BKKBN Sultra
BKKBN Nilai Banyak Anak dalam Satu Keluarga, Penyumbang Tingginya Angka Prevalensi Stunting
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menilai jumlah anak dalam satu keluarga sebagai penyumbang tingginya angka prevalensi stunting.
Penulis: Muh Ridwan Kadir | Editor: Sitti Nurmalasari
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menilai jumlah anak dalam satu keluarga sebagai penyumbang tingginya angka prevalensi stunting.
Hal tersebut disampaikan Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima TribunnewsSultra pada Selasa (7/6/2022).
Penyampaian Kepala BKKBN itu menanggapi viralnya “Kampung Banyak Anak” bertempat di Kampung Siderang Legok, Desa Cintanagara, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
Di kampung yang mayoritas warganya bekerja sebagai petani musiman itu, rata-rata satu keluarga memiliki anak lebih 10 orang dari satu pasangan suami istri.
"Ini adalah persoalan serius yang harus disikapi dan dicarikan jalan keluarnya," ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Baca juga: Menparekraf Sandiaga Uno Akan Kunjungi Desa Wisata Limbo Wolio di Kota Baubau Sulawesi Tenggara
"Provinsi Jawa Barat memiliki populasi tertinggi di Pulau Jawa dan Jawa Barat juga memiliki prevalensi stunting tinggi dengan angka 24 persen lebih," tambahnya.
Menurutnya, fenomena kampung banyak anak tersebut memiliki korelasi dengan angka prevalensi stunting di Jawa Barat yang tinggi.
"Jawa Barat masuk dalam 12 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia," tutur dr Hasto Wardoyo.
Hasto menuturkan tingginya prevalensi stunting di Jawa Barat disebabkan karena jumlah anak yang banyak dalam satu keluarga, rentang waktu kelahiran yang cukup rapat, serta pernikahan dini.
"Data yang diperoleh BKKBN, selama pandemi Covid-19, pernikahan dini di Jawa Barat jumlahnya mengalami peningkatan," ujarnya.
Baca juga: Ketua Tim Penggerak PKK Kota Kendari Minta Pemkot Beri Ruang untuk Wujudkan Kota Layak Anak
"Padahal perkawinan usia dini menyebabkan tingginya risiko kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta bayi yang stunting karena ketidakcukupan nutrisi selama kehamilan," katanya.
Seperti diketahui, stunting yakni kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi, infeksi berulang, dan stimulasi lingkungan yang kurang mendukung.
Kondisi ini berefek jangka panjang hingga lanjut usia. Untuk itu, stunting berdampak sangat buruk bagi masa depan anak-anak.
"Berdasarkan pendataan BKKBN, hingga saat ini satu dari empat balita di Indonesia mengalami stunting. Bahkan ada 21,9 juta keluarga dari 66,4 juta keluarga di Indonesia yang berisiko stunting," imbuhnya.
Karena itu, dr Hasto Wardoyo mengajak masyarakat untuk membuang jauh pola pikir banyak anak itu banyak rejeki.
Baca juga: Pemerintah Kota Kendari Bersiap Ikut Verifikasi Lapangan Hybrid Kota Layak Anak 2022