Berita Bombana
Mengenal Tari Lumense, Tarian Pengusir Roh yang Berasal dari Bombana Ditarikan pada HUT RI di Istana
Mengenal tari lumense, tarian pengusiran roh yang berasal dari daerah Bombana, Sulawesi Tenggara, ditarikan oleh penari pada HUT RI di Istana Negara.
Penulis: Sri Rahayu | Editor: Aqsa
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Mengenal tari lumense, tarian pengusiran roh yang berasal dari daerah Bombana, Sulawesi Tenggara, ditarikan oleh penari pada HUT RI di Istana Negara.
Tari lumense adalah tari tradisional asal Kabaena atau Tokotua yang merupakan pulau di daerah pemekaran Kabupaten Buton, Provinsi Sultra, dengan penduduk aslinya suku Moronene.
Tari tersebut menjadi salah satu tari-tarian yang bakal memeriahkan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia 2022 di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada 17 Agustus 2022 mendatang.
Tari lumense ditarikan oleh penari yang berjumlah 100 orang dari daerah ini pada perayaan Hari Ulang Tahun atau HUT ke-77 RI itu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun TribunnewsSultra.com pada Senin (15/08/2022), para penari asal Sultra tersebut sudah berada di ibu kota dan melakukan gladi bersih di Istana Negara.
Baca juga: Tari Lumense Bombana Sulawesi Tenggara Bakal Ditampilkan dalam Upacara HUT RI ke-77 di Istana Negara
Aktivitas para penari tarian lumense jelang pertunjukan tersebut misalnya diunggah akun Facebook Anindya Duliman Amin, Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Kabupaten Bombana.
“Alhamdulillah, gladi bersih telah selesai kurang lebih 2 jam, semua berjalan lancar. Semangat adik-adik penari sangat tinggi karena ingin menampilkan yang terbaik bukan saja untuk Wonua Tokotua ataupun Sulawesi Tenggara tapi untuk Negara Indonesia tercinta,’ tulisnya.
Teranyar, tim penari tari lumense juga mendapat kunjungan Penjabat Sekretaris Daerah Sulawesi Tenggara atau Pj Sekda Sultra Asrun Lio dan anggota DPR RI asal Sultra Hugua.
Selain itu, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Basiran, Kepala Dinas atau Kadis Pariwisata Sultra Belli Harly Tombili, serta Ketua Kadin Sultra Anton Timbang.
Lantas apa itu tari lumense yang berasal dari Kabupaten Bombana, Provinsi Sultra tersebut?
Simak ulasan selengkapnya pada artikel berikut ini.
Tari lumense atau tarian lumensen adalah tarian yang berasal dari Pulau Kabaena atau Tokotua, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Kabupaten ini adalah daerah pemekaran baru dari Kabupaten Buton, Provinsi Sultra.
Suku Moronene merupakan penduduk asli dari wilayah ini.
Nenek moyang suku ini adalah bangsa melayu tua yang dating dari hindia belakang pada zaman pra sejarah.
Secara geografis, Kabaena merupakan pulau terbesar setelah Moronene dan Kabupaten Muna di Sulawesi Tenggara.
Menurut sejarah, dahulu kecamatan ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Moronene.
Sehingga hubungan kekerabatan antara Kabaena dan Moronene pun sangat erat.
Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah Kabaena termasuk tari lumense.
Dikutip TribunnewsSultra dari kebudayaan.kemdikbud.go.id.com, penamaan tari lumense berasal dari daerah tersebut.
Baca juga: Presiden Jokowi Disiapkan Baju Adat Tolaki Babu Ngginasami Ulusala untuk Upacara Hari Kemerdekaan RI
Tarian lumense memiliki arti yang diambil dari bahasa daerah setempat.
Kata lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi.
Jadi secara menyeluruh, nama tarian tersebut berarti terbang tinggi.
Lumense artinya terbang mengamuk.
Mereka menamakan lumense karena gerakan penarinya laksana seorang yang sedang mengamuk dengan pedang ditangannya. (Ensiklopedi Tari dan Musik di Sultra, 1977/1978).
Makna Tari Lumense
Di masa lalu tari lumense dilakukan dalam ritual pe-olia yang merupakan ritual penyembahan kepada roh halus disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan.
Ritual tersebut dimaksudakan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana.
Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang.
Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton.

Seiring dengan perkembangan, fungsi tari lumense pun mulai bergeser.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa tarian lumense bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Kabaena saat ini.
Corak produksi masyarakat setempat adalah bercocok tanam atau bertani.
Masyarakat masih melakukan pola tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian.
Sementara, parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria yang berprofesi sebagai petani.
Simbol pohon pisang dalam tarian ini bermakna bencana yang bisa dicegah.
Oleh karena itu klimaks dari tarian ini adalah menebang pohon pisang.
Artinya, setelah pohon pisang tumbang bencana bisa dicegah.
Kekinian tari lumense sudah tidak lagi menjadi ritual pengusiran roh.
Akan tetapi, tari Lumense masih dianggap memiliki nilai spiritual.
Baca juga: Bendera Kerajaan Konawe Kembali Berkibar di Istana Negara saat Perayaan 17 Agustus 2022
Masyarakat setempat menganggap tari lumense adalah tari “ penyembuhan”.
Perkembangan Tari Lumense
Tari lumense telah berkembang sejak 200 tahun yang lalu.
Tari ini pernah lenyap disekitar tahun 1946 sampai dengan tahun 1960.
Kemudian timbul kembali pada tahun 1962.
Pada tahun 1973, tari lumense mulai berkembang dikalangan masyarakat.
Sempai sekarang tarian tersebut tetap dipertahankan sebagai tarian tradisional di daerah Buton.
Pada zaman dahulu yaitu pada saat mula lahirnya tarian ini sampai pada masa sebelum proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tari Lumense pada masa sebelum proklamasi kemerdekaan bangsa digolongkan pada tarian upacara kerohanian karena dilakukan untuk menyembuhkan penyakit.
Pada saat sekarang ini yakni sesudah proklamasi, kedudukan tari lumense tersebut bukan saja sebagai tarian upacara melainkan juga dipertunjukkan sebagai tari petunjukkan.
Baca juga: Mengenal Tari Balumpa Wakatobi Sultra, Resmi Jadi Warisan Budaya Tak Benda di Sulawesi Tenggara
Tari Lumense Ditarikan oleh Penari
Dalam pertunjukan, tari lumense ditarikan oleh penari yang terdiri dari lima orang pria dan lima orang wanita yang usianya sekitar 20 tahun atau lebih tua.
Tari ini diiringi dengaan instrumen musik gendang, gong besar (Mbololo), dan gong kecil (Ndengu-Ndengu).
Ketiga instrumen musik tersebut dimainkan serentak oleh tiga orang pemain musik.
Biasanya tarian lumense ini dilakukan di arena atau panggung terbuka.
Sehingga perlengkapan pertunjukkan tari tersebut hanya terdiri dari parang dan batang pisang saja.
Pakaian penarinya terdiri dari pakaian adat.
Penari pria memakai baju berwarna hitam, kain sarung dan topi bambu khas daerah Moronene.
Penari wanita memakai baju panjang berjumbai seperti ekor burung, kain sarung, kepala diikat dengan hiasan berumbai dan ikat pinggang.
Musik pengiring tari ini berasal dari alat musik gendang dan gong besar yang disebut tawa-tawa dan gong kecil (ndengu-ndengu).
Pengiring musik berjumlah tiga orang penabuh alat musik tersebut sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai property pendukung.
Dahulu tari ini dipertunjukkan pada waktu siang, akan tetapi sekarang ini, biasa juga dipertunjukkan pada waktu malam.
Lama pertunjukkan diperkirakan memakan waktu lebih kurang 10 sampai 15 menit.(*)
(TribunnewsSultra.com/Sri Rahayu)