Oleh karena itu, Pergub dan Perdirnya harus disusun kembali dan hal tersebut butuh proses.
"Sebelumnya, Pergub terkait pembayaran jasa pelayanan sudah keluar, tetapi masih dalam bentuk gelondongan. Kami harus menurunkannya ke dalam aturan teknis di setiap unit pelayanan,”
“Proses ini membutuhkan waktu karena masing-masing unit harus memberikan masukan untuk memastikan keadilan dalam pembagian jasa," ujarnya.
Selain regulasi, dr Putu Agustin menyebut keterlambatan pembayaran juga disebabkan karena kendala administratif di internal rumah sakit.
Pencatatan data jasa pelayanan, terutama untuk jasa tidak langsung, masih belum lengkap, sehingga memengaruhi perhitungan remunerasi.
“Beberapa data belum ditemukan karena pencatatan sebelumnya kurang terkompilasi dengan baik," ungkapnya.
Sementara itu, kekhawatiran pegawai terkait pembayaran jasa pelayanan tidak akan terealisasi seperti yang pernah terjadi sebelum rumah sakit berstatus BLUD, dr Agustin menegaskan bahwa situasi saat ini berbeda.
Dana masih berada di kas BLUD dan akan tetap dibayarkan meskipun melampaui tahun anggaran, asalkan dilaporkan sebagai utang jasa.
"Intinya, pembayaran ini bukan tidak akan dibayar, tetapi masih dalam proses. Setelah review Inspektorat selesai, kami akan membayarkan secepatnya," tegasnya.
Saat ini, pihak RS Jiwa telah mempercepat proses penyelesaian regulasi dan administrasi, termasuk pengembangan aplikasi untuk perhitungan remunerasi berbasis kinerja.
Hal ini dilakukan agar pembayaran jasa pelayanan dapat segera direalisasikan tanpa menimbulkan polemik lebih lanjut.
"RS Jiwa berkomitmen menyelesaikan persoalan ini sesuai prosedur, demi memastikan hak-hak tenaga kesehatan tetap terpenuhi dengan adil," jelasnya. (*)
(TribunnewsSultra.com/Dewi Lestari)