaris tak terdengar lagi bak tergerus zaman.

Menurut Saleh Hanan, hal itu dikarenakan peran orangtua yang harusnya turut serta dalam pelestarian mainan anak tidak memperkenalkan paka-paka pada anaknya.

"Mainan tradisional tergerus karena orang tua tak mengajarkan atau memperkenalkan lingkungan yang inspiratif. Orang tua mengenalkan hal yang konsumeris pada anak-anak," tuturnya.

Saleh Hanan juga mengingatkan tentang pentingnya pelestarian keberagaman mainan tradisional agar tak mati suri dan tetap digemari sepanjang masa.

Cara bermain paka-paka dengan berlari untuk bisa mendapatkan angin kencang. Kepopuleran mainan tradisional asli Wakatobi ini, kalah saing dengan fenomena mainan viral yang juga sampai di pulau Wangi-wangi dikenal dengan latto-latto.
Cara bermain paka-paka dengan berlari untuk bisa mendapatkan angin kencang. Kepopuleran mainan tradisional asli Wakatobi ini, kalah saing dengan fenomena mainan viral yang juga sampai di pulau Wangi-wangi dikenal dengan latto-latto. (TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Hal ini merujuk pada pentingnya pelestarian mainan tradisional di Indonesia.

"Pentingnya pelesatrian, pelajaran tentang teknologi, inspirasi, dan karya seni," jelasnya.

Tiga hal tersebut menurutnya begitu penting untuk bisa mempertahankan permainan tradisional.

Ketika teknologi, inspirasi dan karya seni akan menghasilkan ide-ide cemerlang dan membuat penemuan mainan viral hal ini tentu akan melebihi fenomena yang terjadi saat ini.

Bahkan bagi Saleh Hanan, mainan tradisional patut menjadi kebanggaan anak-anak di Indonesia, tak terkecuali di Wakatobi

Sama seperti tagline Tribunnews, Saleh Hanan begitu setuju untuk menjadi Aku Lokal Aku Bangga

Menurutnya, lokal bukanlah ketertinggalan namun sebuah kemajuan menunjukan karakteristik jati diri dari suatu daerah. 

Pada tahun 2018, digelar sebuah Festival Puncak Tindoi di Pulau Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi.

Baca juga: Sosok Pedagang Mainan Anak Keliling di Kendari, Ica Tarik Pelanggan Dengan Cara Unik

Orang-orang banyak yang tidak mengetahui paka-paka, namun dalam ajang tersebut anak-anak begitu kegirangan bermain paka-paka.

Namun dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, tak terdengar lagi suara paka-paka.

Sehingga bagi Saleh Hanan perlu adanya refleksi diri untuk bisa kembali mengingatkan anak muda tentang beragam mainan viral di Indonesia.

Bahkan saat waktu berlalu dan kini menatap tahun 2023, ia yakin mainan tradisional akan kembali dikenal dan digemari, asal semua turut berkontribusi mengembangkannya. (*)

(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved