Berita Buton Terkini Hari Ini
5 Remaja Sebut Disiksa Penyidik Polsek Sampoabalo, Dua Terdakwa, Tiga Saksi, Dipaksa Ngaku Mencuri
Dua remaja Angga dan La Niki ditetapkan menjadi tersangka hingga divonis 5 bulan kurungan pesantren, tetapi kini mengajukan banding.
Penulis: Risno Mawandili | Editor: Sitti Nurmalasari
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Ternyata remaja korban mengaku disiksa penyidik Kepolisian Sektor (Polsek) Sampoabalo, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, berjumlah lima orang.
Mereka adalah Angga (12), La Niki (15), R (15), L (17), dan J (16).
Dua remaja Angga dan La Niki ditetapkan menjadi tersangka hingga divonis 5 bulan kurungan pesantren, tetapi kini mengajukan banding.
Sementara tiga lainnya merupakan saksi di Polsek Sampoabalo, atas pencurian yang terjadi di rumah kepala sekolah menengah pertama (SMP), Saharuddin di Desa Kuraa, Kecamatan Siotapina.
Angga dan La Niki menjadi tertuduh kasus pencurian tersebut. Keduanya saat ini berstatus terdakwa.
Saat memberi kesaksian, R, L, dan J, juga dipukuli hingga ditodong senjata api oleh penyidik Polsek Sampoabalo.
Bahkan R dipukuli saat ibunya berada di Polsek Sampoabalo menyaksikan polisi memintai keterangan kepada anaknya.
"Dipukul pakai sandal swallow, masih baru, dua kali di pipi kanan, mamaku langsung marah-marah ke polisi," ujar R ditemui di sebuah warung kopi di Kota Kendari, Jumat (16/4/2021) malam.
Baca juga: Jadwal Buka Puasa Ramadan di Kota Kendari 17 April 2021, Ini Lafaz Doanya, Niat Salat Magrib & Isya
Baca juga: Rancangan RTRW Konkep Disusupi Kepentingan Industri Tambang, Ancaman Besar bagi Masyarakat Konkep
Sementara L, mengaku ditodong senjata api laras panjang yang sudah siap meluncurkan peluru.
Remaja itu dipaksa untuk mengakui Angga dan La Niki merupakan pelaku pencurian di rumah kepala SMP Saharuddin.
"Sudah ditodong senjatanya, katanya Pak Edi (seorang penyidik) cepat mengaku, atau saya tembak kamu, ada satu pelurunya ini," aku L.
Pemukulan juga dialami J, remaja satu ini mengaku, ditampar di pipi kiri dan kanan hingga dipukul bagian leher dan kepalanya.
"Dipukul di sini (leher), katanya itu, mengaku atau tidak saya pukul kamu lagi," ujarnya, menirukan ucapan penyidik Polsek Sampoabalo pada 2 Januari 2021 lalu.
Untuk diketahui, R, L, dan J, dimintai keterangan oleh penyidik Polsek Sampoabalo, Kabupaten Buton pada 2 Januari 2021.
Setelahnya, polisi menangkap Angga dan La Niki pada 4 Januari 2021.
Keterangan mereka dibutuhkan kepolisian untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) Angga dan La Niki.
Ditangkap dan Disiksa
Sebelumnya diberitakan, Angga (12) dan Niki (15) ditangkap petugas Polsek Sampoabalo, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton pada 4 Januari 2021, malam hari.
Dua remaja itu dituduh mencuri bersama Muslimin (28).
Ketiganya dituduh mencuri di rumah seorang kepala sekolah menengah pertama (SMP) bernama Saharuddin.
Saharuddin melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Sampoabalo pada (1/1/2021).
Tiga orang ini dituduh mencuri, telah mencongkel jendela depan Saharuddin pada Kamis 24 Desember 2020 malam hari.
Gerombolan pencuri itu menilap satu unit laptop merek Asus tipe Core i5 warna silver, satu unit laptop merek Lenovo tipe Core i5 warna hitam, dan satu unit handphone merk Oppo A 11 warna hitam.
Selain itu, satu unit handphone merk Oppo A 11 warna biru, satu unit hardisk warna hitam, dan uang tunai sekitar Rp100 juta.
Namun dalam laporan polisi nomor 01/1/2021/SULTRA/RESBUTON/SPK SEK, Saharuddin mengaku, tidak melihat dan tidak mengetahui siapa pelaku pencurian.
Saharuddin baru tahu pelaku berjumlah tiga orang setelah polisi menangkap Angga, La Niki, dan Muslimin.
Menurut kuasa hukum tiga tertuduh pencuri itu, Abdul Faris, penyidik Polsek Sampoabalo melakukan tindak kekerasan saat menginterogasi.
Angga, La Niki, dan Muslimin, dipukul, ditodong senjata api, dan dipaksa mengaku telah mencuri di rumah Saharudin.
“Terjadilah perbuatan penganiayaan kepada Angga, La Miki, dan Muslimin. Dia dipukul, diancam, ditodongkan pistol hanya untuk mengaku sebagai pencuri,” kata Faris melalui panggilan telepon, Rabu (14/4/2021).
Faris mengatakan, penyidik menangkap dan menginterogasi tiga warga itu dalam satu malam.
Terlebih dahulu menangkap Angga, kemudian memaksanya menyebut nama seseorang.
“Saat itu Angga menyebut nama kakaknya, La Niki. Polisi lalu menjemput La Niki, dan melakukan interogasi lagi. Keduanya kemudian dipaksa, diarahkan, untuk menyebut nama Muslimin,” jelas Faris.
Atas tuduhan itu, Angga dan La Niki dikurung 5 bulan penjara.
Karena Angga dan La Niki masih remaja keduanya dikurung di pesantren.
Sementara, Muslimin kini masih menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Pawaswajo, Kabupaten Buton.
“Muslimin sedang dalam proses sidang Pengadilan Negeri Pasarwajo, sekarang dia replik, atas eksepsi yang kami ajukan. Hari ini sidangnya,” ujar Faris. (*)
Lapor Propam Polda Sultra
Dua remaja korban penganiayaan penyidik Kepolisian Sektor (Polsek) Sampoabalo, Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara, melapor ke Propam Polda Sultra.
Angga (12) dan La Niki (15) didampingi kuasa hukumnya La Ode Abdul Faris, mendatangi Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat (17/4/2021), sore hari.
Mereka melaporkan seorang penyidik Briptu Idarvi Sulastion dan Kapolsek Sampoabalo Ipda La Abudu.
Dua orang diduga telah melakukan tindak penganiayaan kepada lima orang anak di Buton.
Kelima anak itu dipukul, dilempar asbak, ditodong senjata api, dan diancam parang di leher, dipaksa mengakui sebagai pencurian di rumah kepala sekolah menengah pertama (SMP) Saharuddin di Desa Kuraa, Kecamtan Siontapina, Kabupaten Buton.
"Kami melaporkan dua penyidik itu, karena telah berbuat semena-mena kepada klien kami," ujar Faris ditemui di sebuah warung kopi di Kendari, Jumat malam (16/4/2021).
Laporan terkait dugaan penganiayaan penyidik Polsek Sampoabalo ini ditandatangani Iptu La Ode Muhammad Adnan selaku Operator Sentra Pelayanan Propam.
Laporan aduan itu benomor SP2P/26/IV/2021/ADUAN, tertanggal 16 April 2021.
"Oleh Propam Polda Sultra mengatakan, akan turun ke Kabupaten Buton memeriksa diduga pelaku," ujar Faris lagi.
Faris berharap, kliennya bisa mendapatkan keadilan hukum kerena disiksa untuk mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukan.
"Kami berharap ada keadilan hukum, karena klien kami sudah diperlakukan semena-mena," imbuh Faris. (*)
(TribunnewsSultra.com/ Risno Mawandili)