OPINI

Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama dan Keterlibatan Parpol yang “Merasa” Paling NU

Salah satu agenda penting momentum lima tahunan di organisasi muslim terbesar di dunia ini adalah memilih kepemimpinan di tubuh PBNU.

Handover
Muhiddin Nur Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII Masa Khidmat 2017-2021 

OPINI: Muhiddin Nur (Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII Masa Khidmat 2017-2021)

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Kegiatan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama atau NU tinggal menghitung hari.

Salah satu agenda penting momentum lima tahunan di organisasi muslim terbesar di dunia ini adalah memilih kepemimpinan di tubuh PBNU.

Agenda inilah paling menyita perhatian publik, sekalipun ada agenda-agenda lain yang tidak kalah pentingnya yaitu pembahasan berbagai masalah keumatan dan kebangsaan dalam forum bahtsul masail.

Hal ini terbilang wajar,mengingat NU merupakan organisasi masyarakat dengan basis massa terbesar di Indonesia, yang berdasarkan hasil survey dari LSI Denny JA pada tahun 2020 mencapai 49,5 persen, jauh di atas ormas-ormas lainnya.

Maka tak mengherankan jika perebutan siapa yang akan memimpin PBNU menarik perhatian bukan hanya dari kalangan internal organisasi NU, tetapi juga dari pihak eksternal, misalnya Partai Politik (Parpol).

Baca juga: Kronologi Kepala Bapenda Sulawesi Tenggara Aniaya Aktivis saat Didemo, Adu Mulut hingga Menampar

Jika Parpol hanya sebatas memberi perhatian kepada Muktamar NU, itu tidak menjadi masalah, karena banyak warga NU yang menjadi politisi di berbagai Parpol.

Tetapi jika Parpol ikut terlibat mengintervensi jalannya Muktamar NU, ini yang menjadi masalah besar.

Tanpa saya harus menyebut nama Parpol itu, kita sudah mengetahui bersama bahwa ada Parpol yang “merasa” paling NU sehingga seakan-akan memiliki hak untuk mengatur NU.

Ini yang mesti diwaspadai oleh warga NU, mengingat NU merupakan milik seluruh nahdliyin bukan milik Parpol tertentu yang “merasa” paling NU.

Ketika suatu Parpol ikut terlibat menginterfensi suksesi kepemimpinan di tubuh PBNU maka NU berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai alat politik kekuasaan Parpol tertentu.

Ini tentu akan jauh dari semangat kehadiran NU sebagai gerakan keumatan, bukan gerakan politik kekuasaan.

Selain berpotensi dijadikan alat politik, keterlibatan Parpol bisa mengkerdilkan NU itu sendiri. NU merupakan ormas yang jam’iyahnya tersebar di banyak Parpol, bukan hanya di parpol tertentu saja.

Baca juga: Lowongan Kerja Nutrifood Kendari Buka Loker Marketing Representative, Kualifikasi, Klik Link Daftar

Jadi warga NU tidak terbatas pada parpol tertentu saja.

Saking besarnya NU, ada sebuah adagium yang terkenal di kalangan warga NU bahwa “ada dimana-mana, tapi tidak kemana-mana”.

Semestinya fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh PBNU diikuti oleh jam’iyah NU yang tersebar di berbagai parpol, bukan sebaliknya intervensi-intervensi politik dari Parpol yang harus diikuti oleh NU.

Ini sama halnya anak kecil mengintervensi orang tuanya. Bisa kualat Parpol yang berani bertindak demikian.

Sebagai organisasi milik milik umat, khususnya warga nahdliyin, yang di dalamnya dihuni oleh para ulama dan kiai, idealnya perhelatan Muktamar NU menjadi forum silaturahim.

Para ulama dan kiai baik untuk menentukan kepemimpinan PBNU mendatang maupun membahas berbagai masalah keumatan dan kebangsaan.

Gelaran Muktamar jangan dikotori oleh kepentingan politik Parpol manapun sekalipun Parpol itu merasa diri paling NU.

Hal ini untuk menjaga marwah para ulama dan kiai NU yang terus mengayomi dan menyejukkan umat tanpa membeda-bedakan latarbelakang parpol ataupun latar belakang lainnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved