Sejarah Serangan Fajar Viral Pilkada 2024, Praktek Politik Uang Indonesia, Punya Dampak dan Sanksi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Berikut ini sejarah serangan fajar viral pada Pilkada 2024. Di mana praktek politik uang di Indonesia, jadi bahan candaan hingga ramai beredar meme di media sosial. Namun tahu kah kamu, praktek politik uang ini sudah menjamur sejak momen pemilihan umum atau Pemilu. Hal ini pun memiliki dampak dan sanksi ataupun hukuman sesuai dengan aturan Undang-undang di Indonesia.

TRIBUNNEWSSULTRA.COM- Berikut ini sejarah serangan fajar viral pada Pilkada 2024. 

Di mana praktek politik uang di Indonesia, jadi bahan candaan hingga ramai beredar meme di media sosial. 

Namun tahu kah kamu, praktek politik uang ini sudah menjamur sejak momen pemilihan umum atau Pemilu.

Hal ini pun memiliki dampak dan sanksi ataupun hukuman sesuai dengan aturan Undang-undang di Indonesia. 

Seperti diketahui, pembahasan serangan fajar pada Pilkada 2024 ini begitu santer terdengar. 

Tak hanya dalam obrolan publik, namun juga ramai beredar meme candaan terkait serangan fajar. 

Baca juga: Lewat Teatrikal dan Mural, KPU Sultra Ajak Warga Tolak Politik Uang di Pilkada Serentak 2024

Lantas sejak kapan istilah serangan fajar ini digunakan? 

Dilansir dari Kompas.com, pada dasarnya tak diketahui pasti kapan istilah ini mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia. 

Namun ini merupakan sebuah istilah yang mengemas praktek politik uang. 

Kenapa disebut serangan fajar ? 

Secara umum, serangan fajar adalah politik uang yang biasanya disebarkan kepada calon pemilih pada beberapa jam sebelum menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Di Indonesia praktek politik uang untuk mengubah pilihan seseorang tentunya sangat dilarang. 

Biasanya pergerakan oknum yang menyalurkan serangan fajar ini menyasar kalangan menengah ke bawah. 

Serangan fajar dilakukan pada pagi buta menjelang pemilihan atau beberapa hari sebelum pemilihan. 

Tujuan tidak lain untuk mengubah pilihan pemilih. 

Modus yang dilakukan untuk memilih calon tertentu dengan membeli suara berupa iming-iming materi yang beragam. 

Misalnya saja seperti pemberian uang, sembako, sarung, pakaian, bahkan voucher pulsa. 

Jika dulu dikenal dengan uang prabayar, artinya uang diberikan sebelum pencoblosan. 

Maka saat ini dikenal uang pasca bayar, dimana pemilih akan dibayar setelah memberikan suara. 

Cara tersebut digunakan karena uang yang diberikan sebelum pencoblosan dianggap kurang efektif. 

Tim sukses tidak memiliki bukti, suara diberikan pada yang bersangkutan.

Baca juga: Video Viral Diduga Cakades di Konawe Selatan Sultra Tagih Uang Serangan Fajar Karena Tak Terpilih

Seperti yang dijabarkan pada Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Serangan fajar juga bisa dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018.

Aturan mengenai bahan kampanye yang diperbolehkan oleh KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan secara rinci pada Pasal 30 ayat 2.

"Bahan kampanye dalam bentuk selebaran/flyer, brosur/leaflet, pamphlet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, dan atau alat tulis," bunyi pasal 30 ayat 2.

"Setiap bahan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp 60.000," bunyi pasal 30 ayat 6.

Prinsip dalam pemilihan umum adalah jujur dan adil.

Sehingga serangan fajar adalah sebuah tindak pidana yang bertolak belakang dengan nilai jujur karena bertujuan “membeli suara” atau memengaruhi calon pemilih agar mengubah pilihan sesuai dengan pilihan pemberi.

Untuk menjaga prinsip pemilu, calon pemilih harus menghindari serangan fajar dan dengan tegas menolaknya.

Dampak Serangan Fajar

Serangan fajar dapat menjadi salah satu pendorong terjadinya korupsi karena pihak pemberi akan melakukan berbagai cara yang melanggar aturan.

Termasuk melakukan korupsi demi untuk mengembalikan modal (uang) yang dibagi-bagikan saat serangan fajar di masa kampanye.

Selain itu, bagi kandidat dan partai politik, serangan fajar bukanlah jaminan untuk menang karena masyarakat saat ini pragmatis, yaitu mengambil uangnya, tapi belum tentu mau memilih calon yang diarahkan sesuai tujuan serangan fajar.

Sehingga, kita sebagai pemilih harus menggunakan hak suara sesuai dengan hati nurani dan tidak mudah tergoda dengan serangan fajar.

Sanksi Politik Uang 

UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 515

"Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah."

UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 523 ayat 1-3

Ayat 1: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat 1 huruf (j) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.

Ayat 2: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp48 juta.

Ayat 3: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.

UU Pilkada Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 187 A

Ayat 1: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Ayat 2: Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)